“Mas,
anakku susah sekali kalau mau disuruh belajar. Bagaimana ya cara mengatasinya?”
begitu kira-kira pertanyaan salah seorang sahabat. Ada pula yang bertanya, “anak
saya kalau belajar cuek banget. Dikasih tahu kaya ngga ada response sama
sekali. Bikin emosi,” ujar orang tua lainnya.
Sejak
menjadi wartawan di Kaltim Post, dunia anak-anak dan pendidikan memang menjadi
salah satu minat saya. Itu pula yang melatari dorongan lahirnya halaman khusus untuk
anak-anak. Kini halaman itu dilebur dengan halaman lain khusus segmen wanita.
Karena
sering menulis terkait anak-anak dan pendidikan, begitu banyak teori yang
menempel dan mencoba diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selama menjadi
wartawan itulah, saya sering ngobrol dan diskusi dengan psikolog, psikiater,
dokter spesialis anak, serta para praktisi pendidikan.
Tak
sedikit pula seminar terkait pendidikan dan anak-anak yang saya ikuti. Seminar
dan pelatihan itu umumnya tidak gratis. Biayanya dari mulai ratusan ribu sampai
jutaan rupiah. Tapi alhamdulillah, semua saya ikuti gratis. Saya biasanya
diundang sebagai wartawan untuk meliput acara itu, sehingga wajar kalau tidak
ditagih uang tiket oleh panitia seminarnya. Ada pula acara seminar yang
kemudian panitia mengundang saya menjadi moderator.
Kalau
ada seminar menarik, biasanya saya ikuti sampai selesai. Kalau kurang puas,
saya pun bisa diskusi langsung dengan narasumbernya saat wawancara usai
seminar. Sehingga pertanyaan yang mengganjal bisa mendapat jawaban lebih jelas.
Salah
satu yang berkesan adalah ketika bisa berdiskusi dengan Dr Adi W Gunawan CCH,
seorang intelektual, akademisi, doktor pendidikan, clinical hypnotherapist,
trainer, researcher, pakar Mind Technology, penulis puluhan buku, dan dikenal
sebagai Indonesia Leading Expert in Mind
Technology. Salah satu buku yang dia tulis dan bisa menjadi rujukan dalam
mendidik anak adalah Born to be Genius dan Genius Learning Strategy.
Beruntung,
saya akhirnya bisa belajar langsung dengan beliau, hingga akhirnya mendapat
sertifikasi trainer untuk menyampaikan materi Hypnotherapy for Children alias hipnoterapi untuk anak.
Sahabat,
agar anak bisa belajar dengan baik, poinnya adalah, orang tua dan guru harus
paham bagaimana cara mendidik anak. Masih ingatkah ketika TK atau SD, guru
selalu meminta muridnya duduk yang manis. Duduk dengan tangan dilipat di atas
meja dan harus diam, tak boleh bersuara. Bagi guru, yang duduk manis itulah
anak pintar. Umumnya, murid yang duduk di depan lah yang duduk tenang dan
biasanya juga menduduki ranking 10 besar.
Lantas,
bagaimana dengan murid yang duduk di belakang? Ya umumnya dicap sebagai pembuat
onar, dan tidak akan tenang saat diminta duduk yang manis. Tapi biasanya,
mereka yang dianggap pembuat onar ini memiliki kelebihan lain di bidang
olahraga atau seni.
Nah,
di sinilah sebenarnya peran guru dan orang tua agar memahami cara belajar anak.
Memahami cara belajar anak adalah kunci pokok untuk menunjang keberhasilan
anak. Sebaliknya, jika cara belajar anak tidak dipahami, maka hasilnya akan
kurang maksimal.
Secara
garis besar, anak-anak terbagi dalam tiga cara belajar. Masing-masing auditori,
visual, dan kinestetik. Ada anak-anak yang senang belajar dengan cara
mendengar. Inilah yang namanya anak auditori. Bagi anak-anak yang bertipe
auditori ini, anak akan mudah menyerap apa yang diajarkan meski hanya dengan
cara mendengar. Anak seperti ini memang lebih mudah belajar. Cukup diberikan ceramah
atau pemahaman, sudah bisa masuk apa saja yang diajarkan.
