Belum lama
ini, saya mendapat curahan hati dari pasangan suami istri. Persoalannya adalah,
anak terakhirnya sangat sulit dikendalikan. Apa pun yang diminta harus segera
tersedia. Kalau tidak, maka akan langsung menugamuk dan apa pun yang di dekatnya
pasti akan melayang. Lantas bagaimana mengatasinya?
Seperti
biasa, mendapati kisah seperti ini, saya tidak langsung fokus pada anak. Saya selalu
ingin menelusuri pola asuh kedua orangtuanya. Sebab, tidak mungkin sikap anak
terbentuk seperti itu dalam sekejap, tanpa ada peran serta dari kedua orangtuanya.
Mendidik anak tentu tidak seperti kisah Roro Jonggrang yang meminta seribu
candi dalam waktu semalam.
Ketika
berdiskusi tentang persoalan anaknya, kebetulan anak yang dimaksud juga ada di
situ. Bagi saya, ini sekaligus momen, sebagai ‘orang asing’ harus menembus
pikiran bawah sadarnya dengan cepat. Maka, sengaja saya membuat bahasa sindiran
dengan suara keras, yang tujuannya agar menembus pikiran bawah sadar anak ini.
Terbukti,
si anak langsung bereaksi. Kedua tangannya bersedekap, menunjukkan sikap otoritasnya.
Dari gaya bocah yang baru duduk di bangku prasekolah itu sudah terlihat, selama
ini dia sudah begitu berhasil mengendalikan ayah dan ibunya. Kedua orangtuanya
benar-benar tidak berdaya, tunduk dan patuh pada perintahnya.
Saya
sengaja bercerita tentang kisah Nabi Nuh, terutama soal anaknya yang tidak patuh
pada ayahnya. Alhasil, si anak tersapu banjir bandang. Maka tidak ada alasan
apa pun yang membenarkan ada anak yang tidak patuh bahkan melawan orangtua. Pasti
anak itu hidupnya kelak kurang baik.
Ketika saya
menyampaikan itu, si anak merasa ‘diserang’. Dia mencoba mengalihkan
pembicaraan dengan bertanya sesuatu kepada ayahnya. Melihat itu, saya membuat volume
suara saya semakin nyaring. Namun apa yang saya sampaikan tetap santun dan
terarah.
Saya fokus memberikan informasi ke pikiran bawah sadar anak ini, bahwa
saat itu saya sedang pegang kendali atas kedua orangtuanya. Dia tidak boleh
merebut kendali itu sesukanya. Anak ini langsung diam, dan terpaksa menatap ke
depan dengan pandangan kosong.
Dengan cara
ini, saya ingin menunjukkan kepada kedua orangtuanya, bahwa kendali anak harus
pada orangtuanya. Jika ada anak yang sudah mengambil alih peran ini, maka tentu
ada sesuatu yang kurang pas dan perlu dibenahi.
Berikut
beberapa hal yang mungkin bisa menjadi penyebab kenapa anak berhasil
mengendalikan orangtuanya, sekaligus solusi yang bisa dilakukan agar anak bisa
dikendalikan.
1. Ayah dan Ibu, Sibuk Bekerja.
Ini biasanya menjadi salah satu
persoalan yang dialami banyak keluarga. Pasangan suami istri masing-masing
sibuk bekerja, atau berkarir. Akibatnya, anak merasa kurang mendapat perhatian.
Maka sebagai balasannya, anak akan menuntut hal-hal yang di luar kewajaran.
Tujuannya satu, membuat kedua orangtuanya merasa bersalah dan tak berdaya. Begitu
program ini berhasil, maka yakinlah, pikiran bawah sadar anak akan terus
menjalankan program ini.
Bagaimana mengatasinya? Bagi ayah
dan bunda yang sibuk bekerja, maka hendaknya patuhi aturan ini, jangan pernah
membawa pekerjaan ke rumah. Tak jarang pasangan yang sudah sibuk bekerja,
begitu sampai rumah masih harus lembur. Kalau pun tidak lembur, tapi lebih
banyak pegang telepon seluler, mengurusi pekerjaan dari rumah. Ini juga tetap
lembur namanya. Sebab secara fisik orangtua memang di rumah, tapi pikiran tetap
di pekerjaan, atau dengan rekan kerjanya. Kondisi tersebut akan membuat anak
semakin drop tidak berdaya.
Ibarat telepon seluler, anak sedang
butuh daya. Namun, orangtua justru sibuk dengan pekerjaan di rumah. Ingat, anak
butuh ayah atau ibunya. Anak tidak butuh pengusaha, pedagang, pegawai,
karyawan, bahkan bos atau direktur. Yang dia butuhkan adalah orangtuanya secara
utuh.
Jadi hindari membawa pekerjaan di
rumah. Begitu sampai di rumah, pastikan berikan perhatian penuh pada buah hati.
