“Coba kamu lihat si A, dia bisa begini dan
begitu, masa kamu tidak bisa?” begitu biasanya seseorang menyampaikan sesuatu,
dengan niat untuk memotivasi. Alih-alih membuat orang semangat dan termotivasi,
yang terjadi justru sebaliknya. Mendengar itu malah semakin sebel, kesel,
jengkel, dan teman-temannya.
Sahabat yang budiman, siapa pun orangnya,
apa pun profesinya, sepanjang apa pun gelarnya, tentu tidak akan rela dan tidak
suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. Kenapa? Karena setiap orang
memiliki keunggulan dan keunikan masing-masing. Kalau pun ada tolok ukur
tertentu, misalnya tingkat kecerdasan, tetap saja belum bisa dijadikan rujukan
utama dalam memberikan penilaian pada seseorang.
Pada 2016 lalu, saya pernah diundang salah
satu kepala sekolah di Samarinda. Dia memohon untuk dibantu menguraikan
persoalan pada sekolah yang ia hadapi. Kepala sekolah ini sebelumnya sukses
memimpin sebuah sekolah di Surabaya. Maka tak berlebihan kiranya jika ia ingin
mengulangi kesuksesannya di Samarinda.
“Masalahnya, guru-guru di sini susah diajak
bekerja sama. Saya merasa masih ada jarak dengan mereka. Sudah hampir 3 tahun
saya di sini, tapi tetap ada perasaan tidak nyaman. Saya bingung harus
bagaimana lagi menghadapi para guru di sini,” keluh pria tersebut.
Panjang lebar dia menceritakan kesuksesan
dia sebelumnya, saat memimpin sebuah sekolah di Surabaya itu. Ia berharap,
kedekatan emosional guru dan kepala sekolah, bisa terjadi seperti di Surabaya dulu.
Meski sudah memberikan banyak contoh ketika di Surabaya, namun yang terjadi hubungan
dengan para guru tetap ada hambatan.
Saya tetap mendengar semua keluhannya,
meski sebagian besar diulang-ulang. Dari sini bisa dilihat, pria tersebut
memang suka mendominasi pembicaraan. Lebih suka berbicara ketimbang mendengar. Akibatnya,
hubungan antara guru dengan kepala sekolah hanya terjadi satu arah.
Saat saya coba konfirmasi hal tersebut ke
beberapa guru, mereka mengaku sungkan mau berbicara atau berdebat langsung.
“Percuma pak, tetap saja beliau inginnya
seperti di Surabaya. Ini Samarinda, bukan Surabaya pak,” sebut salah satu guru
ketika saya konfirmasi mengenai hal tersebut.
Apa yang saya simpulkan benar adanya. Ada
satu hal yang tidak disadari oleh sang kepala sekolah. Apa itu? Dia lebih sibuk
membandingkan para guru di Samarinda dengan di Surabaya. Akibatnya, kepala
sekolah ini tidak melihat potensi yang dimiliki oleh setiap guru.
Sama halnya dengan pelatih sepak bola. Bisa
dikatakan hebat dan sukses jika selalu membawa tim yang diasuhnya juara. Padahal
timnya berbeda-beda, dengan kualitas pemain yang beda-beda. Poinnya adalah,
pelatih harus bisa memotret kemampuan tim dan memberdayakannya secara maksimal.
Kembali pada kepala sekolah tadi, saya
sarankan dia menyelami potensi masing-masing guru. Saya minta dia ‘move on’ alias melupakan sekolahnya
dulu di Surabaya. Dia harus fokus dengan sekolah yang dipimpinnya saat itu,
dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Saya pun meminta diadakan pertemuan. Dihadiri
kepala sekolah serta semua guru dan elemen sekolah lainnya. Saya minta setiap
guru untuk memberikan masukan dan saran tertulis untuk kepala sekolah tersebut.
Minimal 5 saran, boleh lebih. Saya juga meminta setiap orang menuliskan minimal
5 kesalahannya masing-masing, boleh lebih.
Pun demikian juga dengan kepala sekolah. Saya
minta beliau menuliskan 5 kesalahannya, boleh lebih, untuk menjadi bahan
perbaikan ke depan. Semua pun dengan tenang dan hening fokus pada kertasnya
masing-masing.
Hampir 30 menit waktu digunakan untuk sesi
tersebut. Saran dan masukan dari setiap guru diserahkan kepada kepala sekolah. Sementara
daftar kesalahan masing-masing, saya minta untuk dibaca dan dicermati kembali
dalam suasana hening.
Tak terasa, kepala sekolah di hadapan saya
meneteskan air matanya. Dia segera menghampiri saya. “Ternyata selama ini saya
yang salah. Saya terlalu egois. Tidak mau mendengar masukan. Juga sibuk
membanding-bandingkan sekolah ini dengan sekolah saya dulu,” bebernya dengan
linangan air mata.
Saya pun meminta kepala sekolah ini
mendatangi guru dan stafnya satu demi satu, untuk saling bermaafan. Maka, hari
itu suasana yang selama ini kurang nyaman, bisa disatukan kembali.
Lagi-lagi, komunikasi menjadi kunci utama.
Saling memahami, terutama mau mendengar, adalah hal yang sangat penting dalam
setiap berhubungan dengan pihak lain.
Apa yang terjadi pada kisah sekolah
tersebut di atas, juga bisa saja terjadi pada perusahaan, pada organisasi,
instansi, atau bahkan di lingkungan keluarga.
Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa
diambil dalam contoh persoalan tersebut. Sehingga, hubungan antarsesama
individu bisa lebih nyaman dengan energi yang selalu maksimal.
Demikianlah harapannya.
Post a Comment