HYPNO NEWS

Friday, January 18, 2019

Guruku Kekasihku, Bisakah?



 
Ahmad Bahruddin (kiri), penulis Guruku Kekasihku.


Sejak buku berjudul Guruku Kekasihku itu berada di tangan saya, malam harinya saya mulai menyelami isi buku tersebut. Ada kebahagiaan tersendiri saat membuka isi buku ini lembar demi lembar. Bagian diri saya yang suka membaca langsung girang. Apalagi tema yang dibahas soal pendidikan. Dulu, saya memang pernah bercita-cita jadi guru. Tapi apalah daya, keinginan menjadi wartawan lebih mendominasi. Beruntung, hasrat menjadi guru itu bisa terpuaskan setiap kali diminta mengisi seminar atau pelatihan di berbagai daerah di Indonesia.


Kembali pada isi buku Guruku Kekasihku yang ditulis DR Ahmad Bahruddin MPd. Buku bersampul cokelat dengan gambar cinta yang di dalamnya berisi lukisan tanaman singkong itu benar-benar ibarat sebuah sajian di restoran paling maknyus. Saya benar-benar tak ingin berhenti mengunyah setiap judul yang disajikan.

Saya termasuk pembaca yang kurang terstruktur. Buku apa pun, kecuali novel, kerap saya baca dengan cara melompat-lompat. Namun tak terasa, semua judul akhirnya berhasil dilahap. Sampai akhirnya saya mendapat kesimpulan penting, buku ini sangat wajib dibaca oleh siapa pun yang bersinggungan dengan dunia pendidikan. Apakah Anda seorang guru, dosen, wali kelas, hingga wali murid, ada baiknya menikmati sajian buku yang tebalnya lebih 400 halaman ini.

Salah satu semangat yang ingin disampaikan Mister Udin, sapaan akrab bagi sang penulis, bahwa guru memang harus mendidik dengan cinta. Sudah bukan zamannya lagi guru mendidik dengan hukuman dan ketakutan. Penulis lantas membuka catatan di halaman awal dengan sebuah ilustrasi. Digambarkan ada seorang guru yang mengumumkan waktu libur sekolah telah tiba. Betapa semua murid sangat bergembira, apalagi selama libur itu guru tak memberikan pekerjaan rumah. Betapa kegirangan anak itu seolah tahanan yang lepas dari penjara.

Ya, selama ini tak sedikit sekolah yang berubah menjadi penjara bagi anak-anak. Guru dan siapa pun yang terlibat di dalamnya, memberikan metode pengajaran dengan mengedepankan hukuman. Bukan dengan pendekatan bahasa cinta. Padahal, guru sudah diberikan tambahan insentif berupa tunjangan profesi. Harapannya, tentu tunjangan itu untuk peningkatan profesionalitas dan kapasitas para guru. Namun, berapa banyak guru yang menggunakan dana sertifikasi itu untuk kuliah lagi atau mengikuti pelatihan? Bukankah tak sedikit yang lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif?

Melalui buku ini, pembaca juga diajak bagaimana proses belajar dan mengajar di kelas doktoral yang sangat menyenangkan. Interaksi antara para dosen dan mahasiswa tergambar begitu santai namun tetap berbobot. Bagi kalangan pendidik, jelas akan ngiri dengan suasana tersebut. Secara tidak langsung, melalui buku ini, saya ikut belajar di kelas doktor, bedanya tentu tak bisa tanya jawab, apalagi berharap ijazah. Yang penting ilmunya benar-benar luar biasa.

Mister Udin juga mengulik beberapa film lain yang bisa dijadikan inspirasi bagi dunia pendidikan. Seperti 3 Idiot, Slumdog Millionaire, PK, hingga Dead Poets Society. Ada juga film Taare Zameen Par. Ini adalah film India yang dibintangi Aamir Khan, yang dalam bahasa Inggris diberi judul Like Stars on Earth. Entah sudah berapa kali saya menonton film yang menceritakan anak yang mengalami disleksia bernama Ihsaan Nandkishore Awasti. Diperankan oleh Darsheel Safary, Ihsaan merupakan seorang anak setingkat kelas 3 SD yang suka bermain. Ihsaan dianggap bodoh dan nakal. Tidak pernah mengerjakan PR, nilai ulangannya selalu di bawah rata-rata selain itu, juga kesulitan membaca dan menangkap perintah maupun kata-kata orang lain, setiap kata-kata dan tulisan yang dilihatnya seolah-olah seperti menari.  

Dengan gambaran film ini, penulis ingin menyampaikan bahwa setiap anak istimewa dan sangat berharga. Hanya terkadang tidak semua guru atau orang tua memahaminya. Sesekali saya juga pernah memberikan film ini kepada beberapa orang tua siswa di sekolah yang saya dampingi di SD Islam Al Hikmah Samarinda Seberang.

Sahabat saya di media sosial, Suci Hendras Kuswarini, termasuk salah satu orang tua yang rajin kampanye terkait disleksia ini. Sebab putranya Jalu, juga hampir sama seperti Ihsaan. Namun, semangat belajar Bu Suci, begitu biasa disapa, sangat luar biasa. Saya pun jadi makin banyak tahu soal disleksia.

Dalam bukunya, Mister Udin memang mengajak para guru atau orang tua mengubah pola pendidik dari menghukum menjadi lebih menghargai. Beliau kemudian mengutip pendapat pakar pendidikan Prof Rhenald Kasali. Digambarkan, ketika guru sedang ada kegiatan di luar, biasanya ada satu siswa diminta untuk mencatat siapa saja murid yang suka ribut, membuat onar, dan sejenisnya. Bagaimana jika dibalik, siswa diminta mencatat temannya yang menyelesaikan tugas terlebih dahulu, dan siapa yang bersikap baik. Tentu motivasinya akan berbeda. Menurut beliau, sekolah yang baik adalah sekolah yang membuat nyaman dan membuat siswanya merasa dihargai diperhatikan, bukan yang merasa terkekang atau selalu diawasi hingga membuat murid selalu merasa ketakutan.

Masih banyak lagi bagian tulisan menarik lainnya, yang tentunya tidak bisa dituliskan semuanya. Kalau ditulis semua, lah nanti para sahabat tidak lagi membaca bukunya. Lagi pula, catatan ini akan menjadi terlalu panjang, dan bisa berubah menjadi sebuah buku.

Namun yang pasti, apa yang disampaikan Mister Udin memang tidak hanya sekadar tulisan. Beliau sudah melakukannya sendiri. Ketika saya pernah menjadi mahasiswa beliau, dosen satu ini memang sangat komunikatif dan sangat menghargai pendapat yang muncul di kelas. Tak heran pula jika beliau pernah diganjar sebagai guru berprestasi tingkat nasional, dan menjadi wakil provinsi Kalimantan Timur di ajang tersebut. Walakin, tak semua orang juga suka dengan gaya seperti itu, dan tetap mempertahankan dogma lama.

Bagaimana menurut Sahabat?  
    

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2014 Hipnoterapi Endro S. Efendi, CHt, CT, CPS.. Designed by OddThemes