Pertanyaan
seperti judul di atas, kerap mengemuka ketika seorang klien hendak menjalani
sesi hipnoterapi. Memang, jarang sekali ada klien yang datang seorang diri.
Umumnya ditemani kerabat, orang tua, bahkan istri atau suaminya. Ada juga yang
datang terapi ditemani pacarnya. Namun, ada pula yang di awal hanya datang
konsultasi ditemani oleh kerabatnya. Namun pas sesi hipnoterapi, dia datang
seorang diri karena merasa lebih nyaman.
Umumnya,
saat saya memberikan penjelasan soal protokol hipnoterapi, sengaja saya lakukan
di ruang tamu. Sehingga, klien beserta siapa pun yang mengantar, ikut
mendengarkan penjelasan tersebut. Kenapa? Supaya yang menemani klien juga tahu,
apa saja yang akan dilakukan saat proses hipnoterapi. Maklum saja, umumnya
masyarakat luas agak ‘parno’ mendengar kata hipnoterapi. Ini akibat tayangan
televisi yang kurang tepat tentang metode hipnoterapi selama ini. Hampir semua
klien yang sudah menjalani sesi hipnoterapi, akhirnya berkomentar, bahwa apa
yang dilakukan di ruang terapi, sama sekali tidak seperti yang ada di televisi
selama ini.
Lantas,
kenapa tidak boleh ada orang lain yang menemani klien saat proses terapi. Ini
memang sudah menjadi aturan lembaga, sesuai dengan kode etik. Bukankah saat
dokter melakukan operasi, keluarga pasien juga hanya bisa menunggu di luar. Begitu
pula dengan proses hipnoterapi.
Namun
demikian, demi menjaga keamanan klien, sudah dipersiapkan kamera dan alat
perekam. Ini sengaja dilakukan, hanya untuk keperluan terapis. Menjaga jika
sewaktu-waktu ada fitnah atau tuduhan bahwa terapis melakukan sesuatu yang
salah. Maka, bukti rekaman video dan suara ini bisa diputar ulang untuk
kepentingan tertentu. Namun yang pasti, bukti rekaman ini adalah rahasia yang sangat
dijaga dan hanya terapis yang mengetahuinya. Tidak akan diberikan atau
diserahkan ke pihak lain, apa pun alasannya.
Yang
patut diingat, selama proses hipnoterapi, klien masih dalam kondisi sadar. Karena
itu, klien masih sangat ingat, apa yang terjadi dari mulai sebelum terapi,
sampai terapi selesai. Dengan demikian, klien pasti akan tahu jika terapis
melakukan tindakan atau sesuatu yang menyimpang, di luar tujuan terapi. Kalau
ini terjadi, klien silakan melapor ke induk lembaga AWGI. Jika memang terbukti
terapis melakukan kesalahan, maka terapis dianggap melakukan malapraktik dan
izin praktiknya pasti akan dicabut.
Jujur,
saya pernah melakukan ‘kesalahan’ karena melakukan terapi di tempat klien.
Ketika itu, klien dalam kondisi sakit, sehingga tidak mungkin datang ke tempat
saya. Dengan pertimbangan ini, saya bersedia datang. Ternyata, di tempat klien,
satu-satunya tempat yang bisa melakukan terapi adalah di ruang tamu. Rumah yang
kecil dan sempit membuat saya tidak punya pilihan lain.
Istri
klien, mau tidak mau ya berada di ruang itu. Karena itu, saya memohon agar sang
istri hanya diam saja dan tidak boleh berkomentar apa pun. Dia menyanggupi, dan
proses hipnoterapi akhirnya berlangsung.
Namun,
janji tinggallah janji. Saat proses restrukturisasi berlangsung, ternyata ada
beberapa masalah yang disebabkan oleh sang istri. Mendengar ini, istri merasa
tidak terima dan langsung protes. Istri langsung memaki-maki suaminya yang
masih dalam kondisi hipnosis. Terpaksa, dengan tegas saya usir ibu ini dari
rumahnya sendiri, dan saya harus menetralisir keadaan. Terapi pun tidak bisa
dilanjutkan.
Tentu
saja, kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Karena itu,
saya menunggu kondisi klien ini agak pulih beberapa hari kemudian, hingga
akhirnya bersedia datang ke tempat praktik untuk terapi ulang.
Inilah
alasan yang menyebabkan, kenapa proses terapi tidak boleh ditemani oleh orang
lain. Yang menjadi kekhawatiran adalah, orang yang menemani itulah yang menjadi
sumber masalah. Kalau itu terjadi, apakah yang menemani klien ini bisa menerima
dan menahan diri? Bukankah ini justru akan menambah masalah baru, yakni
timbulnya trauma atau perasan negatif dari teman klien ini, kepada si klien itu
sendiri.
Pernah
suatu kali saya melakukan terapi pada teman sendiri. Tidak disangka-sangka,
ternyata saya sendiri yang justru menjadi akar masalah teman saya ini. Saat
itu, teman saya datang minta agar nafsu makannya ditekan, karena ingin diet. Maka,
pola makan pun coba dibereskan. Saat proses restrukturisasi itulah terungkap,
bahwa selera makannya yang berlebihan itu muncul pertama kali ketika saya yang
mengajaknya.
Bukan
main kagetnya saya ketika itu. Bahkan saya hampir lompat dari kursi saya. Tidak
mengira, saya lah yang justru menjadi akar masalah. Namun, sebagai terapis
harus tetap profesional dan terus fokus pada proses terapi. Hasilnya, satu
bulan kemudian, teman saya ini berhasil menurunkan berat badannya 5 kg.
Karena
itulah, saya kembali taat dan berpegang teguh pada protokol. Jika ada keluarga
klien yang ngotot ingin masuk dan ikut, maka terapi langsung saya batalkan. Sebab,
yang ingin lepas dari masalah, adalah klien itu sendiri. Kalau sekarang, umumnya
kerabat klien izin pergi dulu. Nanti 1,5 jam kemudian baru kembali. Atau menunggu
ditelpon klien untuk menjemput.
Jika
ada klien wanita, baik dewasa maupun anak-anak, pintu ruangan terapi sengaja
saya buka, tidak ditutup. Sehingga sesekali keluarga klien tetap bisa melihat
proses terapi dari kejauhan, namun tidak sampai mendengar proses yang sedang
berlangsung. Ini semata-mata agar keluarga klien bisa memastikan bahwa proses
terapi yang dilakukan sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya.
Seperti
biasa, sebuah selimut juga selalu saya siapkan. Sebab ada saja klien wanita
yang mengenakan rok agak pendek, atau bahkan mengenakan celana jins namun modelnya
robek-robek. Supaya klien wanita ini merasa nyaman, maka selimut tadi bisa
menjadi penutup yang nyaman.
Pendek
kata, tidak perlu ada yang ditakutkan dalam proses hipnoterapi ini. Silakan ditanyakan
langsung pada teman atau sahabat yang pernah menjalani proses hipnoterapi pada
para terapis lulusan AWGI. Saya tidak berani menilai dan berkomentar jika
terapi dilakukan oleh lulusan lembaga selain AWGI.
Demikianlah
kenyataannya. (*)
Post a Comment