“Mas,
tolong dijadwalkan. Saya minta suami saya dihipnoterapi supaya berhenti
merokok,” kata seorang wanita melalui telepon seluler.
Saya
pun memastikan, apakah keputusan berhenti merokok ini permintaan si wanita ini,
atau murni keinginan suaminya? “Saya yang suruh, mas. Saya sudah capek
marah-marah, tapi ngga juga diheranin (tidak diresponse),” ujar
wanita tersebut.
Dengan
santun dan sabar, saya berikan penjelasan bahwa hipnoterapi tidak akan bisa
berlangsung tanpa ada keinginan sendiri dari klien. Karena itu, harus ada
kemauan dulu dari klien. Kalau pun masih juga dipaksa datang, maka biasanya
hanya saya berikan edukasi soal hipnoterapi.
Apalagi
urusan rokok, hal paling utama yang diperlukan adalah keinginan kuat dari klien
itu sendiri. Jika tidak, proses hipnoterapi tidak akan berhasil maksimal. Apalagi
dalam beberapa kasus, sebagai hipnoterapis saya harus memastikan apakah klien
aman jika dilepaskan dari ketergantungannya terhadap rokok. Bisa saja klien
malah mengalami gangguan lain yang membahayakan jika tiba-tiba ketergantungannya
terhadap rokok, dihentikan seketika.
Karena
itu, syarat paling utama adalah keinginan kuat dari klien untuk berhenti
mengisap asap tembakau tersebut. Jika sudah kuat, barulah hipnoterapis akan membantu
dan membimbing untuk memproses agar benar-benar berhenti 100 persen. Sebab tidak mudah menekan kebiasaan yang telah
menjadi kecintaan dengan paksaan.
“Berarti
Mas Endro membela perokok, dong?”
kata wanita itu protes. Saya bukan perokok, dan tidak ada kepentingan membela
atau tidak. Ini menyangkut nyawa seseorang. Jika ada orang yang kesehatannya
langsung terganggu saat berhenti merokok, bukankah justru membahayakan jika
aktivitas merokoknya dihentikan seketika?