Hari
ini, tenggat akhir daftar ulang. Jika tidak datang untuk menjalani prosesi itu,
maka namaku pasti terancam hilang dari daftar murid baru di SMP Negeri 33
Surabaya. Bapak sedang sakit keras, sementara ibu harus menggantikan posisi
bapak untuk bekerja, menjaga bengkel tambal ban di ruas Jalan Raya Kupang Indah
Surabaya.
Bengkel
kaki lima itu menjadi penopang utama untuk menjaga agar dapur di rumah tetap
berasap. Ibu berubah menjadi wonder women
keluarga. Dengan tangkas ibu mampu menambal ban mobil yang bocor, dan pekerjaan
lain yang lazimnya dilakukan oleh laki-laki.
Bapak
tak bisa lagi mencari rupiah untuk menarik becak, sembari jadi penjaga malam
sebuah perumahan di kawasan Kupang Indah Surabaya. Penyakit liver dan ginjal
yang sudah lama tak pernah dihiraukan, kini seolah menjadi monster yang
tiba-tiba bangun dan menggerogoti kesehatan bapak. Terlihat bola mata bapak
mulai menguning, begitu juga telapak tangan tak lagi putih, tapi mulai pucat
kekuningan. Itulah kenapa tak sedikit yang menyebut penyakit bapak ini sebagai
sakit kuning.
Agak
ragu aku membangunkan bapak yang sedang terbaring. Tapi aku juga tak mau
menghapus cita-cita untuk masuk ke sekolah negeri. Ini adalah sekolah yang aku
impikan sebelumnya, untuk menghindari biaya mahal jika harus masuk sekolah
swasta.
“Pak,
hari ini aku terakhir daftar ulang. Siapa yang antar ke sekolah?” tanyaku
mencoba menyentuh kaki bapak di kamar. Lebih tepatnya hanya ruang tengah, jadi
satu dengan ruang keluarga. Di situ tempat kami tidur juga untuk menonton televisi
hitam putih kala itu.
“Ya
udah, bapak antar…” ujarnya sembari menata tubuhnya untuk bangkit. Hanya cuci
muka dan berganti pakaian, aku kemudian disuruh meminta tolong dengan kawan
bapak, sesama tukang becak yang mangkal di ujung gang kampung Ngesong Dukung
Kupang, hanya 50-an meter dari tempat tinggalku.
Aku
tahu, bapak menahan rasa sakitnya. Tak sampai hati rasanya meminta bapak
seperti ini. Tapi aku tak bisa daftar ulang sendirian. Syaratnya jelas, harus
dihadiri orang tua atau wali murid. Di atas becak, terdengar helaan nafas bapak
beberapa kali cukup berat. Tatapannya kosong ke arah jalanan, namun tangan
kirinya mendekap hangat pundakku. Sesekali dia melirikku sembari tersenyum. Aku
tahu, itu senyum yang sangat sulit. Sepanjang jalan, aku tak banyak bicara,
kedua tanganku mendekap semua berkas daftar ulang dengan seksama.
Sampai
di sekolah, tanganku tak pernah lepas dari gandengan bapak. Seketika perasaan
bangga menyelinap di dada. Rasa itu bahkan naik ke ubun-ubun hingga menyebar ke
seluruh tubuh. Bangga sudah pasti. Sebab di kampungku, hanya tiga orang yang
bisa masuk sekolah negeri ini.
Usai
daftar ulang, bapak kembali tersenyum menatap wajahku. Kali ini senyumnya
terasa lebih hangat. Aku tahu, uang daftar ulang itu bagi bapak tidaklah murah.
Mungkin bagi mereka yang kerja kantoran uang daftar ulang itu tak seberapa.
Tapi bagi bapak, itu hasil menyisihkan uang dari menarik becak, sekaligus jaga
malam yang tak seberapa. Juga dari bengkel tambal ban yang lebih banyak dijaga
ibu.
Hari
pertama masuk sekolah di SMP 33 Surabaya, masih seminggu lagi. Penyakit yang
diderita bapak tak bisa lagi diajak kompromi. Aku pun mengisi waktu dengan
membantu ibu, ikut menambal ban atau melayani pengendara motor yang membeli
bensin eceran dalam kemasan botol.
