Yana Hendayana (kanan) di RM Riung Panyaungan miliknya, di Km 2 Ciherang - Bandung. |
Hampir
sepekan berada di Bandung – Jawa Barat untuk mengikuti event Pekan Olahraga Nasional
(Porwanas) XII, akhir Juli 2016 tadi, saya berkesempatan kenal lebih dekat dengan
Yana Hendayana. Beliau adalah sahabat saya, pernah sama-sama mengikuti workshop
Quantum Life Transformation (QLT) di Tretes – Pasuruan – Jawa Timur.
Kenal
sejak akhir 2014, selama itu pula komunikasi hanya dilakukan melalui media
sosial. Itu pun tidak intens. Lebih sering basa-basi bertanya kabar, atau
sesekali diskusi tentang teknologi pikiran.
Begitu
mendengar saya berada di Bandung, beliau langsung mendatangi tempat saya
menginap. Keesokan harinya saya bahkan langsung ‘diculik’ dibawa ke kediamannya
di kawasan Jalan M Thoha Bandung. Di tempat tinggal sekaligus menjadi tempat
usaha kulinernya, Djongko, saya dijamu secara spesial. Semua menu andalan
dikeluarkan, dan wajib mencicipi.
Tak
hanya itu, ‘penculikan’ pun berlanjut ke kawasan Ciherang. Saya dibawa ke Rumah
Makan Riung Panyaungan. Rumah makan yang ia dirikan sejak 1996 itu, suasanya
sangat nyaman. Tempat makan berupa puluhan saung yang berdiri di atas lahan
satu hektare itu, benar-benar membuat siapa saja betah menikmati suasananya. Sawah
di sekeliling rumah makan dengan suhu udara yang cukup sejuk, membuat
pengunjung semakin betah berlama-lama.
Di
tempat ini pula, semua masakan andalan juga dikeluarkan. Lagi-lagi, saya wajib
melakukan eksekusi terhadap semua makanan ini. Mau tidak mau, saya harus
negosiasi dengan bagian diri saya yang mengatur berat badan, agar memberikan
izin menyantap makanan ini. Dari mulai nasi liwet dengan cabe gendot, gurame bakar,
karedok, ayam kampung goreng, ikan asin balado, daging gepuk, oseng dorokdok
dengan bahan utama kerupuk kulit sapi.
Khusus
nasi liwet, bagi Anda yang ingin makan di sini, sebaiknya pesan dulu. Sebab,
perlu waktu 1 jam untuk membuat nasi liwet yang benar-benar membuat ketagihan. Apalagi
ternyata beras yang dipakai juga hasil tanaman sendiri. Lokasi sawahnya tak
jauh dari rumah makan ini.
Ada
pula iga bakar, sayur lodeh, sayur asem dan lalapan pendukung lainnya. Itulah
pertama kali lidah saya seolah puas berpesta karena berhasil menikmati semua makanan
yang rasanya benar-benar maknyus.
Tapi
siapa sangka, tiga tahun lalu, Pak Yana justru sering merasa tersiksa ketika
berada di rumah makan ini. “Kadang tiba-tiba saya nangis ketika lihat banyak
orang yang makan di tempat ini. Kalau sudah begitu, saya biasanya langsung
minum Xanax. Habis minum obat, langsung bisa tertawa lagi,” kenang Yana sembari
terus menyantap suguhan istimewa, resep warisan dari ibundanya itu. Namun efek
obat itu hanya sesaat. “Nanti sembuh, ngga lama ya kambuh lagi, jadi tidak bisa
permanen,” jelasnya.
Tak
terasa, lebih 10 tahun pria berdarah Sunda ini harus selalu menyimpan obat
antidepresan tersebut. Sebab, rasa aneh dalam dirinya tak tahu kapan akan
muncul. “Kadang lihat nasi aja bisa nangis. Lihat ikan di kolam saja saya bisa
nangis sendiri. Entah kenapa?” ujarnya.
Emosi
labil yang tiba-tiba meledak itu jelas membuatnya bingung. Kalau sudah seperti
itu, badannya kadang menggigil dan dia hanya bisa meringkuk, berusaha menghangatkan
tubuhnya. Persis efek sakau yang dialami pengguna obat terlarang. Kalau sudah
seperti ini, beliau praktis tidak bisa beraktivitas apa pun.
Itu
pula alasan psikiater yang mendampingi dirinya, memberikan obat antidepresan,
agar emosi pria ini tidak sampai membuncah semakin parah. Tak hanya psikiater.
