Endro (berdiri, tengah) bersama Ustaz Mamat (5 dari kanan) dan para pengasuh Pondok Pesantren Al Mukhlis. |
BANDUNG
- Di tengah derasnya pengaruh modernisasi, pondok pesantren dianggap sebagai
salah satu solusi pendidikan yang mengutamakan akhlak dan keagamaan. Namun,
benarkah sistem pendidikan yang ada di pesantren sudah benar-benar sesuai
dengan perkembangan zaman? Kegelisahan inilah yang dirasakan pengasuh Pondok
Pesantren Al Mukhlis di Kampung Panyaungan RT 1 RW 1 Desa Nagrak Kecamatan
Cangkuang Kabupaten Bandung – Jawa Barat.
“Kami
selalu mengajarkan kepada para santri agar meneladani Rasulullah. Semua harus
dilandasi kasih sayang. Namun pada kenyataannya, terkadang ustaz dan pengasuh
sesekali terpancing emosinya. Inginnya santri bisa disiplin, namun yang terjadi
mungkin terlalu keras dalam mendidik,” sebut Ustaz KH Mamat Ruhimat
Hidayatullah, pimpinan Ponpes Al Mukhlis saat berbincang santai di salah satu saung
yang banyak tersebar di areal pondok ini.
Dampak
dari sistem pendidikan yang keras di pondok pesantren, diakui Ustaz Mamat -begitu
biasa disapa- dikhawatirkan bisa memberikan trauma yang mendalam. “Saya sendiri
pernah mondok, jadi santri di salah satu pesantren. Pola pendidikan yang keras
memang rasanya membuat tidak nyaman. Inilah yang ingin saya ubah,” ujarnya.
Salah
satu pendiri pondok pesantren ini, H Yana Hendayana, juga termasuk yang tidak
setuju adanya pola pendidikan terlalu keras di pondok. Pria yang juga pernah jadi
santri pondok itu juga mengaku sempat mengalami trauma. Beruntung, Yana pernah
membaca buku tentang teknologi pikiran, hingga kemudian mengikuti workshop
Quantum Life Transformation (QLT) dari Adi W. Gunawan Institute. Berbekal
workshop ini pula, Yana berhasil merilis semua trauma dan emosinya di masa
lalu, termasuk ketika masih menjalani pendidikan di pondok pesantren.
Suguhan masakan dari para santri, rasanya mantap. |
“Ini
juga yang sering saya sampaikan ke pengasuh pondok, supaya semakin meningkatkan
kualitas pola asuh dengan mengedepankan kasih sayang,” tutur Yana.
Yana
kemudian mengundang Endro S. Efendi, trainer teknologi pikiran lulusan Adi W. Gunawan
Institute (AWGI) untuk sharing tentang materi teknologi pikiran, Quantum Life
Transformation, di pondok pesantren pimpinan Ustaz Mamat.
“Saya
dengar Pak Endro kebetulan sedang ada di Bandung, makanya saya undang supaya
bisa sharing di pondok. Alhamdulillah pak Endro bersedia,” ujar Yana.
Bertempat
di salah satu saung di pondok tersebut, Endro pun sharing tentang teknologi
pikiran dengan materi Quantum Life Transformation. Dia menyampaikan, sangat senang
bisa berbicara di lingkungan pondok pesantren. Kenapa? Karena faktanya, dalam
beberapa kasus yang ia tangani, tak sedikit yang akar masalahnya berasal dari
pola asuh pesantren yang keras.
“Pernah
ada klien yang sulit mengendalikan emosinya. Mudah sekali marah terhadap
karyawannya. Ternyata, ketika menjalani terapi, akar masalahnya ketika dia
masih di pondok pesantren. Ketika itu klien terlambat ke masjid untuk salat,
namun kemudian disabet pakai sajadah oleh salah satu pengasuhnya,” ujar Endro.
Selain
kasus tersebut, masih ada beberapa kasus lain yang akar masalahnya berasal dari
masa lalu saat masih di pondok pesantren. Itu sebabnya, ia sangat mendukung dan
mengapresiasi upaya pondok pesantren yang ingin meningkatkan kualitas pola
asuh, tanpa mengabaikan kualitas di bidang pendidikan akademik dan keagamaan.
Dijelaskan
Endro, pondok pesantren adalah tempat yang sangat strategis dan tepat untuk
membentuk karakter santri. Sebab, semua komponen untuk menanamkan program ke
pikiran bawah sadar, semuanya ada di dalam pondok pesantren.