Akhirnya,
tiba juga saatnya. Senin itu adalah hari pertama masuk sekolah. Tapi bukan pagi
hari. Aku masuk pukul 13.00 WIB, siang hari. Ya, sekolah itu masih baru,
sehingga ruang kelasnya terbatas. Murid baru harus masuk siang hari. Pagi itu, baru
pukul 06.00 WIB, bapak yang tiba-tiba terlihat sehat, membangunkan aku.
“Ayo
bangun, kamu cari uang jajan dulu,” kata bapak. Ya, aku memang harus semakin
rajin membantu ibu yang sudah lebih dulu membuka lapak tambal ban itu. Aku
segera mandi dan bergegas menjalankan perintah bapak.
“Bawa
tas, sepatu dan baju sekolahmu sekalian. Jadi nanti langsung sekolah,” katanya
lagi. Lagi-lagi aku bergegas ke lemari, mengambil seragam yang rapi karena
sudah diseterika ibu dengan seterika arang. Lebih hemat listrik.
Semua
aku masukkan di tas, dan aku bawa menuju becak yang sudah parkir di depan teras
rumah kayu itu. Ternyata, di jok becak, sudah ada 10 lembar koran Jawa Pos.
Halaman depannya, menampilkan berita utama tentang perang teluk Iran Vs Irak.
“Ah,
mungkin bapak mau sekalian mengantar pesanan koran milik orang,” batinku saat
melihat tumpukan koran medio 1991 itu.
Apalagi
ternyata, becak yang dikayuh bapak, tidak mengarah ke bengkel ibu. Becak
mengarah ke Jalan Mayjen Sungkono Surabaya, ke sebuah stasiun pengisian bahan
bakar umum (SPBU).
“Supaya
kamu punya uang jajan, jualan dulu koran ini,” kata bapak sambil menunjukkan
koran yang ada di sampingku.
“Apa….?
Aku harus jualan koran? Apa salahku sampai harus melakukan ini?” ribuan
pertanyaan lain berkecamuk di dalam hati. Tapi aku hanya diam, tak berani
melawan bapak. Aku tahu bapak lagi sakit, aku tidak mau membuat bapak semakin
sedih. Aku memang miskin, tapi aku juga masih punya cita-cita. Demi semua itu,
aku akhirnya tak mau melawan sama sekali.
“Iya
pak,” jawabku singkat. Turun dari becak, aku menyambar tumpukan koran itu,
sembari bergegas menuju pom bensin di samping Makam Pahlawan Surabaya itu.
Tas
berisi sepatu bekas SD dan seragam, disimpan baik-baik di kotak kecil, di balik
becak bapak. “Bapak mangkal di sekitar sini aja, mudah-mudahan dapat
penumpang,” ujarnya lagi. Jujur, masih ada sedikit rasa dongkol. Aku merasa bapak begitu jahat, menyuruh anaknya jual koran.
Sedangkan temanku yang lain, dengan mudah mendapatkan uang jajan dari orang
tuanya. Tapi lagi-lagi kendalikan diriku sendiri.
Di lokasi itu, aku harus bersaing dengan tiga penjual
koran lainnya. Tapi, hari itu, malaikat pembawa rezeki sedang berpihak padaku.
Koran yang aku bawa ternyata laku keras. Berita Perang Teluk itu benar-benar
menarik setiap pengunjung pom bensin. Harga koran itu Rp 200 per
eksemplar. Karena laku semua, maka 10
eksemplar koran itu seharusnya menghasilkan uang Rp 2 ribu.
Tapi, hari pertama itu aku mendapat uang Rp 7 ribu.
Ya, salah satu pengunjung pom bensin, ada yang memberi aku uang tunai Rp 5
ribu, Wanita muda yang mengendarai mobil itu awalnya aku kira membeli koran.
Ternyata dia hanya memberi uang cuma-cuma. Dari penampilannya, aku tebak dia
seorang mahasiswi.
“Buat kamu aja. Korannya ngga usah,” kata wanita
itu dari balik kaca, saat menyodorkan selembar uang 5 ribuan.
