Siang tadi, selepas salat Jumat, saya bertemu salah satu
sahabat saya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Karena lama tak
bertemu, dia pun banyak bercerita tentang dirinya, terutama soal pekerjaannya.
Singkat cerita, dia tidak berubah seperti dahulu. Dia tetap membanggakan dirinya yang punya sikap mudah marah dan emosi. Siapa saja yang dianggap tidak cocok dengan dirinya, dia tidak segan-segan untuk melabraknya. Bahkan tak peduli apakah orang itu pimpinannya atau atasannya sendiri.
Coba Anda cek di kantor atau tempat kerja masing-masing. Adakah karyawan atau pegawai yang karakternya seperti sahabat saya di atas? Kalau ada, coba lihat karirnya. Apakah moncer, atau biasa-biasa saja.
“Pokoknya kalau ada yang ngga cocok ya aku langsung ngomel. Di
kantorku, mana ada yang berani sama aku. Bosku aja ngga berani kok,” ucapnya
bangga.
Sahabat saya satu ini, dari dulu terkenal temperamen. Pokoknya
kalau ada yang tidak pas, ya dia langsung bereaksi. Tidak peduli kondisinya
seperti apa, yang pasti siapa pun akan mendapat ocehan dari dia jika sedang
emosi.
Saya sempat bertanya, sampai kapan akan bertahan dengan
sifatnya yang suka mengumbar emosi itu? “Kamu kan sudah kenal aku dari dulu. Aku
ya seperti ini. Ini sudah sifatku,” katanya tegas. Saya hanya diam, dan coba
memaklumi. Kekerasan hatinya memang sudah sangat dikenal. Bahkan di antara
keluarganya, dia lah yang paling mudah tersulut emosi.
“Yakin, kamu tidak mau mencoba menurunkan emosi demi masa
depan yang lebih baik. Apakah kamu yakin, sekeliling kamu tidak ada yang merasa
terganggu dengan sikapmu?” tanya saya lagi.
“Bodo amat, cuek aja lagi. Kalau mereka ngga suka ya biarin.
Tidak ada yang bisa ngatur aku,” balasnya dengan nada semakin tinggi.
Saya pun mencoba bertanya soal pekerjaannya. “Sekarang kerja
di bagian apa?” tanya saya lagi.
“Masih seperti dulu. Sudah 7 tahun aku di situ. Temanku
sudah banyak mutasi, aku aja yang bertahan,” katanya lagi. Kali ini dengan nada
yang mulai agak gamang. “Sudah ngga papa bro. Rezeki sudah ada yang ngatur, aku
sih santai aja kok,” sambungnya mencoba menghibur diri.
Mendengar jawaban itu, saya langsung mencoba mencari bagian
lain dalam dirinya yang tidak terima dengan kondisi tersebut. “Kamu boleh saja
bilang ngga apa-apa. Tapi coba kamu cek betul-betul perasaan kamu. Adakah bagian
diri mu yang ingin menyampaikan bahwa kamu sudah seharusnya naik pangkat atau
menduduki jabatan lebih tinggi?” tanya
saya.
“Ya sih, kayanya memang ada jawaban,” jawabnya. Kali ini nadanya sedikit lemah.
Sahabat semua, kisah di atas bisa saja terjadi pada siapa
saja. Baik diri Anda sendiri, atau teman dan kerabat Anda. Dari kisah di atas
bisa ditarik kesimpulan, energi negatif hanya akan menghasilkan vibrasi negatif.
Sahabat saya tadi tidak menyadari, sikapnya yang mudah emosi hanya akan
memancarkan sinyal negatif. Akibatnya, tidak ada yang suka terhadap sikapnya. Bahkan
pimpinannya pun tidak menyukainya. Kenapa? Terbukti karirnya mentok, tersendat.
Rekan-rekannya sesama satu kantor, sudah banyak yang mendapatkan promosi
menduduki jabatan lebih tinggi. Sementara dia tidak mengalami peningkatan sama
sekali.
Bukankah dalam kitab suci Alquran pun disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka
” QS 13:11.
Selama sahabat saya
tadi tetap mempertahankan sikapnya yang mudah emosi dan tidak punya empati
dengan orang lain, maka sejatinya sikap itu akan kembali pada dirinya sendiri.
Mudah marah atau emosi,
hanya akan menguras energi. Jika energi mudah terkuras melalui emosi, maka
tidak ada lagi sisa energi yang bisa dipakai untuk merancang masa depan. Jika
Anda masih tetap menjunjung tinggi sikap ini, maka sebaiknya ucapkan selamat
tinggal pada masa depan Anda. Semoga saja ini dibaca sahabat saya. (*)
Post a Comment