Bukan
rahasia umum bagi negeri ini. Ganti menteri, ganti pula kebijakan. Masil lekat
dari ingatan ketika Menteri Pendidikan Anies Baswedan meluncurkan program
mengantar anak di hari pertama sekolah. Belum lagi ada evaluasi atas program
ini, muncul pula pergantian kepada Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy yang
sudah ancang-ancang membuat program baru, Full Day School (FDS) alias sekolah
sehari penuh.
Sebenarnya,
ini bukan program baru. Di hampir semua daerah di Indonesia, ada saja sekolah
unggulan yang menerapkan sekolah sehari penuh ini. Masalahnya, program ini akan
diberlakukan untuk semua murid SD dan SMP baik negeri maupun swasta. Sementara
faktanya, masih banyak sekolah yang belum memiliki ruang kelas memadai, sehingga
harus berbagi antara kelas pagi dan sore. Jika kebijakan ini langsung
diterapkan, praktis akan ada persoalan yang tidak mudah dipecahkan.
Ada
pula sekolah yang ruangannya berbagi dengan jenjang lainnya. Misalnya pagi
digunakan untuk jenjang SMP, siangnya digunakan untuk SMA. Jika kemudian
diterapkan sekolah satu hari penuh, jelas akan ada yang dikorbankan. Ini baru
dilihat dari sisi infrastruktur.
Lantas
bagaimana dari sisi lainnya, seperti tenaga pengajar atau guru. Apalagi berbicara
sekolah satu hari penuh, tidak hanya membutuhkan guru. Sekolah juga membutuhkan
kehadiran pembimbing, baik itu di bidang seni, budaya, olahraga, lebih-lebih
masalah moral dan agama.
Apakah
full day school memang benar-benar sistem sempurna? Jelas tidak ada sistem yang
sempurna, tapi boleh jadi terbaik. Sebab sempurna itu hanya milik Allah, juga
milik Andra & The Back Bone, he he he. Karena itu, izinkan saya menyajikan
beberapa fakta yang muncul di ruang praktik saya sebagai praktisi hipnoterapis.
Tiga
bulan terakhir, sedikitnya saya menangani 7 klien yang merupakan ‘korban’ dari
sistem sekolah sehari penuh. Dari mulai usia anak-anak, maupun yang sudah
dewasa.
Saya
ambil contoh kasus seorang siswi kelas 4 SD sebuah sekolah unggulan di Kaltim,
yang tiba-tiba memiliki rasa cemas berlebihan. Orang tuanya panik karena
tiba-tiba anak menjadi sangat penakut. Saat proses terapi, saya menjumpai akar
masalah, anak ini ketika masih kelas 3, sempat dihukum karena terlambat menjalankan
salat ashar oleh pengasuhnya.
Hukumannya
mungkin dianggap sepele, yakni menghafal salah satu surah pendek Alquran di juz
30. Namun, hukuman inilah yang menjadi pemicu rasa cemas hingga terus
menggelinding bak bola salju semakin membesar. Hingga terakhir, rasa cemasnya
membuncah saat menjalani hukuman membersihkan meja makan, gara-gara makanan
yang disiapkan tidak ia makan, karena sama sekali tidak selera.
Beralih
ke kasus lain, seorang siswa kelas 2 SMP tiba-tiba tidak mau lagi pergi
sekolah. Padahal, liburan sudah usai. Sebelumnya siswa ini bahkan diajak
berlibur ke luar negeri oleh kedua orang tuanya. Sangat menyenangkan. Namun
ketika sekolah mulai masuk, ia enggan sekolah dengan berbagai alasan.
“Sempat
empat kali dibawa ke psikiater, dikasih minum obat, bahkan sampai di-ruqiyah
tiga kali. Tetap tidak mau sekolah,” tutur orang tua siswa ini.
Melalui
metode hipnoterapi, muncul fakta di pikiran bawah sadar bahwa rasa takut ke
sekolah disebabkan oleh kejadian dibentak oleh guru olahraga. Seperti biasa, di
sekolah sehari penuh ini, di antaranya diisi waktu dengan olahraga. Nahas,
klien ini lupa membawa training olahraga. Walhasil, siswa ini dibentak oleh
sang guru yang memang dikenal tegas.
Bagi
murid lain, mungkin bentakan itu dianggap biasa. Namun bagi siswa ini, dia
merasa harga dirinya hancur dan dipermalukan di depan teman-temannya.
Tentu
masih ada beberapa kasus lain yang terkait sekolah satu hari penuh ini. Namun
poin pentingnya adalah, jika sistem ini benar-benar diberlakukan, sekolah harus
benar-benar siap menjadi rumah kedua, bahkan rumah utama bagi anak-anak dalam
proses tumbuh kembangnya. Sudahkah para guru dan pengasuh di sekolah
mempersiapkan diri sebagai orang tua yang bijak bagi para murid selama satu
hari penuh?
Demikian
pula orang tua, harus memahami dan menyadari beban pendidikan yang sudah
diterima anak-anak. Fakta yang pernah saya dapatkan di ruang terapi adalah,
anak-anak merasa stress. Setelah satu hari full sekolah, eh malam harinya masih
ada beban les ini dan itu, kursus ini dan itu. Inilah yang bagi sebagian siswa
jadi masalah. Mungkin, ada yang tahan, namun nyatanya tak sedikit pula yang
membuat pikiran bawah sadar anak menjadi ‘korslet’.
Selain
itu, orang tua juga harus menyadari tetap wajib mengisi baterai kasih sayang
anak, ketika sudah berada di rumah. Manfaatkan momen kebersamaan keluarga
dengan lebih berkualitas. Jangan sampai anak yang sudah satu hari penuh
terpisah dari orang tua, sampai rumah pun orang tua tidak ada interaksi dengan
anak-anaknya. Sibuk masing-masing. Akibatnya, anak jadi merasa dekat di mata
namun jauh di hati.
Sekali
lagi, saya sangat mengapresiasi rencana pemerintah menerapkan sekolah satu hari
penuh. Namun harapannya, pemerintah harus mempersiapkan segalanya, dari “A”
sampai “Z”, berikut semua tanda bacanya, sehingga semua siap dan tidak ada yang
tertinggal.
Bagaimana
menurut Anda? (*)
Post a Comment