Saat bapak tutup usia, praktis hubungan dengan ibu menjadi
renggang. Penyebabnya bukan karena disengaja, melainkan karena keadaan. Sebagai
single parent, ibu harus berusaha meneruskan biduk rumah tangga hanya dengan
satu mesin saja.
Meski seorang wanita, ibu terus melanjutkan usaha yang
ditinggalkan bapak. Membuka kios kaki lima dan juga bengkel tambal ban. Saya
kerap ikut membantu menambal ban. Pelajaran hidup dari bapak membuat saya mampu
melakukan pekerjaan orang dewasa ini.
Pernah suatu kali, saya kena marah besar. Ketika saya sedang
menambal ban mobil, saya kurang teliti. Ban dalam mobil yang sedang saya tambal
itu, justru kena api. Itu membuat lubang baru yang lebih besar. Walhasil, ibu
harus keluar uang lebih banyak untuk mengganti ban dalam mobil tersebut. Hari
itu saya terpaksa hanya bisa makan nasi sama garam. Bukan karena hukuman,
melainkan semua penghasilan hari itu, habis dipakai untuk membeli ban dalam
mobil tadi.
Menyambung hidup di pinggir Jalan Raya Kupang Baru Surabaya
ini semakin sulit. Ibu merasakan tekanan yang semakin berat. Hal inilah yang
menyebabkan ibu nekat, merantau ke Jakarta. Kios kaki lima, termasuk mesin
kompresor sebagai satu-satunya harta peninggalan bapak, dijual sebagai bekal
merantau ke ibu kota negara.
Selama ibu merantau ke Jakarta itulah, saya terpaksa tinggal
di rumah sendirian, karena harus tetap bersekolah. Hingga akhirnya saya pun
ikut memutuskan ke Jakarta, membantu ibu yang bekerja di sebuah industri kecil
pembuatan tas di kawasan Pademangan
Jakarta Utara.
Hanya tiga tahun di Jakarta, hingga lulus SMP, saya akhirnya
merantau ke Berau – Kalimantan Timur. Ajakan pakde membuat saya mencoba
memberanikan diri menembus belantara Kalimantan yang konon dikenal hanya berisi
hutan. Nyatanya dugaan itu salah besar. Sebab Kalimantan memang terbukti
sebagai daerah masa depan bagi bangsa ini. Namun, entah kapan masa depan itu
datang.
Selama merantau di Kalimantan ini lah membuat kedekatan
seorang ibu dan anak mulai memudar. Ketika itu, jelas tidak ada telepon
seluler. Kalau pun ada cara komunikasi yang cepat hanya telegram. Itu pun hanya
bisa menulis bahasa yang singkat padat dan jelas. Berkirim surat pun jarang,
karena saya sibuk bekerja di sebuah warung makan. Nyaris tak ada waktu untuk
sekadar menulis surat. Pulang dari warung, badan sudah lelah dan mata langsung
terpejam. Pagi hari, sebelum azan berkumandang, sudah harus bangun lagi memasak
di dapur. Sebuah rutinitas yang cukup melelahkan.
Sebenarnya, di kantor Telkom Berau, tersedia warung
telekomunikasi alias wartel. Namun, untuk bisa menelpon, harus antre cukup
lama. Pagi-pagi sekali, harus mendaftarkan nama terlebih dahulu. Sebuah buku
panjang, seperti daftar absen waktu di sekolah, sudah penuh berisi nama orang
lain. Saya ternyata masuk ke urutan 39.
Begitu selepas maghrib, suasana di wartel sudah sangat
padat. Sebanyak 6 kamar bicara umum sudah terisi. Sementara di ruang tunggu
juga sudah padat. Ruangan 8 x 6 meter tak mampu menampung semua calon penelpon
di ruang tunggu tak sedikit yang harus menunggu di pelataran hingga di tempat
parkir.
Setelah antre selama 3 jam, akhirnya saya mendapat giliran
untuk masuk kamar bicara umum. Nomor yang saya hubungi adalah rumah pemilik
usaha industri tas, tempat ibu bekerja. Dasar apes, dering suara telpon di
ujung sana tak kunjung diangkat. Rupanya sang penghuni rumah sudah lelap semua.
Jadilah waktu menunggu berjam-jam sia-sia. Harapan untuk sekadar bertegur sapa
dengan ibu pun sirna.