Karena koran sudah habis, aku bergegas menuju ke
lokasi bapak mangkal. Ternyata bapak tidak ada. Aku duduk di trotoar jalan,
setia menunggu bapak. Rasa dongkolku sudah hilang, berganti perasaan bangga
memegang uang yang cukup besar. Uang Rp 7 ribu itu, bisa untuk bayar uang
sekolah 2 bulan, karena setiap bulan harus bayar Rp 3.500.
“Kamu bersihkan badanmu di toilet pom bensin situ
aja. Bawa sekalian seragam sekolah dan sepatunya. Bapak tunggu di sini,” kata
bapak yang ternyata habis mengantar penumpangnya.
Aku mandi sekenanya di toilet pom bensin itu.
Handuk kecil milik bapak, aku gunakan untuk mengeringkan badan. Segera aku
kembali ke tempat bapak. Aku lihat dari kejauhan, bapak tersenyum melihat langkahku
dengan seragam putih biru yang baru.
“Ayo bapak antar ke sekolah,” kali ini kalimatnya
lebih semangat. Rasa lelah seketika berganti senang. Cuaca panas terik tak lagi
aku rasakan. Bagiku, becak yang disewa bapak dari seorang juragan itu terasa
full AC, penuh angin sepoi-sepoi menerpa wajah.
Belum sampai sekolah, aku sudah membayangkan bakal
punya teman baru dan guru baru. Satu lagi, kini artinya aku sudah semakin
dewasa karena tidak lagi pakai seragam putih merah.
Sampai di depan sekolah, aku mencium punggung
tangan kanan bapak. Belum puas, aku peluk tubuh bapak dengan semringah. Bau
matahari di tubuh bapak, segera merasuk hidungku. Bagiku, itu seperti bau
parfum paling mahal di dunia ini, karena bau itu baru bisa tercium setelah
bapak bekerja keras.
Tak ada rasa malu sedikit pun. Sementara teman lain
diantar orang tuanya menggunakan sepeda motor, bahkan mobil, aku hanya diantar
becak. Aku tak mau mengecewakan bapak.
Hari pertama itu, berjalan sempurna. Bahkan aku
sempat disuruh maju oleh bu guru untuk bercerita pengalaman pertama masuk
sekolah. Tanpa canggung, aku ceritakan bahwa tadi sebelum sekolah, aku harus
jualan koran untuk mendapat uang jajan. Aku lihat teman-teman terharu, tapi aku
tak menanggapi. Bagiku itu biasa saja.
Ya, ternyata momen hari pertama sekolah diantar
bapak, sekaligus menjadi hari terakhirku merasakan becak itu. Keesokan harinya,
bapak kembali drop. Kesehatannya menurun drastis sehingga tak bisa lagi bangun
dari tikar pandan yang menjadi alas tidur kami sekeluarga.
Beruntung, ada tetangga yang meminjamkan sepeda,
sehingga setiap pagi, aku tetap bisa jualan koran, hingga langsung pergi ke
sekolah seperti biasa. Dua minggu kemudian, tepatnya 1 Agustus 1991 sejak pertama
kali aku masuk SMP, bapak akhirnya mampu melepas rasa sakit itu untuk
selama-lamanya. Bapak dijemput malaikat maut. Mungkin Allah sudah tidak tega
melihat bapak terus-menerus menahan rasa sakitnya.
Hari itu, aku sama sekali tidak meneteskan air
mata. Aku justru merasa bangga, karena aku sudah pernah diantar masuk sekolah
untuk pertama kalinya oleh bapak. Aku tak mau membuat bapak sedih karena aku
menangis. Aku anak laki-laki, tidak boleh cengeng.
Kini aku tahu, bapak menyuruh jualan koran di hari
pertama masuk sekolah, untuk melatihku hidup mandiri. Mungkin juga bapak sudah
merasa usianya tak bakal panjang.
Terima kasih pak, berkat bapak, kini aku tak hanya
menjual koran di pinggir jalan. Kini aku benar-benar jadi wartawan, dan bekerja
di sebuah perusahaan koran. Aku bangga dengan bapak. Aku yakin bapak masih bisa
melihatku sampai saat ini. Hari pertama masuk sekolah itu, benar-benar
mengantarkanku mencapai cita-cita. Terima kasih pak, semoga Allah memberikan
tempat terbaik untukmu. Aamiin. (*)
Post a Comment