Belum lama ini, datang seorang ibu membawa anaknya. Sang
anak sebelumnya dikeluhkan oleh guru di sekolah, karena sering bermasalah. Dari
mulai tidak mau menulis, tidak mengerjakan tugas, bahkan lebih suka menyendiri.
Pihak sekolah merekomendasikan agar anak dibawa ke psikolog. Setelah dibawa ke
psikolog, ternyata sang psikolog juga merekomendasikan agar anaknya juga
menjalani sesi hipnoterapi agar lebih maksimal. Atas rekomendasi psikolog
itulah, ibu ini membawa anaknya untuk jumpa dengan saya.
Seperti biasa, saya tidak langsung fokus dengan sang anak.
Saya harus mengumpulkan informasi dari ibunya, dari masalah pola asuh serta
seberapa besar peran kedua orang tuanya dalam mendidik anaknya. Dengan mudah
bisa diketahui, ternyata masalah yang dialami anak disebabkan pola asuh orang
tua yang kurang tepat. Tidak ada kerja sama dari kedua orang tua, dalam
mendampingi dan mendidik buah hatinya sendiri.
“Bapaknya tidak pernah mau tahu urusan anaknya. Semua saya
yang mengurusi,” kata ibu ini dengan mata berkaca-kaca. Perlahan-lahan mulai
terurai bahwa masalah yang dialami anaknya, dikarenakan kurangnya kasih sayang
dari kedua orang tuanya, terutama minimnya kehadiran dari sosok ayah.
Sahabat mungkin ada yang mengalami hal sama yakni menganggap
seorang anak bermasalah. Padahal sejatinya, masalah berawal dari kedua orang
tuanya sendiri. Berapa banyak orang tua yang beranggapan bahwa semua masalah
bisa diselesaikan dengan uang.
Dalam kasus di atas, si anak sudah duduk di kelas 4 SD.
Namun, hingga kini belum bisa baca tulis. Lantas kenapa bisa naik kelas? Ya itu
tadi, dengan pola pendekatan tertentu pada pihak sekolah, si anak terus
melenggang naik kelas. Kedua orang tuanya rela membayar berapa saja, anak
anaknyua naik kelas. Orang tua memang berhasil menghindari rasa malu dan gengsi
jika anaknya tinggal kelas. Namun, yang tidak disadari orang tua adalah, mereka
sedang ‘membunuh’ masa depan anaknya secara perlahan-lahan.
Untuk apa anak terus naik kelas, tapi nyatanya anak tidak
bisa apa-apa. Jika hanya nilai akademis yang dikejar, tentu tak diperlukan
proses pendidikan. Cukup buat kertas rapor sendiri, kemudian cetak sendiri
nilai dengan angka sesuai keinginan. Bukankah pendidikan tidak sekadar nilai
atau angka-angka di atas kertas?
Sampai di sini, ibu ini mulai menyadari kekeliruannya. Hanya
karena gengsi, anaknya dikorbankan dengan terus naik kelas namun tidak ada
perkembangan berarti. Bahkan rela beberapa kali pindah sekolah, asal naik
kelas. Pihak sekolah lama tentu senang, ‘biang masalahnya’ hilang. Orang tua
pun senang karena gengsi tetap terjaga. Tapi sekali lagi, kondisi perkembangan mental
anak akan semakin terpuruk.
Lalu, bagaimana dengan si anak. Apa perlu diterapi? Dengan
penuh hormat saya sampaikan kepada ibu ini, saya belum bersedia melakukan
proses terapi. Saya baru bersedia melakukan terapi pada anaknya, jika suaminya,
atau ayah dari sang anak ini juga bersedia datang. Kenapa harus datang? Agar
ada proses edukasi dan pemberian pemahaman yang baru pada kedua orang tua,
bagaimana menjalankan pola asuh yang tepat. Kalau ayahnya sendiri tidak peduli
dengan anaknya, tentu aneh kalau berharap orang lain, termasuk saya sebagai
terapis, diminta peduli.
Sangat percuma terapis melakukan proses terapi pada anak,
namun kedua orang tua tidak melakukan perbaikan pola asuh apa pun. Ingat,
hipnoterapi bukan tempat untuk ‘laundry’
anak bermasalah. Anak yang datang ‘kotor’, setelah diterapi diharapkan bersih.
Jelas bukan seperti ini.
Yang lebih penting adalah, bagaimana kedua orang tua
memahami dan menyadari perlunya perubahan dalam pola asuh. Jika pemahaman ini
sudah ada, maka, boleh jadi anak tidak perlu diterapi, pasti perilakunya bisa
berubah. Kenapa? Karena sumber masalahnya sudah memperbaiki pola asuhnya. Jika
kemudian anak tetap diterapi, tentu akan sangat baik. Terapi yang dilakukan
dimaksudkan agar anak mendapat pemahaman baru sekaligus membantu membentuk
konsep diri dan harga diri positif bagi anak itu sendiri.
Tidak hanya itu, saya pun menawarkan kepada ibu ini,
termasuk nanti suaminya jika bersedia, agar mau menjalani sesi terapi. Ini juga
penting dilakukan, karena dari sesi konsultasi yang terjadi, terasa ada endapan
emosi masa lalu dari ibu ini yang perlu dilepaskan. Begitu juga sikap keras
suaminya, pasti disebabkan oleh pola asuhnya di masa lalu, yang juga perlu
diputus mata rantainya.
Sekali lagi, sejatinya tidak ada anak yang bermasalah,
karena umumnya yang bermasalah adalah kedua orang tuanya. Bagaimana menurut sahabat
semua? (*)
Post a Comment