Terus bagaimana jika tempat usahanya
di rumah sendiri? Bagi waktu yang tepat dan garis batas yang jelas, kapan
bekerja dan kapan untuk anak-anak. Bahkan jika perlu izin sama anak ketika
ingin bekerja. Ini penting dalam upaya menghargai buah hati.
2. Orangtua Belum Paham Bahasa Cinta
Seperti disampaikan sebelumnya,
ibarat telepon seluler, anak harus selalu diisi baterai kasih sayangnya. Nah,
mengisi baterai kasih sayang itu ada lima, masing-masing pujian, sentuhan,
waktu berkualitas, pelayanan dan hadiah. Hal tersebut sesuai teori yang pernah
disampaikan Gary Chapman melalui bukunga 5 Love Languages.
Jadi, cek dengan tepat, sudahkah
ayah dan bunda mengisi baterai kasih sayang kepada mereka. Jika tidak, tentunya
anak akan berperilaku kurang baik dan pasti akan menuntut kebutuhannya dengan
cara mengendalikan ayah ibunya.
3. Kurang Tegas Pada Anak
Bisa
dipastikan, anak yang mampu mengendalikan orangtuanya, kedua orangtuanya kurang
tegas dalam pola asuh sehari-hari. Padahal, sikap tegas juga sangat penting.
Tegas bukan berarti tidak sayang. Ini yang membuat beberapa orangtua tidak
berdaya, karena takut ketegasan itu akan melukai hati anak. Tegas di sini tetap
disampaikan dengan kelembutan dan kasih sayang. Tegas bukanlah dengan marah
meledak-ledak.
Saat minta
mainan di mal, misalnya, anak akan menangis. Ini sebenarnya hanya senjata agar
orangtua menuruti. Orangtua kadang tidak mau pusing, bahkan malu, sehingga
terpaksa menuruti maunya anak. Padahal, justru sikap itulah yang membuat anak
berhasil menjalankan misinya. Pikiran bawah sadar anak otomatis membuat program,
minta sesuatu harus dengan cara menangis di depan umum.
Padahal,
coba saja biarkan dia menangis, dan sampaikan, “Kamu menangis sampai kapan pun,
ayah atau bunda tidak akan belikan. Sebab, sudah sering kok dibelikan. Ada waktunya
kita beli, tapi nanti. Tidak harus sekarang. Kamu juga harus bisa belajar mengendalikan
diri. Sekarang silakan nangis sepuasnya, biar ayah atau bunda tunggu sampai
selesai.”
Percayalah,
sekali disampaikan, pikiran bawah sadarnya pasti akan membatalkan program ini,
karena dianggap gagal. Kemungkinan anak akan mencoba kembali di lain kesempatan,
maka lakukan hal yang sama. Dengan demikian, hal itu pasti tidak akan
dilakukannya lagi, karena sudah terbukti gagal.
4. Kedua Orangtua Masih Menyimpan Emosi
Masa Lalu
Penyebab
lain anak yang sulit dikendalikan adalah, kedua orangtuanya ternyata juga ada
menyimpan emosi atau trauma di masa lalu. Sebagai contoh, ada seorang ibu yang
dulu ketika dirinya masih kecil, sering mendapat perlakuan kasar dari
orangtuanya.
Akibatnya, ketika dewasa, ibu ini tidak mau memperlakukan anaknya,
sama seperti dia dulu diperlakukan. Sebenarnya, hal itu baik. Sebab pikiran
bawah sadar sudah mempunyai program, jangan menyakiti hati anak. Namun, yang belum
diingat adalah, ketegasan tetap perlu, demi masa depan anak.
Namun ada
pula ayah dan bunda yang di masa lalunya mendapat perlakuan sangat kasar dari
kedua orangtuanya, maka pola asuh terhadap anaknya pun keras. Karena keras,
anak pun berusaha memberontak juga dengan kekerasan. Maka, mata rantai pola
asuh yang keras dan kurang terkendali akan semakin liar.
Lantas
bagaimana mengatasinya? Untuk orangtua dengan trauma masa lalu yang menumpuk,
sebaiknya harus dibereskan dulu. Bisa dengan melakukan terapi pada diri
sendiri, atau meminta bantuan orang lain melalui sesi terapi khusus, misalnya
kepada hipnoterapis klinis. Ini untuk menetralisir semua emosi atau trauma masa
lalu yang mengganggu.
Semoga
saja, empat penyebab tersebut di atas bisa diatasi, sehingga ayah dan bunda
kini lebih mampu mengendalikan buah hatinya. Semoga buah hati dari ayah bunda
semua, menjadi anak yang saleh dan salehah, dan kelak bisa dibanggakan oleh ayah
dan bunda.
Demikianlah
kenyataannya. (*)
Post a Comment