HYPNO NEWS

Tuesday, October 14, 2025

Ketika Teguran Tak Lagi Bermakna

Kasus seorang guru di SMAN 1 Cimarga, Lebak, yang menampar muridnya karena ketahuan merokok, menjadi sorotan publik. Gelombang reaksi pun muncul — sebagian menilai tindakan sang guru tidak manusiawi, sebagian lain merasa itu wajar sebagai bentuk disiplin. Tentu, kekerasan fisik tak pernah bisa dibenarkan. Sekolah bukan tempat untuk menyalurkan amarah. Namun di balik kasus ini, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: Apakah generasi muda kita hari ini masih memahami arti teguran dan batas? Zaman yang Mudah Tersinggung Kita hidup di masa ketika teguran sering disalahartikan sebagai serangan, dan disiplin dianggap bentuk kekerasan. Anak-anak mudah tersinggung, orang tua mudah melapor, dan guru—yang dulu menjadi figur otoritas—kini harus berhitung bahkan untuk marah. Padahal, tidak semua kemarahan lahir dari kebencian. Kadang, itu justru bentuk cinta yang salah cara. Guru bisa salah, tentu saja. Tapi bagaimana dengan murid yang sudah lebih dulu melanggar? Kasus di Cimarga mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya tentang angka dan nilai, melainkan tentang membentuk manusia yang memahami batas dan tanggung jawab. Kisah Seorang Wanita 80 Tahun Saya pernah bertemu seorang wanita berusia 80 tahun. Tubuhnya sudah ringkih, pandangannya sayu, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dilupakan — semacam penyesalan yang dalam. Ia tak bisa membaca. Tak bisa menulis. Bahkan untuk menulis namanya sendiri, ia tak mampu. Padahal, dulunya ia adalah anak seorang pengusaha kaya di Kaltim. Hidupnya berkecukupan. Apa pun yang diinginkan, selalu didapat. “Kalau nggak mau sekolah, ya nggak usah,” kata orang tuanya dulu. “Yang penting kamu bahagia.” Kakak-kakaknya diberi pesan untuk selalu menuruti adik bungsu itu. Maka hidupnya pun mengalir tanpa batas, tanpa teguran, tanpa disiplin. Semua dituruti, semua dimanja. Tahun demi tahun berlalu. Orang tuanya meninggal, dua kakaknya juga berpulang. Suaminya pun wafat. Kini ia sendirian di rumah besar yang dulu penuh tawa. Ia divonis mengalami skizofrenia ringan, sering lupa hal-hal kecil, dan kadang menangis tanpa sebab. Dalam satu percakapan, ia berbisik lirih, “Andai dulu aku dipaksa sedikit saja untuk belajar, mungkin aku tidak begini.”

Kalimat itu menancap dalam. Betapa banyak orang tua berpikir bahwa melarang, menegur, bahkan memaksa itu menyakitkan — padahal justru itulah wujud cinta yang sejati. Disiplin dan Cinta, Dua Sayap yang Harus Seimbang Kisah wanita itu dan kasus di Cimarga sama-sama bicara tentang satu hal: batas. Bahwa cinta tanpa batas akan melahirkan generasi yang rapuh, sementara aturan tanpa cinta akan melahirkan generasi yang terluka. Guru memang harus belajar menegur dengan hati. Tapi murid pun harus belajar untuk tidak menolak nasihat. Karena hidup tidak akan selalu menepuk pundak dengan lembut — kadang hidup menampar, agar kita sadar dan bangkit. Kita boleh menolak kekerasan, tapi jangan menolak kedisiplinan. Kita boleh menolak amarah, tapi jangan menolak teguran yang lahir dari niat baik. Karena dunia tanpa batas bukanlah kebebasan, melainkan awal dari kehilangan arah. (*)

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2014 Hipnoterapi Endro S. Efendi, CHt, CT, CPS.. Designed by OddThemes