Anda memutuskan tetap berkarir meski sudah memiliki
buah hati? Tidak masalah. Faktanya, begitu banyak wanita karir yang sukses dan tetap
mampu mengurus keluarganya dengan baik dan harmonis. Namun ketika memutuskan
menjadi wanita karir, harus siap dengan konsekuensi logis. Apa itu? Sebagai
wanita karir harus tetap menjadi istri dan ibu yang ideal untuk suami dan anak-anaknya.
Saat konsekuensi ini diabaikan, maka sehebat apa pun karir yang sudah berhasil
diraih, rasanya akan percuma.
Ini pula yang kerap saya jumpai di ruang praktik.
Mereka yang punya masalah dengan anak-anaknya maupun dengan kehidupan rumah
tangganya, umumnya karena fungsi seorang wanita sebagai istri dan sebagai ibu,
mulai tergerus.
Wanita ini misalnya, mengeluhkan anaknya usia SMP yang
sering tidak pulang. Beberapa kali, anak laki-laki yang lebih sering diasuh mertuanya
itu, tidak pulang ke rumah. Wanita yang bekerja di salah satu perusahaan swasta
ini pun cemas khawatir terjadi apa-apa pada anaknya.
Dia kemudian membawa anaknya untuk jumpa dengan saya,
agar dilakukan terapi. Namun sebelum itu, saya diskusi tentang pola asuh dengan
wanita ini dan suaminya. Dari hasil diskusi diketahui, anak terpaksa lebih
banyak diasuh mertua karena kedua pasangan ini sama-sama sibuk bekerja. Wanita
ini berkarir di perusahaan swasta, begitu pula suaminya. Setiap pagi, anak
diantar sekolah, kemudian pulangnya ke rumah mertua. Nanti sore saat pulang
kerja, baru anaknya dijemput dan dibawa ke rumah sendiri.
Lalu, bagaimana interaksi selama perjalanan pulang dari
rumah mertua ke rumah sendiri? “Ya biasa saja. Anak saya lebih sering tidur di
mobil. Sampai rumah ya paling istirahat. Saya dan suami juga capek, anak ya
paling belajar sebentar terus tidur,” beber wanita ini. Hal itu sudah
berlangsung terus-menerus bertahun-tahun.
Lantas kenapa anak jadi kurang dekat dan bermasalah?
Dari pola asuh bisa dilihat, anak sangat kekurangan kasih sayang. Sama sekali
tidak ada interaksi yang maksimal antara orang tua dengan anak. Anak lebih
banyak diasuh oleh guru, teman sekolah, mertua, dan temannya di sekitar tempat
tinggal mertua. Sementara malam hari semestinya waktu untuk mengisi kasih
sayang, tidak dilakukan.
Maka, kepada pasangan ini, saya berikan tugas untuk
mengubah pola asuh. Jika memang wanita ini berat berhenti dari pekerjaan dengan
berbagai alasan, maka yang perlu dilakukan adalah, siap lebih capek demi
anaknya. Caranya, bangun lebih dini dan upayakan banyak berinteraksi. Dari
mulai sarapan pagi bersama, hingga saat perjalanan ke sekolah. Begitu juga saat
pulang sore hari, harus ada interaksi. Syarat lain yang disanggupi adalah,
tidak boleh membawa pekerjaan di rumah. Selain itu, perbaikan pola asuh itu juga
harus diikuti dengan satu hal, dilarang ada handphone selama berinteraksi
dengan anak. Baik orang tua maupun anak, dilarang memegang smartphone. Wanita
ini dan suaminya menyanggupi semua syarat itu.
Setelah itu, proses terapi saya lakukan pada anaknya.
Terbukti, dalam proses terapi anak memang merasakan kurang kasih sayang dan
merasa tidak berharga. Perasaan ini pun dinetralisir dan diperbaiki dengan
hipnoterapi. Anak merasa nyaman, dan dalam proses terapi juga tidak ditemukan
sesuatu yang mengkhawatirkan pada anak. Dia tidak pulang hanya karena merasa
tidak aman dan tidak nyaman di rumah. Proses terapi klir, termasuk beberapa
akar masalah berhasil dicabut.
Awal pekan lalu, menjelang Lebaran, saya mendapat kabar
menggembirakan dari wanita ini. Dia menyampaikan, perilaku anaknya berubah.
Mudah diajak komunikasi dan lebih betah di rumah. Semua syarat yang diberikan,
sudah dilakukan. Dia pun merasa lebih bahagia dan lebih nyaman.
Bagaimana menurut Anda? (*)
Post a Comment