Munculnya kasus seorang dokter
yang menembak mati istrinya sendiri, jelas mengejutkan publik di Tanah Air.
Bagaimana mungkin seorang dokter bisa memiliki senjata dan dengan mudahnya
menembak istrinya sendiri hingga tewas.
Belum diketahui dengan pasti,
apa motif di balik kasus penembakan yang diduga dilakukan dokter Helmi kepada
istrinya sendiri dokter Letty Sultri. Namun yang jelas, dari sisi pikiran, patut
diduga ada yang bermasalah.
Tentu tidak mungkin tiba-tiba ada
emosi yang intens bahkan memuncak jika tidak ada penyebabnya. Apalagi ditemukan
fakta, dokter yang dikabarkan pernah terjerat kasus pemerkosaan ini, juga
mengonsumsi obat penenang. Konon, dokter Helmi menolak digugat cerai istrinya,
sehingga memantik kemarahan hingga kemudian menembak istrinya sebanyak enam
kali di Klinik Az-Zahra Medical Centre, Cawang - Jakarta Timur. Lalu, patutkah kemarahan itu dilampiaskan
dengan membunuh istrinya sendiri?
Sejak
mempelajari teknologi pikiran, hal-hal yang selama ini dianggap tidak mungkin,
nyatanya banyak dijumpai di ruang terapi. Terlepas dari apa pun agama yang
dianut setiap individu, pada prinsipnya, sifat dari pikiran adalah netral.
Masing-masing individu itulah yang memberikan makna tersendiri dari setiap
kejadian.
Maksudnya netral
bagaimana? Sebagai contoh, saat kondisi di jalan tiba-tiba macet total,
sejatinya kejadian itu adalah netral. Bukankah di hampir semua tempat juga
kerap terjadi macet. Namun, sekali saja seseorang memberikan muatan ‘kesal’
atau ‘jengkel’ bahkan ‘marah’ atas kemacetan itu, maka mulai saat itu, kejadian
macet akan memiliki muatan emosi negatif. Begitu program ini dijalankan, maka
setiap kali macet, muatannya bukan lagi netral. Secara otomatis akan timbul
perasaan tidak nyaman, kesal, jengkel, dan sejenisnya.
Demikian
pula dalam hubungan suami istri. Mengambil contoh kasus yang terjadi pada
dokter Helmi dan dokter Letty Sultri, sudah
barang tentu ada akar masalah yang menjadikan ada muatan emosi negatif yang
kemungkinan terus membesar dan berefek seperti bola salju.
Berdasarkan pengalaman saat membantu
klien menjalani terapi, boleh jadi dokter Helmi berada pada titik kemarahan
tertinggi karena kesalahannya sendiri? Kok bisa, dia yang salah dan dia yang
marah? Nah di sinilah uniknya pikiran.
Begini, umumnya, saat seseorang
ketahuan alias ketangkap basah melakukan kesalahan, yang dilakukan adalah
segera melindungi dirinya atau menutupi kesalahannya. Caranya bagaimana? Ya
salah satunya dengan marah meledak-ledak. Tujuannya adalah untuk menutupi
kesalahannya lawannya menjadi kalah gertak dan tidak lagi fokus pada kesalahan
yang sedang dibahas.
Mau contoh konkret? Coba
perhatikan pengendara motor yang kena razia. Begitu ada yang tidak membawa
surat lengkap kemudian kena razia, ada saja yang justru balik marah bahkan
hingga memaki-maki petugas polisi. Kenapa melakukan itu? Tujuannya hanya satu,
untuk melindungi dirinya sendiri dan enggan mengakui kesalahan sendiri.
Kembali ke kasus dokter Helmi,
boleh jadi ada kesalahan besar yang pernah dilakukan sang dokter ini, hingga
kemudian diketahui oleh istrinya sendiri. Nah, untuk menutupi kesalahannya,
maka marah menjadi salah satu alat untuk melindungi diri. Apalagi sang istri
dikabarkan menggugat cerai, maka intensitas marah harus semakin naik, agar
istri membatalkannya. Sebab, kalau sampai cerai, maka hukuman sosial belum
tentu bisa diterima dokter Helmi. Dan itu berarti, dia harus mengakui
kesalahannya sendiri, apa pun itu.
Namun sayangnya, kemarahan yang
timbul benar-benar pada titik paling tinggi, sehingga senjata menjadi alat
mematikan untuk mencabut nyawa istrinya sendiri. Inilah bahayanya jika senjata
api jatuh pada tangan orang yang kurang tepat dari sisi kejiwaan atau
psikologis.
Sekali lagi, apa yang
dituliskan di atas hanya sebatas dugaan dan analisa dari sisi pikiran,
berdasarkan beberapa kasus yang kerap muncul di ruang praktik hipnoterapi.
Andai kasus penembakan belum
terjadi, apakah kemarahan dokter Helmi bisa diredakan? Lalu, apakah gugatan
cerai dari istrinya bisa dibatalkan? Menggunakan metode teknologi pikiran,
semua bisa dinetralisir kembali.
Dari sisi dokter Helmi
misalnya, bisa ditelusuri apa akar masalah yang menjadikan sang dokter
mengalami guncangan secara kejiwaan. Belum tentu istrinya yang menjadi
penyebabnya. Kejadian di masa kecil, atau trauma di masa lalu, kadang kerap
menjadi pemicu munculnya masalah di saat ini. Maka, untuk menelusuri hal itu,
bisa dilakukan menggunakan metode hipnoterapi, mengjangkau pikiran bawah
sadarnya.
Lantas, bisakah istrinya
mencabut gugatan cerainya? Bisa, asal memang sang istri bersedia dinetralisir
emosinya. Lagi-lagi, belum tentu juga dokter Helmi yang menjadi akar
masalahnya. Trauma masa lalu, apa pun itu, kadang bisa menjadi penyebab utama
seseorang sulit mengendalikan emosinya.
Bagaimana jika dokter Letty
Sultri memiliki trauma tertentu atas perlakuan suaminya? Dengan teknik khusus,
trauma ini bisa dinetralisir dengan mudah. Saya pernah membantu seorang bidan,
yang trauma melihat wajah suaminya sendiri. Kenapa? Karena dia sempat memergoki
suaminya, melakukan hubungan badan dengan seorang perawat, di rumahnya sendiri.
Oh ya, suaminya adalah seorang dokter, dan suami-istri ini bekerja di sebuah
instalasi kesehatan yang sama.
Bisa dibayangkan, betapa berat
trauma yang dialami sang bidan ini. Dengan dua kali sesi terapi, klien ini
akhirnya kembali netral dan nyaman. Kehidupan rumah tangganya pun kembali
normal. Keberhasilan itu tentu berkat kemauan dan kesediaan klien sendiri.
Hipnoterapis hanya membantu memberikan bimbingan dan arahan. Jika klien enggan
berubah dan tidak mau melepas emosinya, mustahil berhasil kembali netral.
Kembali ke masalah dokter
Helmi, tentu banyak hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Sekecil apa pun
masalah, sebaiknya segera diselesaikan. Jangan biarkan menumpuk masalah hingga
akhirnya menjadikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Tidak ada masalah
yang berat, yang ada hanyalah orang yang enggan menyelesaikan masalahnya
sendiri.
Demikianlah kenyataannya. (*)