Anak
dengan sistem auditori ini juga harus didukung dengan suara guru yang lantang
atau keras. Begitu suara yang didengar kecil, anak menjadi tak lagi
memperhatikan dan lebih banyak ngobrol dengan teman sendiri. Anak tipe ini juga
lebih suka dibacakan buku, dan dia cukup mendengarnya saja, ketimbang membaca
buku sendiri.
Lalu
bagaimana dengan anak yang senang belajar dengan sistem melihat (visual)? Anak
semacam ini jelas lebih senang melihat. Biasanya, anak dengan tipe ini lebih
senang diberikan catatan. Makin banyak catatan, makin senang dan makin paham
dalam belajar.
Untuk
memudahkan dalam memahami persoalan, pada catatan atau buku, sebaiknya juga
dibantu dengan pulpen atau spidol berwarna. Dengan cara itu, anak pun lebih
mudah menyerap apa yang sedang dibaca.
Selain
itu, anak-anak bertipe visual akan lebih mudah jika diajarkan dengan
dipertontonkan media ajar seperti video atau dipraktikkan langsung. Menghadapi
anak seperti ini memang lebih baik jika diberikan materi berupa praktik
langsung atau melihat langsung apa yang sedang dibahas.
Terakhir
adalah anak yang senang dengan sistem kinestetik atau bergerak. Anak seperti
ini jangan harap bisa menyerap apa yang diajarkan jika dalam posisi duduk diam.
Kalau duduk diam justru ilmu tidak bisa masuk. Biar dimarahi atau dipaksa,
tetap saja tidak bisa menyerap apa yang diajarkan. Anak-anak tipe inilah yang
biasanya lebih suka duduk di baris belakang, dan kerap dituding sebagai pembuat
onar. Padahal, kalau saja mereka diajak belajar di luar ruangan dan bebas
bergerak, bisa jadi lebih mudah dalam belajar.
Karena
itu, di beberapa sekolah yang sudah menerapkan sistem ini, sejak awal anak-anak
sudah dibedakan antara yang auditori, visual, dan kinestetik. Anak auditori,
kelasnya didesain dengan ruangan khusus kedap suara dan banyak disampaikan
materi dalam bentuk suara.
Sementara
untuk kelas visual, tentu dilengkapi dengan berbagai alat multimedia seperti
video, hingga alat peraga penunjang lainnya. Sedangkan untuk kelas kinestetik,
ruangannya tidak dilengkapi meja dan kursi. Murid diberikan kebebasan dalam
belajar. Mau duduk lesehan, tengkurap, atau cara apa pun yang penting mereka
leluasa bergerak.
Guru
atau orang tua tentu harus memahami anak semacam ini. Sebab, meski banyak
bergerak, ternyata anak tipe ini tetap bisa menyimak dan merekam apa yang
sedang diajarkan. Beri dia kesibukan untuk bergerak, sementara itu berikan pula
materi-materi atau bahan ajar, tentu anak akan lebih mudah menyerapnya.
Dalam
kasus teman saya, seperti yang saya kutip di awal tulisan ini, saya menduga
anaknya masuk dalam kategori kinestetik. Tidak mau diam, lebih suka bergerak
aktif. Karena itu, saya menyarankan agar anaknya diajak belajar sambil bermain.
Misalnya, di lantai dituliskan huruf atau angka. Dengan cara tebak-tebakan,
anak diajak untuk melompat ke arah huruf atau angka yang diminta. Cara ini
jelas harus bergerak dan lebih menyenangkan.
Karena
itu, orangtua akan lebih baik mengetahui sistem belajar yang disukai anaknya.
Sehingga anak akan lebih mudah menerima pelajaran. Sementara bagi guru yang
mengajar di kelas dengan murid yang berbeda-beda, sebisa mungkin
mengombinasikan ketiga cara tadi agar semua muridnya bisa diakomodasi.
Kira-kira anak Anda masuk dalam tipe yang mana? (*)
Post a Comment