Beberapa waktu lalu, di sela jam istirahat mengikuti
pendidikan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Jakarta, seorang
sahabat menghubungi saya. Dia mengeluhkan suaminya yang kerap bikin jengkel dan
sakit hati.
“Tadi malam saya sampai tidur di ruang tamu. Rasanya kesal sekali,”
ujarnya. Tak mau banyak mendengar kisahnya, karena bagi saya itu adalah sampah
negatif dan berpotensi memberikan dampak negatif, saya langsung bimbing sahabat
saya ini untuk menjalani terapi menulis.
Saya meminta sahabat saya ini untuk menumpahkan semua
perasaannya di kertas, dengan tulisan tangan. Tidak boleh ditik atau dituliskan
di handphone. Saya persilakan dia
untuk menyumpah, memaki, hingga menyebut semua warga ‘kebun binatang’ jika
perlu. Pendek kata harus meluapkan semua emosinya tersebut melalui tulisan.
“Tunggu sebentar. Masalahnya bukan di aku, tapi di suamiku.
Kok aku yang harus melalukan ini? Waktu aku dicuekin, aku masih berusaha ajak
dia bicara. Tapi aku terus ngga dianggap,” protes sahabat saya.
Saya yakin, pertanyaan yang sama boleh jadi juga diutarakan
sahabat lainnya. Orang lain yang bermasalah, kok diri sendiri yang diminta
melakukan terapi. Begini, prinsip utama yang harus selalu diutamakan adalah,
sampai dunia ini berhenti berputar, tak akan bisa mengubah orang lain. Yang
paling bisa dilakukan adalah mengubah diri sendiri. Lagi pula, mengubah diri
sendiri itu paling mudah dan simpel. Tinggal mau melakukannya atau tidak.
Selama seseorang masih berharap bisa mengubah orang lain, maka
selama itu pula akan selalu kecewa dan sakit hati. Selama seseorang berharap
orang lain menjadi sosok sesuai kriteria yang diharapkan, maka selama itu pula
diri sendiri tidak akan berubah menjadi lebih baik.
Saat membantu klien menjalani hipnoterapi klinis, nyatanya
yang diproses dan dibimbing adalah klien tersebut. Bukan orang lain yang
menjadi penyebabnya. Begitu diri klien bisa berubah, kondisi lingkungan pun
bisa berubah. Klien pun menjadi semakin nyaman. Terlepas orang lain yang
menjadi biang kerok itu berubah atau tidak, yang penting klien sudah merasa
netral dan kualitas hidupnya menjadi jauh lebih baik.
Sahabat saya nyatanya masih kurang nyaman dengan penjelasan ini.
“Apa untungnya berubah untuk orang lain? Sementara orang lain ga pernah usaha
untuk berubah?”
Inilah umumnya yang terjadi. Hubungan dengan sesama manusia
seperti hubungan dagang, hubungan jual beli. Harus ada untung dan ruginya. Secara
tidak sadar, sahabat saya ini sudah menetapkan syarat dalam hidupnya. Padahal,
bahagia bisa dicapai tanpa syarat. Selama kebahagiaan harus dicapai dengan
syarat tertentu, misalnya syarat orang lain harus berubah, maka entah
kebahagiaan itu bisa didapatkan.
Maka saya tegaskan kembali bahwa semua keuntungan untuk dirinya
sendiri. Tidak ada urusan buat orang lain. Memaafkan itu untuk diri sendiri,
bukan untuk orang lain. Memaafkan bukan berarti setuju dengan yang orang lain
lakukan, tapi meyakinkan diri sendiri untuk memutuskan tidak ingin lagi
terpengaruh oleh tindakan kurang nyaman yang dilakukan orang lain. Jika orang
lain berbuat salah dan diri sendiri merespons dengan hal yang sama, lalu apa
bedanya diri ini dengan orang lain. Justru kualitas diri sendiri dilihat ketika
mampu mengatasi persoalan yang disebabkan orang lain.
Bukankah dulu di masa Rasulullah Muhammad SAW, meski mendapat
perlakuan yang tidak nyaman bahkan menyakitkan, balasan yang diberikan oleh
Baginda Rasul justru sebuah doa yang baik untuk pelakunya. Dalam buku Rahasia Magnet
Rezeki yang ditulis Ustaz Nasrullah, yang dilakukan Rasulullah adalah menjaga
level energinya selalu positif.
Kembali ke sahabat saya tadi, akhirnya dia mau melakukan
terapi menulis tersebut. Teknik terapi dengan tulisan ini saya dapatkan 2014
silam ketika mengikuti workshop Quantum Life Transformation (QLT) di Tretes,
Pasuruan – Jawa Timur yang dibimbing pakar teknologi pikiran Adi W. Gunawan,
yang kini juga menjadi guru hipnoterapi klinis saya, sekaligus ketua Asosiasi
Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI).
Sahabat ini lantas menuliskan semua perasaannya di selembar
kertas. Setelah selesai, saya minta untuk segera membakar kertasnya sampai
tuntas. “Alhamdulillah, rasanya nyaman,” ujarnya selepas membakar kertas
emosinya tadi. Sebagai gantinya, dia lantas saya minta menulis perasaan
positif, juga di selembar kertas untuk terus mendongkrak perasaan nyaman.
Damai dengan diri sendiri nyatanya memang mudah diucapkan,
namun tidak gampang menjalaninya. Tapi bukan berarti tidak bisa dicoba.
Pelaut hebat tidak pernah menyalahkan ombak. Melainkan karena
dia piawai mengatasi dirinya sendiri.
Bagaimana menurut Anda? (*)
Post a Comment