Dalam
setiap kesempatan, tak sedikit para pemuka agama, ulama, pembicara, motivator
dan termasuk para guru, menyarankan agar setiap individu hendaknya selalu
bersyukur. Bersyukur atas berkah yang sudah diberikan Allah, Sang Maha
Pencipta, adalah satu dari sekian banyak amalan yang perlu dilakukan setiap
saat.
Jauh
sebelum saya mengenal prinsip sukses melalui workshop Quantum Life
Transformation (QLT), Desember 2014 silam, di dalam Alquran pun sudah
disebutkan, sebaik-baiknya umat manusia adalah mereka yang pandai bersyukur.
Bahkan disebutkan pula, barangsiapa yang bersyukur, maka nikmatnya akan
ditambah. Lantas, bagaimana cara bersyukur yang tepat?
Setiap
individu memiliki cara tersendiri dalam mensyukuri nikmat yang sudah diberikan
Sang Maha Bijaksana. Namun, chairman
Kaltim Post Group sekaligus guru jurnalistik saya, Zainal Muttaqin, pernah
memberikan wejangan kepada saya terkait cara bersyukur ini. Beliau
menyampaikan, “cara bersyukur yang baik adalah, bekerja lagi dengan lebih baik.
Itulah kenapa nikmat yang diberikan bisa semakin ditambah. Karena dengan
bekerja lebih baik, tentu yang dihasilkan juga akan semakin baik.”
Kenapa
demikian? Beliau menyampaikan, kalau bersyukur melalui lisan, anak kecil juga
bisa. “Kalau sekadar bilang ‘alhamdulillah’, semua orang juga bisa,” ujarnya. Kalimat
itu sampai sekarang masih saya rekam dan tersimpan dengan rapi di tempat
terhormat di pikiran bawah sadar.
Hingga
kemudian ketika mengikuti workshop QLT yang dibimbing pakar teknologi pikiran
Adi W. Gunawan, persoalan syukur ini kembali mencuat. Dalam prinsip sukses yang
beber melalui pelatihan tersebut, syukur menempati posisi ketiga setelah impian
dan yakin. Artinya, mereka yang ingin meraih sukses, tidak ada pilihan lain,
harus bersyukur. Nah, cara bersyukur yang baik adalah, bekerja lagi lebih giat
dan lebih rajin. Dua prinsip sukses lainnya adalah pasrah, dan doa. Ternyata,
doa yang terbaik adalah kembali ke prinsip ketiga yakni syukur.
Setiap
kali berdoa, umumnya umat fokus pada apa yang diminta. Memang benar, Allah yang
Maha Kuasa, menyampaikan bahwa siapa yang meminta akan diberi. Namun bukankah
Allah juga menyebutkan seperti di atas tadi, bahwa siapa yang bersyukur,
nikmatnya akan ditambah. Mau pilih mana, sekadar diberi atau ditambah?
Jika
doa hanya fokus pada yang diminta, umumnya justru akan timbul buruk sangka
kepada Allah. Menganggap Sang Maha Pencipta tidak sayang dan tidak cinta pada
umatnya, hanya karena apa yang diminta tak kunjung dikabulkan. Akibatnya, umat
menjadi kufur nikmat, dan mengabaikan apa saja yang sudah diberikan oleh Sang
Pemberi Hidup. Bukankah setiap helaan nafas yang bisa dihirup saat ini juga
merupakan rezeki dan pemberian Yang Maha Kuasa?
Sebagai
gambaran, seandainya ada orang tua yang memiliki dua anak. Satu suka meminta dan
satu lagi tidak pernah meminta apa-apa. Umumnya orang tua justru sayang kepada
anaknya yang tidak pernah meminta dan merepotkan orang tuanya. Anak yang suka
meminta umumnya suka menuntut ini dan itu, dan akhirnya sering juga membuat
orang tua mengomel. Berbeda dengan anak yang tidak banyak menuntut dan
bersyukur dengan apa yang ada, umumnya orang tua diam-diam justru memberikan
lebih banyak.
Dari
sisi teknologi pikiran, bersyukur ini berhubungan dengan perasaan nyaman dan
bahagia. Jika seseorang selalu bahagia atau selalu bersyukur, maka otak akan
menyemburkan hormon endorphin, hormon yang sangat penting untuk memperbaiki
sel-sel tubuh rusak sehingga terbentuk sel baru yang lebih sehat. Itulah
kenapa, mereka yang selalu bersyukur dan selalu bahagia, tubuhnya selalu sehat
dan tampak awet muda. Inner beauty
alias aura wajahnya terpancar lebih cerah dan bercahaya. Ini terjadi karena
hormon kebahagiaan selalu disemburkan oleh otak ke seluruh tubuh.
Sebaliknya,
mereka yang selalu menuntut dan meminta, bahkan berburuk sangka kepada Allah,
tentu yang disemburkan adalah hormon stress. Hormon ini justru akan lebih cepat
merusak sel-sel tubuh, sehingga fungsi tubuh akan terus menurun hingga akhirnya
mudah sakit dan membuat seseorang kurang bersemangat dan malas melakukan
sesuatu.
Apa
yang dipikirkan akan selalu diresponse pada tubuh. Maka mari selalu
berprasangka baik kepada Allah, kepada Sang Maha Kuasa, agar hidup selalu
terasa nyaman dan bahagia. Semua manusia sudah ditakdirkan untuk sukses, namun
dikondisikan untuk gagal. Nah, kondisi gagal inilah yang dimaksudkan agar
setiap individu bisa belajar bagaimana mengatasinya. Sebab sejatinya, tidak ada
yang namanya gagal, yang ada hanyalah hasil dan pembelajaran.
Bagaimana
menurut Anda? (*)
Post a Comment