Seorang
ibu datang dengan keluhan anaknya yang duduk di kelas III SMP, sulit diatur. Anaknya
lebih suka keluyuran hingga larut malam, di warung internet. Sang ibu sangat
khawatir. Apalagi sempat mendapati di smartphone
anaknya, tersimpan beberapa gambar porno, yang tidak sepatutnya dikoleksi anak
di bawah umur. Bahkan si anak pernah diberi uang untuk membeli handphone, namun
yang dibeli lebih murah ketimbang uang yang diberikan. Sang ibu was-was, jangan
sampai uangnya dipakai untuk hal-hal negatif.
Saya
mendengar keluhan itu dengan seksama. Namun dalam hati, saya menduga bahwa
persoalan sebenarnya bukan dari anak. Dalam analisa sementara saya, masalah
justru berasal dari kedua orang tuanya. Saya sudah beberapa kali melakukan
terapi pada anak-anak. Walau sebenarnya, masalah utama justru berasal dari
kedua orang tuanya.
Dugaan
saya benar adanya. Anak ini berada di lingkungan broken home. Ayahnya jarang sekali pulang. Bahkan menurut ibu
tersebut, suaminya memang telah selingkuh dengan wanita lain. Akibatnya, anak
ini yang jadi korban.
Secara
tidak sadar, ketika ibu ini kesal pada suaminya, maka kekesalan itu dilampiaskan
kepada anaknya. Hal ini berlangsung terus-menerus hingga anak merasa tidak aman
dan tidak nyaman berada di rumahnya sendiri. Jika rumah yang diharapkan menjadi
tempat paling aman ternyata sudah tidak aman, maka kemana lagi sang anak akan
mencari perlindungan?
Itulah
mengapa si anak akhirnya lebih suka bermain di warung internet. Di tempat ini,
dia merasa lebih aman dan nyaman, serta merasa dihargai oleh rekan-rekannya.
Sementara di rumah, dia hanya sering disuruh melakukan ini dan itu. Pendek kata
si anak merasa tidak dihargai sama sekali, dan menyimpan perasaan dendam serta
sakit hati terhadap ibunya.
Atas
permintaan ibunya, saya akhirnya mau melakukan terapi pada si anak. Dengan
kesepakatan, ibunya juga harus melakukan terapi di lain sesi. Kenapa? Kalau si
ibu tidak menjalani sesi terapi, maka energi negatif ibu akan berpengaruh pada
anaknya kembali. Hal itu jelas akan menyebabkan hasil terapi yang sudah saya
lakukan menjadi sia-sia.
Si
ibu bersungguh-sungguh ingin diterapi dan berjanji akan datang kembali. Posisinya
yang jauh dari luar kota Samarinda, membuat dirinya harus mengatur waktu yang
lebih pas untuk menjalani sesi hipnoterapi.
Saat
sesi terapi, semua dugaan yang diarahkan sang ibu pada anak ini, salah total.
Si anak tidak pernah melakukan perbuatan atau tindakan seperti yang
dikhawatirkan orang tuanya. Anak ini murni hanya merasa bosan dan tidak nyaman
di rumah sendiri.
“Sakit
hati, sering disuruh ini dan itu. Padahal saya capek,” katanya.
Dengan
teknik restrukturisasi, semua emosi anak berhasil dikuras tuntas. Si anak pun
mengaku merasa lebih lega dan plong. Bahkan kelak dia yakin bisa menjadi orang
sukses dan bisa membahagiakan kedua orang tuanya.
Proses
hipnoterapi tuntas, anak ini langsung menghampiri ibunya. Bersimpuh dan
bersujud di bawah kaki ibunya seraya meminta maaf sembari menangis. Ibunya pun
tak kuasa menahan haru, langsung memeluk tubuh anaknya.
Saya
pun memberikan waktu dan kesempatan untuk ibu dan anaknya ini, menikmati momen
mengharukan tersebut. Terapis juga manusia biasa, tentu tidak bisa membendung
rasa haru yang tersaji di depan mata. Karena itu, lebih baik keluar ruangan
terapi terlebih dahulu, agar rasa haru tidak semakin melanda diri saya. Akhirnya ibu dan anak itu bisa pulang ke rumah
dengan perasaan lebih bahagia. (*)
Post a Comment