Endro
menyampaikan, ada lima cara untuk memasukkan program ke pikiran bawah sadar.
Pertama, figur otoritas, kedua emosi dengan intensitas tinggi, ketiga repetisi
ide, keempat identifikasi kelompok, dan kelima relaksasi pikiran. “Kelima cara
ini, semua ada di pondok pesantren,” ujarnya.
Pertama,
figur otoritas. Semua ustaz dan pengasuh pondok merupakan figur otoritas bagi
para santri. Karena itu, disarankan Endro, agar para ustaz dan pengasuh sebagai
figur otoritas tidak sembarangan dalam bertindak dan mengucapkan sesuatu yang
mungkin kurang tepat.
“Bisa
saja niat ustaz bercanda, atau sekadar memberikan contoh. Tapi jika kalimat
yang digunakan kurang pas dan menyinggung perasaan santri, akan menjadi trauma
berkepanjangan,” tuturnya. Apalagi menyangkut hukuman fisik, sangat berbahaya
dampaknya bagi tumbuh kembang santri kelak.
Kedua
adalah emosi dengan intensitas tinggi. Menurut Endro, para santri yang mondok terkadang
memiliki masalah kurang kasih sayang, karena memang terpisah dari kedua orang
tuanya. Hal ini menyebabkan santri terkadang mudah galau karena menyimpan rindu
terhadap keluarganya. “Jika itu terjadi, pikiran bawah sadar sedang terbuka
lebar. Maka apa pun yang disampaikan para guru dan pengasuhnya, akan masuk ke
pikiran bawah sadar. Itu sebabnya, sebaiknya berikan program yang tepat,” ujarnya.
Bersama Ustaz Mamat (tengah) dan pendiri pondok pesantren Yana Hendayana (kanan) |
Ketiga,
repetisi ide atau pengulangan. Tanpa sadar, terkadang ustaz atau pengasuh
mengulang-ulang kalimat yang kurang pas pada santri. Hal ini bisa menjadi
program yang berpengaruh di masa mendatang. Sebagai gantinya, gunakan
kalimat-kalimat yang positif dan memberikan semangat serta motivasi pada para
santri. Jika dilakukan terus-menerus, maka santri akan tumbuh menjadi pribadi
yang semangat dan siap maju menghadapi tantangan.
Selanjutnya
keempat, identifikasi kelompok. “Pondok pesantren ini sendiri merupakan
kelompok khusus. Maka, apa pun yang disampaikan kepada para santri, jelas tidak
akan ada penolakan. Semua akan diterima pikiran bawah sadar,” ujar Endro.
Terakhir,
relaksasi pikiran. Di ruang terapi, ketika Endro menangani klien, selalu menggunakan
metode hipnoterapi. Ini adalah metode untuk mengakses pikiran bawah sadar. Dengan
relaksasi pikiran, program akan mudah ditanamkan atau untuk mencabut akar
masalah.
“Namun
dalam Islam, relaksasi pikiran sudah ada waktunya, lima kali sehari, yaitu salat
wajib. Sayangnya, ketika salat belum tentu bisa kusyuk,” bebernya. Untuk itu ia
menyarankan, ketika para santri salat, apalagi ketika salat tahajjud, adalah
saat yang tepat untuk memperbaiki diri sendiri.
“Sebelum
salat, selain memang berniat untuk menghadap Sang Maha Pencipta, tak ada
salahnya berniat untuk melepas semua masalah yang sedang dihadapi, sehingga
pikiran menjadi tenang dan nyaman,” sarannya.
Di
akhir sharing, tak lupa Endro mengajarkan teknik khusus kepada para ustaz dan
pengasuh, bagaimana cara melepas emosi yang tenang dan nyaman. Teknik berbasis
teknologi pikiran itu, diharapkan bisa membantu para pengasuh dan guru pondok
pesantren ini, agar selalu tenang dan nyaman dalam mendidik para santri.
“Selama
ini, kami memang sering mengajarkan, jika ada masalah sebaiknya berserah diri, pasrah
dan ikhlas kepada Allah. Tapi ya nyatanya kadang masih ada saja yang
mengganjal. Alhamdulillah dengan teknik yang diajarkan, mudah-mudahan bisa
membantu kami untuk melepas perasaan tidak nyaman dengan benar-benar ikhlas,”
ucap Ustaz Mamat usai sesi diskusi berlangsung. (*)
Post a Comment