Jadi
dokter gigi profesional adalah impian dari Sari (bukan nama sebenarnya).
Setelah lulus dan mendapat gelar Sarjana Kedokteran Gigi (S.KG.) di salah satu
universitas ternama di Pulau Jawa, Sari masih harus menjalani koass alias
co-assissten. Ini adalah pendidikan profesi yang harus dijalani sebelum resmi
menyandang gelar dokter gigi (drg).
Awalnya,
semua berjalan normal dan biasa-biasa saja. Namun seiring waktu, calon dokter
gigi ini merasa semangatnya semakin lemah dan kurang fokus. “Kalau pas pulang
ke Samarinda, senang dan semangat. Begitu mau kembali ke kampus, koass lagi,
rasanya malas. Sama sekali ngga semangat,” tuturnya.
Wanita
ini merasa ada yang aneh. Sebab, saat masih aktif sebagai mahasiswi, dirinya
tergolong yang cukup rajin dan mampu mengoleksi indeks prestasi komulatif (IPK)
yang selalu memuaskan. Berusaha mencari jawaban, yang ada malah semakin bingung
mencari penyebabnya.
Gara-gara
asmara atau pacar? Ternyata bukan. Gadis ini sangat serius dengan
pendidikannya, sehingga masih mengabaikan urusan hati. Urusan dengan orang
tuanya? Juga tidak ada masalah. Justru, ia sering diskusi dengan kedua orang
tuanya untuk mencari tahu penyebabnya.
Atas
saran kedua orang tuanya pula, wanita ini kemudian dibawa ke tempat praktik
saya. Harapannya, dengan teknik hipnoterapi, bisa diketahui akar masalah yang
menjadi penyebab menurunnya semangat calon dokter gigi ini.
Waktu
yang disepakati tiba. Klien bersama keluarganya datang tepat waktu. Seperti
biasa, saya memberikan penjelasan soal alur terapi yang akan dilalui. Tak lupa,
saya juga sempat menyampaikan bahwa metode hipnoterapi juga sudah diaplikasikan
di dunia kedokteran gigi. Drg Mia Gracia CCH, dokter gigi sekaligus rekan
sejawat sesama hipnoterapis lulusan Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology,
telah menulis buku Hypnosis in Dentistry, bahkan sudah membuat workshop dengan
tema yang sama. Tujuannya memudahkan para dokter gigi untuk menangani pasien
tanpa bius, cukup menggunakan metode hipnosis.
Penjelasan
tuntas, klien pun siap menjalani proses terapi. Sementara keluarganya menunggu
di ruang tamu. Tak sulit membawa Sari masuk ke kondisi kedalaman pikiran bawah
sadar yang nyaman dan menyenangkan. Setelah di kedalaman yang cukup presisi,
proses hipnoanalisis pun dilakukan. Perasaan yang sangat mengganggu ketika
menjalani pendidikan profesi adalah rasa ragu saat menangani pasien. Akar masalah
dari perasaan ini ternyata terjadi ketika klien masih berstatus mahasiswi.
Ketika
itu, Sari sedang praktik penanganan gigi. Ternyata, hasil kerjanya dianggap
kurang bagus oleh sang dosen. Yang membuat klien tidak nyaman adalah, sang
dosen sempat membandingkan hasil kerjanya dengan hasil kerja kakaknya. Maklum,
sang kakak juga kuliah kedokteran gigi di kampus yang sama.
Dosen
membandingkan hasil kerja klien dengan kakaknya, tentu berniat baik. Harapannya
bisa menjadi motivasi tersendiri. Namun, bagi pikiran bawah sadar, belum tentu
dianggap sebagai motivasi. Justru inilah akar masalah yang membuat klien
menjadi tidak semangat dan malas menjalani koass.
Proses
restrukturisasi di kedalaman pikiran bawah sadar pun dilakukan. Semua trauma
dan perasaan tidak nyaman dikuras habis. Hasilnya, wanita ini merasa sangat
lega dan nyaman. Ia pun merasa sangat siap dan lebih bersemangat menyelesaikan
studinya.
Kini,
harapan dan semangatnya hanya satu, ingin membanggakan dan membahagiakan kedua
orang tuanya ketika pulang kembali ke Samarinda dengan tambahan nama depan “drg”
alias dokter gigi.
Semangat
ya Sari. Semoga segera lulus dan berhasil menjadi dokter gigi profesional.
Demikianlah kenyataannya. (*)
Post a Comment