Dalam setiap kesempatan sharing di event seminar, diskusi,
hingga temuan di ruang terapi, masalah pendidikan anak memang menarik menjadi
bahan pembicaraan. Tak sedikit anak-anak yang punya masalah di sekolah, baik sekolah
reguler negeri maupun swasta, maupun sekolah sehari penuh (full day school)
hingga boarding school seperti tinggal di asrama maupun pondok pesantren.
Saya pernah menjumpai anak-anak yang tertekan karena begitu
banyak agenda yang harus dilakoni sehari penuh, dari bangun pagi sampai
beranjak tidur lagi. Sementara orang tuanya begitu bangga karena anaknya
benar-benar disiplin dan sudah diatur jadwal hariannya.
Dari mulai bangun pagi, semua sudah diatur menit per menit,
apa saja yang harus dilakukan. Begitu juga saat pulang sekolah, semua sudah ada
jadwalnya. Sang orang tua tidak menyadari dia sedang membentuk sebuah robot
bernyawa. Orang tua ini ingin anaknya menguasai semua hal. Nilai untuk semua
pelajaran harus sempurna.
“Saya ngga tahu nanti mau jadi apa. Mungkin mama kepengen aku
jadi kalkulator. Bisa menjawab semua soal hitungan dengan cepat. Mama selalu
membanggakan aku karena bisa menghitung cepat, di depan teman-teman arisannya,”
sebut bocah yang sekolah di salah satu SMP favorit di Kaltim ini, saat
berbincang di sesi konsultasi awal.
Lantas, kenapa anak ini sampai di bawa ke tempat praktik
saya? Ternyata, sudah hampir dua bulan si anak tidak mau masuk sekolah. Mendengar
kata-kata ‘sekolah’, dia langsung tertekan. Tatapan matanya kosong, lebih
banyak tidur dan fisiknya sangat lemah.
Sang ibu panik. Sudah dibawa ke beberapa psikolog dan
psikiater. Bahkan sempat dirukiyah karena khawatir terkena gangguan jin. Si anak
manut saja dibawa orang tuanya kesana-kemari, bahkan hingga ke beberapa kota di
Pulau Jawa untuk berobat dengan ‘orang pintar’.
“Ini kalau sampai ngga bisa juga diterapi, mau saya carikan
psikiater di Singapura,” tutur si ibu kepada saya. Pendek kata, dia siap
melakukan apa saja, siap keluar biaya berapa saja, yang penting anaknya kembali
normal dan kembali menjadi sang juara kelas.
“Bagaimana kalau ibu yang lebih dulu menjalan sesi terapi?”
kata saya, usai ibu ini memberikan
penjelasan.
“Kenapa saya yang diterapi? Yang bermasalah anak saya. Kok
malah saya yang harus diterapi,” ucapnya dengan nada sedikit kurang nyaman.
Saya hanya menyampaikan, ada baiknya sebelum anaknya yang diterapi, ibunya juga
perlu menjalani sesi ini agar lebih nyaman.
“Kalau ibu tidak mau ya ngga apa-apa. Tapi saya belum mau
juga melakukan terapi pada anak ibu,” ucap saya.
Kesal, ibu ini segera membawa anaknya pulang. Batal menjalani
sesi terapi. Tapi dua minggu kemudian, si ibu melemah. Dia mengirimkan pesan
pendek, bersedia menjalani sesi terapi dan meminta jadwal.
Dugaan saya tidak meleset. Apa yang terjadi pada anaknya,
akibat dari sikap ibunya yang over demanding alias menuntut anaknya selalu
sempurna. Melalui penelusuran di pikiran bawah sadar, ditemukan fakta bahwa ibu
ini ketika masih sekolah lemah dalam pelajaran matematika.
Saat usia kelas 5 sekolah dasar, ibu ini dihukum di depan
kelas karena tidak bisa mengerjakan satu soal, yang menurut gurunya sangat mudah.
Padahal, mudah bagi gurunya, belum tentu mudah bagi sang murid.
Sakit hati atas perlakuan sang guru, membentuk pola pikir
baru pada sang ibu, bahwa seseorang harus pandai matematika agar tidak dihukum.
Hal inilah yang kemudian diterapkan pada anaknya. Anak semata wayangnya itu
harus menjalani les cara menghitung cepat tiga kali dalam seminggu. Belum lagi
les lainnya yang cukup menyita energi.
