Anda
tertarik dengan masalah kejiwaan atau tentang pikiran bawah sadar? Film Split
yang saat ini tayang di bioskop, bisa menjadi tambahan pengetahuan dan
referensi bagi Anda untuk mendalaminya. Psikolog, psikiater, termasuk hipnoterapis
seperti saya, tentu tidak lagi heran jika menjumpai seseorang yang memiliki
banyak kepribadian, seperti diperankan James McAvoy dalam film besutan sutradara
Sutradara M. Night Shyamalan ini.
Dalam
film ini, James McAvoy memerankan seseorang yang memiliki 23 kepribadian.
Bahkan 23 kepribadian ini kemudian bersekongkol dan sepakat membentuk
kepribadian baru berupa monster The Beast yang memiliki kekuatan sangat luar
biasa.
Film
Split yang langsung menyuguhkan ketegangan sejak menit-menit awal itu,
menggambarkan kondisi Dennis (James McAvoy) yang juga dengan mudah mengakses
data kepribadiannya yang lain. Selain Dennis yang obsesif dengan kebersihan dan
keteraturan, diantaranya juga ditampilkan kepribadian Patricia yang feminin,
Hedwig yang kekanakan, dan Barry yang memiliki jiwa artistik dan flamboyan.
Sebagai
terapis berbasis teknologi pikiran, banyak temuan menarik saat proses terapi seperti
halnya dalam film Split ini. Saya pun harus jeli dalam menggali pikiran bawah
sadar klien. Saya harus berbicara dengan bagian diri klien yang tepat, sesuai
dengan masalah yang ingin diatasi. Di kelas 100 jam Scientific EEG &
Clinical Hypnotherapy (SECH) di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, tempat
saya belajar, ‘bagian diri’ ini disebut dengan ego personality (EP).
Ibarat
jaringan komputer, 23 EP itu layaknya 23 komputer yang saling terhubung dengan local area network (LAN). Masing-masing
bisa aktif sendiri, namun bisa saling bertukar data dengan komputer lain yang
ada di jaringan tersebut.
Rekan
saya, Elvia Esta asal Jogjakarta, sesama hipnoterapis dari Adi W. Gunawan
Institute of Mind Technology, pernah melakukan terapi pada klien yang
kepribadiannya “pecah” hingga menjadi 21 bagian. Proses terapi yang melelahkan
itu akhirnya bisa dituntaskan menggunakan metode hipnoterapi.
Saya
juga teringat dengan salah satu klien saya, seorang wanita muallaf yang kini
sedang menekuni bisnis. Wanita ini beberapa kali mengalami kegagalan dalam
bisnis yang ia jalani. Saat proses terapi, saya mencoba berkomunikasi dengan EP
yang menghambat bisnis wanita ini. Ternyata secara mengejutkan, muncul EP yang
masih berusia 16 tahun, padahal klien sudah berusia 35 tahun. EP yang berusia
16 tahun itu bertugas melakukan sabotase atas usaha yang dilakukan klien.
Tujuannya, supaya klien frustasi dan kembali ke agamanya yang lama. Ya,
ternyata EP ini tidak rela kliennya menjadi muallaf.
Sangat
sulit melakukan negosiasi dan membujuk EP yang masih 16 tahun ini agar menyetujui
klien pindah keyakinan. Apalagi EP ini muncul akibat trauma, yakni klien sempat
dikurung selama berhari-hari oleh orang tuanya, ketika dia ketahuan menjadi
muallaf. Bahkan, kitab suci dan mukena yang selama ini ia gunakan, sempat
dimusnahkan orang tuanya. Beruntung akhirnya EP ini melunak dan akhirnya
bersedia mendukung keputusan klien.
Bisa
dibayangkan, bagaimana jika EP usia 16 tahun itu dibiarkan tetap hidup dan
terus melakukan sabotase dalam diri klien. Apalagi sampai berhasil mempengaruhi
EP lainnya untuk menjalankan hal yang sama. Itulah yang menyebabkan seseorang
stress bahkan bisa berubah menjadi ‘monster’ seperti yang digambarkan dalam
film Split.
Lantas,
kenapa seseorang bisa memiliki banyak kepribadian seperti diperankan James
McAvoy? Di film itu digambarkan, penyebab awalnya adalah ketika pria ini masih
berusia anak-anak, bernama Kevin Crumb, selalu mendapat perlakuan kasar dari
ibundanya. Hal ini yang kemudian memicu timbulnya EP dalam diri Kevin yang
sebenarnya bertujuan baik, yakni untuk memberikan perlindungan. Sehingga membentuk
EP baru, yakni monster yang sulit dikalahkan.
Sementara
itu, di ruang terapi, saat saya berurusan dengan EP-EP klien yang memunculkan
masalah, sebenarnya tujuannya sangat baik. Namun tujuannya hanya baik saat
pertama kali muncul. Di kemudian hari EP inilah yang memunculkan masalah dan
harus diatasi.
Sebagai
contoh, anak-anak yang dihukum dan dipermalukan gurunya di depan kelas. Maka,
akan muncul EP baru pada anak ini, yakni EP pemalu atau EP yang tidak berani
berbicara di depan ini. Tujuan munculnya EP ini sangat baik, yakni agar klien
tidak maju ke depan kelas, dan tidak lagi dipermalukan.
Saat
dewasa, kondisi ini jelas merepotkan, karena saat di dunia kerja, diperlukan
rasa percaya diri dan keberanian yang nyata. Maka, EP ini harus diedukasi
sehingga kemudian bisa kembali percaya diri berada di depan umum.
Anda
orang tua yang memiliki anak? Maka jangan biarkan ada EP yang kelak bisa
merusak masa depan anak Anda. Minta maaflah pada anak sekarang juga, agar EP yang
trauma pada perlakuan orang tuanya, bisa nonaktif bahkan hilang dengan
sendirinya.
Bagaimana
jika Anda sebagai orang dewasa juga pernah mengalami trauma saat anak-anak?
Maafkan perlakuan orang tua Anda dengan tulus, agar kualitas hidup Anda menjadi
lebih baik.
Bagaimana
menurut Anda? (*)
Post a Comment