Entah sudah berapa banyak pengobatan tradisional juga dilakoni. Berbagai ‘orang
pintar’ juga pernah disambangi demi mencari kesembuhan atas dirinya itu.
“Ritualnya
juga macam-macam, semuanya aneh-aneh. Hasilnya ya tetap saja,” ujarnya. Jika
dihitung-hitung, tak kurang dari 30-an ‘orang pintar’ yang pernah didatangi.
Belum
puas, berbagai buku juga ia borong untuk mencari jawaban atas penyakitnya.
Urusan dengan Sang Pencipta, jangan ditanya. Sebagai alumnus pondok pesantren,
pria ini sudah sangat khatam bagaimana cara berdoa yang tepat dan bagaimana
harus memohon kepada Sang Khalik.
Namun,
justru di situlah dia merasa bersyukur. “Rupanya Allah ingin saya terus belajar
dan belajar,” ujarnya. Hingga suatu ketika, dia membaca buku milik Bante
Karyadi, berjudul “Sembuh dengan Hipnoterapi”.
Berbagai
kisah yang dimuat dalam buku itu, membuat Pak Yana juga ingin menjalani metode
ini. “Saya sudah siap mau berangkat ke Medan, menemui Bante Karyadi,” ujarnya. Namun
oleh Bante Karyadi, beliau disarankan tidak perlu ke Medan, tapi bisa menemui terapis
sesama lulusan Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) yang ada di
Bandung.
Pak
Yana akhirnya menjalani sesi hipnoterapi dengan Adi ST, hipnoterapis AWGI yang
ada di Bandung. “Saya menjalani terapi sampai 6 kali. Satu demi satu akar
masalah yang membuat saya sampai mengalami gangguan kejiwaan, berhasil
ditemukan dan dicabut,” urainya.
Hasil
terapi benar-benar ia rasakan selama tiga tahun ini. “Hidup saya benar-benar
nyaman. Dulu, kalau saya cerita tentang masa lalu saya, biasanya langsung sedih
dan semakin trauma. Kalau sekarang, saya cerita ke Mas Endro, ya biasa-biasa
saja,” ujarnya sembari tersenyum.
Sembari
mendengarkan kisah Pak Yana, tak terasa tiga potong daging gepuk yang rasanya
seperti abon, berpindah ke perut. Belum lagi ikan gurame dan iga bakar, plus
ikan asin balado, semuanya berebut ingin masuk ke lambung.
Lantas,
apa sebenarnya akar masalah yang membuat Pak Yana harus menjalani hidup yang
tidak nyaman selama 10 tahun itu? Secara gamblang, tentu tidak patut dituliskan
di sini. Namun yang jelas, ada trauma masa lalu yang melekat sehingga membuat emosi
beliau mudah terguncang. Bahkan, trauma itu sudah ada sejak beliau masih dalam
kandungan ibunya.
Pria
ini merasa sangat bersyukur. Meski sempat mengalami masa-masa yang sulit, istrinya
tetap setiap mendampingi bahkan ikut berperan dalam proses penyembuhannya.
Usai
menjalani hipnoterapi dan bebas dari masalah emosinya, membuat Pak Yana semakin
semangat mengenal dirinya sendiri. Itu pula yang menyebabkan dirinya mengikuti
workshop Quantum Life Transformation, bahkan hingga. “Istri juga sudah ikut QLT,
biar energinya sama-sama nyaman,” urainya.
Sebelum
itu, beliau juga pernah mengaku mengikuti workshop lain bahkan hingga ke level
yang paling tinggi, kelas eksklusif. Namun tetap tidak berhasil membantu
mengatasi persoalan pengendalian emosinya.
Pengalaman
hidupnya yang sempat mengalami guncangan emosi, membuat dirinya semakin paham
akan dirinya sendiri dan mudah memberikan masukan dan saran kepada orang lain.
“Sekarang,
saya jadi tahu dan paham. Mana orang yang benar-benar kesurupan, dan mana yang
sebenarnya hanya stress,” tuturnya.
Tak
terasa sudah hampir dua jam menyimak dan mendengerkan kisah dari Pak Yana. Kami
berdua harus segera beranjak ke lokasi lain, yakni pondok pesantren yang juga pernah
didirikan beliau.
Sebelum
beranjak, tak lupa, saya pamit dan bersalaman dengan ibunda Pak Yana. “Resep
masakannya enak-enak bu,” ucap saya. Wanita itu berterima kasih atas kunjungan
singkat itu seraya tersenyum menanggapi apa yang saya sampaikan. (*)
Post a Comment