Sudah menjadi
fitrah bahwa manusia adalah makhluk sosial. Mau tidak mau, suka tidak suka,
harus selalu berhubungan dengan orang lain. Dari mulai lingkungan keluarga,
hingga di masyarakat atau lingkungan kerja. Lebih luas lagi, juga harus berhubungan
dengan orang lain yang belum kenal sekali pun.
Saat
berhubungan dengan orang lain ini lah, terkadang ada perasaan yang campur aduk.
Seperti permen Nano-Nano, ramai rasanya. Kadang nyaman, bahagia, kadang pula
baper alias bawa perasaan. Lebih parah lagi kalau sampai merasa dendam,
dongkol, jengkel, sakit hati, kecewa, dan sejenisnya.
Lalu
bagaimana cara mencegah agar bisa bebas dari rasa tidak nyaman? Hal pertama
yang bisa dilakukan adalah, hindari memasang garis kebenaran. Ketika seseorang
sudah memasang garis kebenaran pada dirinya sendiri, maka sejak itulah
persoalan mudah terjadi. Akibatnya, orang lain selalu salah, dirinya selalu
merasa benar.
Coba perhatikan
di tahun politik saat ini, banyak sekali orang yang kemana-mana memasang garis
kebenaran. Akibatnya, orang lain selalu salah, dan dirinya sudah pasti paling
benar. Akibatnya bisa dilihat sendiri, setiap orang mudah tersulut emosi. Apalagi
jika masing-masing orang memaksa memasang garis kebenarannya sendiri-sendiri. Jadilah
garis-garis itu saling bersinggungan, dan berubah menjadi pagar tinggi hingga
menjadi tembok penghalang. Padahal sudah ditegaskan di dalam Alquran, bahwa
Allah sengaja menciptakan umatnya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar semua
saling mengenal satu sama lain. Setiap orang padahal diharapkan menjadi rahmat
bagi yang lainnya.
Namun
sekali lagi, perselisihan sangat mudah tersulut hanya karena garis kebenaran
ini. Di dalam rumah tangga misalnya, suami sangat mudah menyalahkan istri. Sebaliknya,
istri mudah menyalahkan suami. Semua akibat dari garis kebenaran yang sudah
dipasang. Begitu pula di kantor, karyawan yang satu dengan mudah menyalahkan
yang lain, hanya karena tidak sesuai standar kebenaran yang dipasang oleh
karyawan itu sendiri.
Mulai
dari sekarang, bagaimana kalau kita balik dan inilah kalimat ajaib itu. “Saya
selalu salah, orang lain mungkin benar.” Menghadapi masalah apa pun, coba
gunakan kalimat ini. Inilah sejatinya istigfar yang diajarkan dalam agama. Mengakui
kesalahan atas apa pun, akan membuat kita belajar lebih baik. Hakikat dari ‘saya
salah’ adalah, ada tekad untuk berbuat lebih baik lagi, belajar lebih baik
lagi, dan tidak perlu menyakiti perasaan orang lain.
Maka,
saat mendapati karyawan tidak bekerja sesuai harapan, segera ucapkan dalam
hati, “saya yang salah”. Segera cari apa saja bentuk kesalahan itu. Misalnya,
kurang memberikan pemahaman, kurang memberikan perhatian, atau memang salah
sejak awal dalam proses rekrutmennya. Dengan demikian, kita bisa segera
memperbaikinya.
Saat
ditipu oleh rekan bisnis, tak usah menyalahkannya. Salahkan diri sendiri. Segera
cari apa saja kesalahannya. Mungkin terlalu percaya sejak awal, kurang teliti
dalam menjalankan sistemnya, dan bentuk kesalahan lainnya. Dengan cara
demikian, maka diri kita sendiri akan semakin tumbuh sebagai pribadi yang luar
biasa. Energinya akan semakin dahsyat dan dengan mudah bisa mencapai apa yang
diharapkan.
Ingatlah,
sampai dunia berhenti berputar, kita tidak akan bisa mengubah orang lain. Yang
bisa kita ubah adalah diri sendiri. Saat diri kita berubah, yakinlah semesta
akan ikut mendukung perubahan itu. Saat saya menuliskan artikel ini, sejatinya
ini juga untuk diri saya sendiri. Sebagai pengingat bagi diri sendiri. Jika
kemudian Anda membaca dan mau mengamalkan, itulah bentuk dukungan dari semesta.
Sukses dan
rezeki kita, ada pada senyum orang lain. Maka, saat membuat orang lain kecewa
atau sakit hati, saat itu pula kita sedang merusak ladang rezeki kita sendiri.
Menjaga perasaan orang lain, sama halnya sedang menjaga aliran rezeki kita
sendiri.
Apalagi
keluarga terdekat, itulah sumber rezeki yang terbesar. Suami, istri, anak,
orang tua, mertua, adik, kakak, sahabat, teman dekat, relasi, siapa pun itu,
mereka lah sumber rezeki kita. Jangan sampai membuat mereka kehilangan
senyumnya gara-gara kita. Buatlah mereka selalu tersenyum bahagia. Ketika
mereka merasa selalu bahagia dan bisa tersenyum dengan tulus, maka sejatinya kita
sedang membuka keran energi yang berlimpah ruah.
Anda
boleh tidak setuju dengan pendapat ini. Karena boleh jadi, saya memang salah
dalam menuliskannya. Bagaimana menurut Anda?
Post a Comment