Minggu
(29/11/2015) tadi, publik dihebohkan dengan berita kecelakaan yang
melibatkan sebuah mobil mewah Lamborghini, yang sebelumnya diduga melakukan
balap liar dengan mobil mewah lainnya jenis Ferrari.
Pro
dan kontra seketika merebak di semesta maya. Ada yang menghujat pelaku, ada
pula yang bersimpati hingga menyatakan kekagumannya terhadap pelaku yang mau
bertanggung jawab. Kekaguman lain juga ditujukan kepada warga Kota Pahlawan
yang tidak melakukan aksi massa pada pelaku.
Sejenak
saya mencoba menikmati perseteruan di dunia maya, sekaligus ingin mengulik
bagaimana masing-masing individu menumpahkan isi pikirannya.
Yang
pasti, dalam pemahaman saya yang sekarang, apa yang disampaikan setiap individu
itulah yang sejatinya keluar langsung dari pikiran bawah sadar. Apa yang
disampaikan setiap individu di dunia maya, sekaligus akan menggambarkan
karakternya masing-masing.
Kenapa
bisa menggambarkan karakter masing-masing? Saat melihat kejadian tersebut,
emosi intens akan langsung muncul pada setiap orang. Ada yang sedih, terharu,
marah, dongkol, sakit hati, dan berbagai emosi lainnya. Saat emosi intens ini
muncul, maka otomatis gerbang pikiran bawah sadar sedang terbuka lebar. Karena itu,
semua emosi dan perasaan akan keluar dengan sendirinya.
Dulu,
jauh sebelum saya memahami teknologi pikiran, mungkin saya akan ikut-ikutan
menghujat pelaku. Kenapa? Karena dulu emosi saya sangat mudah disulut. Dulu sepertinya
di dalam diri saya ada bahan bakar bensin. Sehingga ada ‘api’ sedikit saja,
langsung menyambar amarah di dalam diri saya.
Seiring
waktu, kemampuan berpikir lebih panjang dan semakin positif, membawa energi
berpikir juga semakin baik. Itu sebabnya, saya lebih memilih menjadi penikmat
perdebatan yang ada, sekaligus mencoba mengambil posisi yang benar-benar
netral. Hasilnya, hati memang lebih nyaman, dan benar-benar bisa berpikir lebih
jernih.
Apakah
saya kehilangan empati? Tentu tidak. Empati bukan berarti langsung menghujat
pelakunya. Sebab dalam pikiran saya saat ini, si pelaku juga diduga menjadi
korban? Lah, kok bisa jadi korban? Yah, korban dari ketidakmampuannya
mengendalikan bagian dirinya sendiri.
Sahabat,
silakan coba ditanya, bagaimana perasaan pelaku setelah kejadian, terlebih dalam
kecelakaan itu juga memakan nyawa. Pasti ada bagian diri pelaku yang bijaksana
dan merasa menyesal telah melakukan aksi kebut-kebutan di jalan raya.
Namun,
kenapa sang bijaksana itu tidak muncul sebelum kebut-kebutan terjadi? Inilah
yang saya maksud jadi korban. Bagian diri yang bijaksana, dikalahkan bagian
diri pelaku yang kanak-kanak, suka tantangan, suka pujian dan ingin mendapat
perhatian dari aksinya itu.
Kenapa
bagian diri kanak-kanak ini terus dominan hingga dewasa? Inilah yang perlu
penelusuran lebih lanjut. Tentu saya tidak dalam kapasitas menilai seseorang. Ada
banyak sekali kemungkinan yang menyebabkan bagian diri kanak-kanak tetap
dominan muncul ketika seseorang sudah dewasa.
Misalnya,
seseorang tetap dianggap kanak-kanak, meski secara usia memang sudah dewasa. Dianggap
kanak-kanak itu seperti tetap dimanja, semua keinginan diturutin, dan bisa
mendapatkan semuanya dengan mudah. Atau malah sebaliknya, saat kanak-kanak
tidak mendapatkan kebahagiaan yang semestinya. Sehingga saat ada kesempatan
mendapatkan semuanya, bagian diri kanak-kanak ini yang justru lebih aktif dan
berkembang.
Lagi-lagi,
ini hanya dugaan dan analisa. Yang pasti, di setiap diri orang dewasa pun,
masih ada bagian diri kanak-kanak yang terus aktif sampai dewasa. Contohnya,
masih suka bermain game di gadget, ingin menang dalam setiap kegiatan, hingga
ingin mendapatkan pujian setiap kali berhasil melakukan sesuatu. Masih banyak
lagi indikasi aktifnya bagian diri yang anak-anak. Termasuk ketika seseorang
bermanja-manja dengan pasangan atau kekasihnya.
Karena
itu, penting bagi setiap orang untuk sering-sering berdiskusi dengan bagian
dirinya masing-masing. Beri edukasi pada bagian diri ini untuk muncul pada
waktu yang tepat. Bagian diri yang kanak-kanak, silakan muncul ketika bermain game
di gadget. Sehingga kalau pun bermain balap mobil, tidak membahayakan siapa
pun. Namun ketika membawa mobil di dunia nyata, sebaiknya aktifkan bagian diri
yang bijaksana. Sehingga, meski sedang disalip orang, atau ketemu pengemudi
lain yang ugal-ugalan, emosi tidak mudah terpancing. Bukankah mengebut dengan
tidak, bedanya juga tidak terpaut lama.
Saya
pernah bertemu pengemudi ugal-ugalan. Dia susah payah menyalip mobil yang saya
kendarai. Tak butuh waktu lama, ternyata mobil yang tadi menyalip ketemu lagi
di lampu merah. Lalu buat apa tadi buru-buru dan mendahului. Selain bahan bakar
lebih boros, si pengemudi juga biasanya mudah sekali terpancing emosi yang
merugikan dirinya sendiri.
Apa
pun kendaraan yang Anda naiki. Motor butut atau Kawasaki. Mobil murahan atau Lamborghini.
Bahkan naik ojek atau jalan kaki. Mari selalu bijaksana dalam menyikapi situasi.
Sebab semua emosi marah dan iri dengki, hanya akan merusak diri sendiri. Yuk,
mari… (*)
Post a Comment