Pola pikir matematika adalah segalanya, sudah membuat ibu ini
menuntut kesempurnaan pada anaknya. Dia akan panik dan marah besar jika nilai
matematika anaknya di bawah 9.
Dengan teknik yang tepat, saya lakukan restrukturisasi di
pikiran bawah sadar sang ibu. Tidak hanya restrukturisasi, penanaman pemahaman
yang baru soal pendidikan juga ditanamkan untuk membentuk pola pikir yang lebih
baik.
Hasilnya, sang ibu merasa nyaman dan plong. Beban ‘bodoh
matematika’ yang sudah terbawa sejak kecil, berhasil dilepaskan.
Lalu, bagaimana dengan anaknya? Apa perlu diterapi? Sama
sekali tidak. Sepulang dari proses terapi, sang ibu saya berikan tugas untuk
meminta maaf pada sang anak. Ibu ini juga saya beri ‘PR’ untuk menjadi
pendengar yang baik, mendengarkan semua keluhan dan apa yang diinginkan anak.
“Ternyata anak saya memang tidak suka matematika. Dia memang
bisa, tapi tidak menjiwai. Dia mau menjalani hanya karena tidak ingin saya
marah, hanya ingin menyenangkan ibunya,” jelas sang ibu, seminggu kemudian
selepas sesi terapi.
Saat sesi permintaan maaf pada anaknya, sang buah hati
menyampaikan bahwa dia lebih suka pelajaran bahasa Inggris. Si anak bercita-cita
menjadi duta besar, dan ingin keliling dunia. “Itu kan tidak harus pandai
matematika ya pak?” ujar si ibu. Kali ini dengan nada sedikit tertawa. Lalu,
apakah si anak mau sekolah?
“Sudah pak, sudah saya pindahkan ke sekolah lain, sesuai
keinginannya. Anaknya sudah mau sekolah. Ya ngga apa-apa ketinggalan pelajaran,
yang penting mau sekolah. Tapi anaknya sendiri yang janji bisa mengejar,”
ucapnya.
Pembaca yang budiman. Begitu banyak hikmah yang bisa dipetik
dari kisah ini. Sukses tidaknya seseorang, tidak ditentukan oleh angka-angka atau
nilai ujian. Coba cek kembali teman sekolah Anda masing-masing. Bagaimana hidupnya
saat ini. Apakah yang dulu selalu menduduki ranking, sekarang sudah sukses?
Sebaliknya, mereka yang dulu biasa-biasa saja, bahkan dianggap pembuat onar,
ada yang hidupnya jauh lebih baik.
Sikap orang tua lah yang terkadang membuat anak bermasalah. Ingat,
dunia ini tidak hanya memerlukan dokter
atau insinyur. Ada begitu banyak profesi yang menjanjikan dan memiliki masa
depan yang juga sangat cerah. Apa jadinya jika dunia ini hanya diisi pegawai
negeri, dokter, insinyur, pilot, polisi, atau tentara dan guru. Kita tentu tidak
akan bisa tertawa lepas dan bahagia karena ternyata tidak ada yang berprofesi
sebagai pelawak atau penghibur.
Betapa dunia akan sangat sunyi sepi, karena tidak ada yang
bersedia menjadi musisi atau penyanyi. Akan banyak yang menganggur karena tidak
ada yang bercita-cita menjadi pengusaha.
Anda pun akan sulit mencari makanan yang enak, karena tidak
ada yang mau bercita-cita menjadi koki. Busana pun tidak ada yang bagus, karena
tidak ada yang mau menjadi perancang busana. Termasuk, warga bumi ini tidak
akan tahu kejadian apa pun karena tidak ada yang mau bercita-cita jadi
wartawan. Pun tidak akan pernah ada namanya olimpiade, karena tidak ada yang
mau menjadi atlet. Pendek kata, begitu banyak profesi yang juga sangat
menjanjikan.
Anda boleh bangga punya anak dengan prestasi yang juara dan
nilai terbaik. Tapi rasa percaya diri yang ia miliki jauh lebih penting untuk
masa depannya. Jangan cintai anak dengan syarat nilai bagus. Karena cinta dan
sayang tidak memerlukan syarat itu.
Bukankah rasa bahagia tidak hanya milik seseorang yang pandai
matematika? Sementara kadar kebahagiaan itu sendiri tidak bisa dihitung
jumlahnya, bahkan dengan rumus apa pun. Tidak bisa matematika, tidak akan
membuat dunia ini kiamat!
Bagaimana menurut Anda? (*)
Post a Comment