Perasan dongkol, jengkel,
kecewa, sakit hati, merasa tidak dihargai dan berbagai perasaan tidak
mengenakkan lainnya, jika dipelihara di dalam sebuah keluarga, akan menjadi
beban yang kurang baik. Jika perasaan itu tidak dilepaskan, kita seperti
berjalan dengan membawa ransel yang berat. Ya, beban rasa bersalah, kecewa,
sakit hati dan aneka perasan yang kurang enak itu, akan membuat kehidupan kita
terhambat.
Itu
sebabnya, hal yang perlu dilakukan adalah menetralisir perasaan itu, sehingga
semua dibuat nol, atau netral sama sekali. Satu hal penting, jangan pernah
mengabaikan anak-anak. Orang tua sering kali egois dan beranggapan anak-anak
harus nurut dan tidak boleh dongkol, marah, kecewa atau sakit hati sama orang
tua. Ini berbahaya, jika perasaan ini tidak dihilangkan, anak akan memendam
perasaan itu hingga dewasa dan akan berpengaruh pada tumbuh kembangnya. Karena
itu, sebisa mungkin upayakan untuk berkomunikasi dengan anak dan melepas semua
emosi yang ada di diri anak dan orang tua.
Suatu
ketika, saat suasana di rumah sedang santai, saya coba menghampiri ketiga anak
saya bergantian. Saya mulai dengan anak pertama, bernama Tasya Nur Aulia. Ketika
itu dia duduk di kelas VI SD. “Nak, ada kah sikap, kata-kata,
atau perbuatan bapak yang membuat kamu kecewa, marah, sakit hati atau jengkel?
Tolong diingat-ingat. Kalau ada sampaikan ke bapak. Bapak minta maaf ya kalau
ada,” ucap saya lembut sembari memeluknya dan duduk di pangkuan.
Anak
saya diam sejenak dan memastikan tidak ada. “Bener tidak ada?”
Tasya tetap menggeleng, “Tidak ada kok pak, beneran,”
katanya.
Saya
pun berlanjut ke anak kedua, Rafli yang duduk di kelas IV SD. Duduk di pangkuan
saya sembari saya peluk, pertanyaan yang sama saya lontarkan padanya. Seketika
air matanya meleleh, tangisnya meledak. Anak kedua saya ini memang sedikit
sensitif dan selalu meluapkan emosinya dengan menangis. Saya biarkan dia
mengeluarkan emosinya dengan menangis, setelah tenang baru saya tanya apa
kesalahan yang saya perbuat sehingga dia sampai merasa sakit hati.
“Waktu
bapak pulang dari tugas, aku ngga dibelikan mainan. Sementara
kakak dan adik dibelikan,” ucapnya menjelaskan perihal yang membuatnya sakit
hati. Padahal, yang terjadi ketika itu, saya sengaja ngerjain. Saya
belikan dia mainan, tapi tak langsung saya berikan kepadanya. Begitu tiba di
bandara, hanya mainan untuk kakak dan adiknya yang saya tunjukkan.
Begitu pula
di rumah, ada mainan lain untuk kakak dan adiknya, sementara mainan untuk dia
belum saya keluarkan. Hingga tangisnya meledak, barulah mainan untuk dia saya
berikan. Rupanya, hal yang menurut orang tua sepele, nyatanya bisa membuat
sakit hati yang sangat membekas dan mendalam bagi anak-anak. Saya langsung
memeluknya dan minta maaf, dan meminta dia melepaskan emosi sakit hatinya saat
itu juga.
Yang
tidak saya sangka justru anak ketiga. Sofia Citra Ananda adalah anak terakhir
yang sudah pasti cukup dimanja, sehingga dalam hati kecil saya, sangat yakin
kalau dia tidak mungkin punya perasaan jengkel atau sakit hati pada saya.
Nyatanya perasaan saya salah total. “Ada pak,” ujarnya cepat ketika saya
tanyakan, adakah yang perilaku saya yang membuatnya sakit hati.
Kontan
saja jawabannya itu membuat saya kaget dan tidak yakin ada hal yang membuatnya
kecewa. “Kejadian yang mana?” tanya saya sembari memeluknya dengan damai.
“Waktu itu, waktu aku habis mandi. Aku teriak panggil mama, tapi bapak negur
karena aku teriak-teriak,” jelasnya gamblang. Astaga, kejadian yang menurut
saya sama sekali biasa, bahkan saya sudah lupa, ternyata membekas bagi Sofia.
Saya segera memeluknya lagi dan meminta maaf. Saat itu Sofia mengangguk dan
memaafkan.
Saya
seketika merasa lega, bisa membereskan perasaan bersalah, yang boleh jadi
selama ini membuat beban dalam pekerjaan saya. Perasan kecewa dari anak tadi
akan memancarkan energi negatif sehingga bisa membebani diri kita. Terbukti
setelah ketiga anak saya memaafkan, perasaan saya pun jadi lebih tenang dan
damai.
Bagaimana menurut Anda?
Post a Comment