Tulisan ini lahir atas dorongan salah satu sahabat saya di media
sosial Facebook. Belum lama ini, saya memasang foto sedang melakukan proses
terapi massal terhadap kontingen Tapak Suci Putera Muhammadiyah asal Berau.
Mereka akan bertanding di kejuaraan tingkat Kaltim - Kaltara, di Auditorium
Universitas Mulawarman, Samarinda.
Proses terapi terjadi secara dadakan. Awalnya, saya hanya
berniat menemui rombongan karena memang saya mengenal para guru pembimbing,
juga atlet yang merupakan teman sekolah anak saya ketika di Berau. Di sela
obrolan santai, Soleh, Saddam, dan Agus, pelatih sekaligus guru pendamping
kontingen ini, meminta saya untuk menyiapkan kondisi psikologis para atlet ini
agar lebih maksimal. Secara teknik, mereka jelas sudah siap bertanding. Tapi
secara mental? Inilah yang sulit diketahui dan diukur.
Saya sendiri, tidak mengira akan diminta melakukan proses ini. Rupa-rupanya,
Saddam, sang guru pendamping, masih ingat ketika saya pernah melakukan proses
terapi massal kepada para muridnya, termasuk anak saya di dalamnya, saat akan
bertanding dalam kejuaraan drumband tingkat kabupaten Berau.
Ketika itu, SD Muhammadiyah Tanjung Redeb yang baru pertama kali ikut dalam
kejuaraan tahunan itu, berhasil meraih juara dua. Ditambah menyabet predikat
gitapati terbaik pertama, juga menjuarai beberapa nomor lain, termasuk anak
saya meraih juara 2 untuk kategori solo horn dan juara 2 untuk duet horn.
SMP Muhammadiyah Berau juga saya lakukan terapi yang sama. Hasilnya juga sama,
meraih juara kedua. Padahal juga baru pertama kali ikut kejuaraan ini. Ditambah
meraih juara pertama battle drumb, juara pertama gitapati, serta beberapa piala
lain.
Begitu pula SMA 1 Berau, juga binaan dari pelatih yang sama, pun sempat saya
lakukan proses terapi massal. Hasilnya, meraih juara umum dalam ajang yang
digelar awal 2015 itu, serta menjuarai beberapa kategori lain.
Tanpa pikir panjang, permintaan terapi massal untuk kontingen ini langsung saya
sanggupi. Para atlet juga bersedia. Apalagi, ini adalah pengalaman pertama bagi
mereka, bertanding di tingkat provinsi. Mereka mencoba unjuk kebolehan membawa
nama daerah meski harus rela melintasi perjalanan darat Berau - Samarinda yang
sangat melelahkan. Bukan karena kabut asap sehingga tidak bisa naik pesawat,
melainkan memang dana yang sangat terbatas.
“Adakah perasaan tidak nyaman, gugup, takut, was-was, cemas, kurang percaya
diri, atau perasaan lain menjelang pertandingan ini?” tanya saya kepada mereka.
Para atlet ini pun mengangguk. Satu demi satu, mereka menyampaikan apa saja
perasaan tidak nyaman yang muncul. Skalanya memang tidak tinggi. Jika 10 adalah
angka tertinggi, perasaan tidak nyaman yang mereka rasakan berada di angka 4
sampai 6.
Dengan teknik tertentu, saya pun membimbing para atlet ini mengalami perasaan
rileks yang dalam dan menyenangkan. Meski hanya duduk bersila dan melingkar di
halaman auditorium kampus terbesar di Kaltim itu, para atlet ini tetap nyaman
mengikuti bimbingan dan arahan yang saya berikan.
Setelah saya yakin mereka berada pada kondisi profound somnambulism (kondisi
kedalaman paling tepat untuk melakukan proses pada pikiran bawah sadar), saya
pun melakukan teknik khusus untuk membersihkan semua perasaan tidak nyaman yang
ada dalam diri masing-masing atlet ini.
Begitu tuntas, perlahan mereka dikembalikan lagi ke kondisi semula. Bangun
segar, sadar sepenuhnya, serta pandangan mata terang dan nyaman. Hasilnya, para
atlet mengaku merasa lebih nyaman dan plong, dan benar-benar siap bertanding
tanpa beban.
Hasilnya memang tidak sia-sia. Meski baru pertama kali ikut serta di ajang
bergengsi tingkat provinsi, empat atlet dari Berau ini berhasil meraih tiga
medali perak dan satu perunggu.
Lantas bagaimana dengan peran motivator, yang selama ini juga kerap dihadirkan
untuk menyiapkan kondisi atlet? Motivator memang penting, untuk lebih
memberikan semangat juang. Tetapi, motivasi yang diberikan, efeknya baru akan
bekerja jika kondisi atlet dalam kondisi netral, alias tidak ada masalah sama
sekali. Kalau masih ada masalah, walaupun diberi motivasi berkali-kali, ya
hasilnya akan nihil. Itu sama halnya sebuah mobil balap, yang pedal gasnya
sengaja diinjak sangat kuat, dengan harapan mobil bisa melaju lebih cepat.
Tapi, sebelum pedal gas diinjak, jangan lupa untuk melepas rem tangannya lebih
dahulu. Selama rem tangan masih belum dilepas, maka laju mobil akan tetap
terhambat. Nah, pedal gas ini ibarat motivasi, sementara rem tangan adalah
masalah berkaitan dengan mental atau pikiran.
Saat atlet akan bertanding, baik untuk nomor perorangan atau olahraga beregu,
diperlukan kondisi fisik dan psikis yang betul-betul siap. Atlet tidak hanya
dituntut menguasai teknik bertanding, tapi juga dituntut memiliki mental yang
benar-benar siap. Kenapa? Sedikit saja ada muncul perasaan tidak nyaman, jelas
akan berpengaruh pada saat bertanding. Bukankah atlet juga makhluk sosial, yang
tidak bisa dilepaskan dari persoalan hubungannya dengan orang lain. Baik dengan
suami atau istri, orang tua atau pun mertua, termasuk dengan teman, sahabat,
bahkan kekasihnya. Bahkan masalah dengan dirinya sendiri.
Dengan bantuan terapis, persoalan tidak nyaman inilah yang perlu dibereskan
dulu sampai tuntas. Kalau perlu sampai melibas akar masalahnya. Dengan begitu,
atlet akan benar-benar bertanding dengan kesiapan utuh 100 persen, baik secara
teknik maupun secara mental. Begitu masalah dituntaskan, atlet akan mampu
bertanding lepas tanpa beban. Bukankah selama ini para pelatih maupun ofisial
selalu meminta atlet bermain tanpa beban, tanpa perlu memikirkan menang atau
kalah. Teorinya memang seperti itu. Tapi bagaimana caranya? Inilah yang tidak
banyak diketahui.
Itu sama saja ketika seseorang mengalami masalah, kemudian ada yang berkata,
“sudah lupakan saja, ikhlaskan saja.” Ya, itu teorinya. Tapi bagaimana cara
melepas dan mengikhlaskannya? Ini yang susah.
Karena itu, ada baiknya para atlet dibekali teknik khusus. Sehingga, ketika ada
masalah atau ada perasaan tidak nyaman yang muncul, bisa melakukan terapi ke
diri sendiri. Ada banyak teknik yang bisa dipelajari. Sehingga para atlet tidak
hanya punya kemampuan memperbaiki tekniknya bertanding, tapi juga memiliki
kemampuan menyelesaikan masalahnya sendiri. Bagaimana menurut Anda?
Post a Comment