Mendidik
anak bukanlah proses sesaat dan bisa berhasil dengan seketika. Mendidik anak
memerlukan proses simultan, karena yang paling utama adalah pembiasaan.
Jangan
heran jika di negara maju, seperti di Australia misalnya, orang tua lebih
khawatir anaknya tidak terbiasa antre, ketimbang tidak bisa matematika. Kenapa?
Karena untuk belajar matematika, cukup diberi les intensif, maka anak akan bisa
menguasai matematika dengan cepat dan mudah. Sementara membiasakan budaya
antre, tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu yang lama dan terus
menerus.
Mengajarkan
sikap dan perilaku, memang perlu waktu serta keteladanan. Jika sudah menjadi
kebiasaan, maka sikap antre, dalam hal ini sikap mengendalikan diri, akan
mendarah daging dan sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar.
Begitu
juga kebiasaan membuang sampah di tempatnya, perlu terus dicontohkan dan
terus-menerus diingatkan kepada anak-anak sejak dini. Yang menjadi masalah
adalah, orang tua terkadang kerap memberikan contoh yang salah.
Saat
berkendara di jalan, saya masih sering menjumpai orang yang dengan mudah
melempar sampah dari balik kaca mobil ke jalanan. Baik itu sampah berupa tisu,
kemasan makanan ringan, hingga botol bekas minuman. Ironisnya, terkadang sampah
itu dibuang oleh orang dewasa.
Hal
ini mengindikasikan, keluarga sang pemilik mobil, bahkan tak jarang masuk
ketagori mobil mewah, belum punya perilaku setara dengan mobil yang ditumpangi.
Kalau sudah seperti ini, mungkinkan anak mendapat contoh dan keteladanan yang
tepat.
Mungkin
ada yang berkata, maklum jika sampah dibuang oleh penumpang angkutan umum. Tapi
kalau sampah dibuang oleh penumpang mobil kelas menengah atas, rasa-rasanya kok
ya kurang pantas dilihat.
Sahabat,
tak sedikit warga yang mengomel jika hujan turun kemudian diikuti dengan
genangan air alias banjir. Tapi, berapa banyak yang sadar bahwa banjir itu juga
berasal dari sikap kurang terpuji dalam membuang sampah.
Jalan,
parit, bahkan sungai, bukanlah tempat sampah. Hal ini perlu ditanamkan ke
pikiran bawah sadar, sejak dini. Jujur, saya pun pernah melakukan kesalahan di
depan anak-anak. Pernah suatu ketika, saya lupa melempar botol bekas minuman
sembarangan. Anak saya langsung menegur seraya protes, kenapa saya membuang
sampah sembarangan. Segera, botol itu saya pungut kembali, sembari meminta maaf
kepada anak saya. Begitu ada tempat sampah, barulah saya buang kembali.
Hasilnya
memang terlihat, anak-anak tidak pernah membuang sampah ke luar jendela mobil.
Ini pun harus terus dijaga dan diingatkan. Sebab, pernah satu kali ada anggota
keluarga lain yang ikut menumpang, mencontohkan membuang sampah ke luar kaca
jendela. Saya tentu merasa tidak nyaman jika langsung menegur. Sesampainya di
rumah, barulah anak-anak kembali diingatkan dan akhirnya mereka paham.
Hidup
ini tidak hanya sekadar urusan akademik. Masa depan bangsa ini tidak hanya
ditentukan oleh angka indeks prestasi semata. Lebih dari itu, banyak
nilai-nilai keseharian yang sangat penting untuk mendukung kemajuan dan masa
depan seseorang.
Nilai
kejujuran, sopan santun, etika, menghormati orang lain, serta berbagai sikap
lainnya, juga tak kalah pentingnya sebagai penunjang dan tolok ukur
keberhasilan seseorang.
Tak
usah sibuk mencaci dan memaki jika ketemu orang yang belum bersikap terpuji. Lakukan
terbaik untuk keluarga terutama diri sendiri.
Mustahil bangsa ini maju jika hal-hal yang mendasar seperti ini, masih
belum merasuk ke dalam hati.
Tak
perlu menunggu aturan atau ketentuan setingkat undang-undang untuk melakukan
revolusi mental. Cukup mulai dari diri sendiri dan keluarga, dan harus dimulai
dari sekarang. Sebab, jika tidak mulai dari sekarang, kapan lagi?
Bagaimana
menurut Anda?
Post a Comment