Kondisi itulah yang menyebabkan saya menjadi semakin jauh
dengan ibu. Saya yakin, tidak ada ibu yang tidak sayang dengan anaknya. Di
balik fisik yang saling berjauhan, ibu selalu mendoakan diri saya. Terbukti,
saya tak pernah mengalami sesuatu yang membahayakan. Meski harus bekerja di
warung, bekerja serabutan sebagai penagih arisan, hingga sesekali bekerja
sebagai kuli harian, tetap saya lakoni dengan nyaman.
Sampai akhirnya saya bekerja di Kaltim Post, saya kerap
mendapat kesemp atan pulang ke Surabaya. Saat itu, ibu akhirnya memutuskan
meninggalkan Jakarta, karena ingin merawat ketiga keponakannya yang yatim
piatu. Walau rumah peninggalan bapak yang sebelumnya sempat terjual,
alhamdulillah saya bisa menggantinya dengan rumah sederhana di kawasan Pakal –
Benowo Surabaya.
Ibu memilih rumah di kawasan ini, karena banyak yang dia
kenal. Suasananya juga dianggap nyaman. Ibu enggan dibelikan rumah di kawasan
perumahan, karena lebih ingin bersosialisasi. Terbukti, di kawasan Pakal, ibu
memang aktif mengikuti kegiatan pengajian, juga aktif mengikuti kegiatan
ibu-ibu Lansia di kelurahan.
Jujur, saya merasa ada yang aneh setiap kali bertemu ibu di
Surabaya. Sepertinya, saya belum berdamai dengan ibu. Setelah bertahun-tahun
hidup terpisah dengan ibu, membuat jalinan emosi menjadi kurang kuat.
Beruntung, saya sempat mengikuti workshop Quantum Life
Transformation (QLT) di Prigen – Pasuruan – Jawa Timur. Workshop dengan nara
sumber pakar teknologi pikiran Adi W. Gunawan ini, benar-benar membuka mata
saya, bahwa di dalam diri saya masih banyak mental blok yang perlu dibereskan.
Hambatan perasaan yang tidak nyaman dengan ibu, adalah salah satunya.
Saya jelas tidak mau kualat dengan orang tua. Namun namanya
perasaan, tentu tidak bisa dipaksakan. Kenapa pikiran bawah sadar menciptakan
perasaan tidak nyaman dengan ibu sendiri? Ya pikiran bawah sadar beranggapan,
karena tidak pernah mendapat ucapan sayang, termasuk sentuhan dan belaian,
sehingga pikiran bawah sadar menganggap ibu tidak sayang dengan saya.
Itulah
yang kemudian membuat pikiran bawah sadar melakukan sabotase perasaan diri saya
kepada ibu sendiri. Pikiran bawah sadar memang tidak salah, karena dia lugu dan
tidak memahami apakah yang ia lakukan benar atau salah. Sebab bagi pikiran
bawah sadar, namanya ibu ya harus sayang anak. Kalau sayang ya sering dibelai,
dipeluk, dicium, dan berbagai interaksi lainnya. Begitu interaksi itu tidak
ada, maka program sayang terhadap ibu langsung disingkirkan.
Dengan teknik yang diajarkan di workshop tersebut, akhirnya
pikiran bawah sadar saya mau menerima dan bersedia untuk berdamai dengan ibu.
Apalagi, terganggunya hubungan ibu dan anak ini bukan karena disengaja,
melainkan karena kondisi dan keadaan yang terpaksa.
Sepulang dari Pasuruan, saya pun mampir ke Surabaya. Begitu
sampai di depan pintu rumah ibu, wanita yang dulu mengandungku itu sudah
menyambut dengan senyum lebar. Inilah kali pertama saya memeluknya dengan
hangat. Pelukan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Betapa selama ini
saya sudah membuat ibu sedih, karena dia pasti merasa, anaknya tidak dekat
dengannya karena keadaan.
Perasaan damai itu membuat energi saya benar-benar melimpah.
Perasaan nyaman dan tenang terasa dari ubun-ubun sampai ke ujung jari kaki dan
menyebar ke seluruh tubuh. Sejak saat itu, hubungan dengan ibu akhirnya bisa
semakin dekat dan nyaman. Saya pun bisa terus menggapai impian dengan lebih
mudah dan nyaman. Bukankah ibu adalah keramat terbaik di dunia? Beruntung saya
masih memilikinya. Terima kasih ibuku. Saya sungguh sayang sama ibu. (*)
Post a Comment