“Pak, saya setuju dengan artikel-artikel yang sudah sampean
posting di website. Terutama soal mendidik anak. Tapi bagaimana ya? Terkadang apa
yang sudah saya lakukan, disalahkan sama mertua. Saya dianggap tidak tegas lah,
dianggap memanjakan anak lah, ini lah, itu lah. Padahal zaman sekarang itu kan
berbeda dengan dulu. Kayanya orang tua dulu itu bangga sekali kalau ditakuti
anak-anaknya..”
Demikian komentar salah satu sahabat, terkait postingan soal
parenting yang kerap saya unggah di
media sosial. Saya sangat setuju dengan kalimat terakhir yang dia sampaikan. “Kayanya
orang tua dulu itu bangga sekali kalau ditakuti anak-anaknya.”
Sahabat semua, apakah pernah mengalami seperti itu ketika
kecil dulu? Mengalami rasa takut yang
sangat luar biasa terhadap orang tua. Di masa lalu, umumnya orang tua mendidik
dengan cara tegas, bahkan cenderung sangat kesar hingga mengarah ke hukuman
fisik. Kenapa? Karena dulu energi anak-anak sangat besar. Waktunya tidak banyak
tersita untuk les ini dan itu, kursus ini dan itu, atau seharian pegang gadget.
Karena energi anak sangat lincah bahkan enerjik, maka anak-anak tidak bisa
diarahkan dengan lembut. Harus dengan tegas dan keras. Bayangkan, ketika sedang
asyik di lapangan terbuka bermain layang-layang, tentu tidak bisa dipanggil dengan
lembut. Tentu harus berteriak disertai ancaman, supaya segera pulang.
Tapi, itu hanya berlaku untuk masa lalu. Beda zaman, beda
pula cara mendidik anak. Ketegasan dan kekerasan yang tidak pada tempatnya, hanya
akan membuat anak trauma, dendam, sakit hati, hingga luka batin mendalam.
Bukankah sudah dikatakan, “didiklah anakmu sesuai dengan zamannya.” Kalimat di
atas menegaskan, bahwa pola pendidikan di masa lalu, tidak bisa 100 persen
diterapkan dalam kondisi sekarang.
Perbedaan cara pandang dalam mendidik anak inilah yang terkadang
menimbulkan masalah baru. Apa itu? Perselisihan antara menantu dan mertua. Tak sedikit
menantu merasa kesal dengan mertuanya, hanya karena perbedaan pandangan dalam
cara mendidik anak. Menantu, dengan pemahamannya saat ini, tentu punya konsep
tersendiri dalam mendidik anak. Apalagi, begitu banyak teori baru yang bisa
dipelajari dalam mendidik anak.
Akan tetapi, mertua yang merasa sudah pengalaman, sudah
duluan makan asam garam kehidupan, terkadang menggunakan hak veto dalam
mendidik cucunya. Meski konsep pendidikan sudah berbeda, namun mertua umumnya
memaksakan cara mendidik yang sama di masa lalu. Tentu saja, banyak cara
mendidik di masa lalu yang masih bisa digunakan. Namun, tetap perlu penyesuaian
dengan kondisi dan keadaan yang ada saat ini.
Sebagai contoh, mertua menganggap sang menantu terlalu
memanjakan cucunya karena sering membelikan mainan. Padahal, si menantu
berpikir, mainan yang dibelikan adalah untuk merangsang kreativitas dan
kecerdasan.
Atau sebaliknya, sang menantu enggan membelikan anak mainan
dengan tujuan mendidik dan disesuaikan antara reward dan punishment, namun
mertua kemudian menuruti apa keinginan dari cucunya.
Kalau sudah tidak selaras alias tidak sinkron seperti ini, maka
penanaman program pendidikan pada anak bisa kacau balau. Anak akan belajar
sesuatu yang tidak pasti. Karena terkadang boleh, atau suatu saat juga bisa
tidak boleh. Namun tidak ada parameter yang jelas, antara kenapa diperbolehkan
dan kenapa tidak diizinkan.
Namun, di balik itu semua, yang perlu diketahui sejak awal
adalah, seberapa baik hubungan antara mertua dan menantu. Umumnya, perselisihan
seperti ini terjadi karena memang diawali dengan hubungan yang kurang harmonis
di antara keduanya. Hal ini bisa disebabkan misalnya memang pernikahannya sejak
awal tidak disetujui. Bisa juga menantu memang
sangat sebal dengan sikap dan perilaku mertua yang selalu intervensi urusan rumah
tangga.
Bisa juga karena faktor lain. Misalnya mertua sebal dengan
menantu karena dia merasa cemburu. Cemburu karena anaknya lebih sering sama
menantu, ketimbang dengan dia. Atau cemburu terkait cucu, karena si cucu lebih
sering dengan menantu atau dengan besan, ketimbang dengan dia.
Bagaimana dengan Anda?
Post a Comment