Memanfaatkan waktu di Samarinda, sebelum
kembali beraktivitas di Berau, hari ini saya menerima dua klien. Keduanya
anak-anak. Satu usia SLTA dan satu lagi usia SLTP. Dua-duanya memiliki
persoalan yang sama, takut ke sekolah.
Saya coba sampaikan kasus pertama dulu. Sebut
saja namanya Beben. Tentu ini bukan sama sebenarnya. Beben yang berusia 13
tahun ini seharusnya duduk di bangku SLTP. Namun nyatanya, sudah hampir 4 bulan
terakhir tidak mau kembali bersekolah.
Segala upaya sudah dilakukan, termasuk
beberapa kali dijemput guru. Namun Beben tetap kukuh pada pendiriannya, enggan
kembali ke sekolah. Meski pernah diantar sampai ke sekolah, dia memilih pulang.
Kedua orang tuanya pun tak putus harapan. Beben
sempat diajak untuk mondok, di salah satu pondok pesantren di salah satu daerah
di Kalimantan. Namun itu pun tak bertahan lama, Beben kembali minta dijemput.
Orang tua Beben menceritakan, ada beberapa
kejadian di sekolah yang membuatnya malu dan takut. Lantas, benarkah kejadian itu
yang menjadi penyebab utamanya Beben tak mau sekolah?
Kasus kedua, siswi yang seharusnya duduk di
bangku SLTA. Sebut saja namanya Intan. Tentu juga bukan nama sebenaranya. Intan
sebelumnya menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren yang ada di
Kalimantan.
Beberapa waktu belakangan ini, Intan selalu
merasa sakit sesak nafas. Dari sisi medis, tidak ada yang bermasalah. Rasa
sesak nafas dialami Intan setiap kali menghadapi persoalan dengan rekannya di pondok
pesantren.
Ada endapan emosi dan amarah yang disimpan
Intan hingga membuatnya selalu merasa sesak nafas. Selama ini, Intan lebih
memilih diam, dan tidak berani menyampaikan apa pun yang dia alami. Hingga
akhirnya kondisinya semakin drop dan sudah beberapa hari pulang dari pondok
pesantren.
Konon, di pondok pesantren, Intan merasa
mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari kakak kelasnya. Awalnya dianggap
biasa, namun lama-lama perasaan tidak nyaman itu menumpuk hingga akhirnya menimbulkan
sesak nafas yang sangat mengganggu.
Lantas, benarkah perlakuan dari kakak
kelasnya itu yang menjadi penyebab utamanya?
Ada dua pertanyaan yang saya sampaikan,
masing-masing dari kasus pertama dan kasus kedua. Benarkah kedua anak tersebut
tidak mau sekolah dan merasa sesak nafas karena kejadian di sekolah atau di
pondok pesantren?
Melalui teknik hipnoterapi klinis, penyebab
utama atas kasus yang menimpa kedua anak ini akhirnya bisa ditelusuri. Pada
kedalaman pikiran bawah sadar yang tepat dan presisi, didapatkan data penting bahwa
penyebab utama munculnya kedua kasus itu justru dari pola asuh orang tuanya.
Pola asuh apa yang menyebabkan kedua anak
tadi bermasalah? Kedua anak tersebut sama-sama kekurangan kasih sayang. Lho kok
bisa?
Sahabat pembaca yang selalu dimuliakan Allah,
saya yakin sebagai orang tua, pasti semua mengaku sudah menyayangi dan
mencintai anak secara maksimal.
Coba saya tanya, apakah Anda sebagai orang
tua, cinta dan sayang pada anak-anak Anda? Saya yakin, jawabannya pasti cinta
dan pasti sayang. Sekarang izinkan saya sedikit mengubah pertanyaan tersebut.
Apakah sebagai orang tua, sudah yakin bahwa anak Anda merasa dicintai dan
disayangi?
Anda pasti tidak bisa langsung menjawabnya?
Kenapa? Karena untuk tahu, tentu harus bertanya dulu kepada sang buah hati.
Sudahkah anak merasa dicintai dan disayangi? Jawaban atas pertanyaan ini jauh
lebih penting, ketimbang sebagai orang tua sok
pede dan sudah merasa yakin menyayangi
dan mencintai anak.
Terkadang, para orang tua memang sedikit
egois, bahkan bisa dikatakan sangat egois. Mereka bekerja pagi siang malam
tanpa kenal lelah, dengan alasan demi masa depan anak-anaknya. Tapi coba tanyakan
kepada anak-anak, apakah mereka merasakan itu semua?
Tahukah wahai ayah dan bunda, anak-anak itu
ibarat handphone (HP) yang harus
selalu diisi dayanya. Begitu juga anak-anak, yang harus diisi kasih sayangnya.
Nah, yang wajib mengisi kasih sayang pada anak – anak tentu kedua orang tuanya.
Ayah dan bunda, keduanya harus bekerja sama, agar selalu mengisi kasih sayang
pada anak.
Ingat, memberikan kasih sayang bukan hanya
tugas bunda. Ayah pun punya tugas yang sama, harus punya momen rutin mengisi
kasih sayang pada anak. Sayangnya, yang terjadi adalah, salah satu orang tua
sangat sibuk bekerja, sehingga anak kekurangan momen mendapatkan kasih
sayangnya.
Saat kekurangan kasih sayang, anak mudah
drop dan muncul berbagai persoalan. Dari mulai tidak nyaman dengan orang tuanya
sendiri, termasuk timbulnya rasa tidak percaya diri, merasa tidak diharapkan,
atau merasa terbuang. Juga persoalan lain yang kompleks.
Hal tersebut semakin parah ketika pola asuh
orang tua selalu disertai dengan amarah, ancaman, dan larangan. Jadilah kondisi
anak semakin merasa tak berguna. Anak dengan kasih sayang yang tidak utuh ini
tentu akan memiliki konsep diri kurang positif. Inilah yang menyebabkan anak
kemudian tidak memiliki kemampuan ketika menghadapi persoalan di sekolah.
Maka, ketika mendapati anak yang kurang
percaya diri, penakut, dan pemalu, hampir bisa dipastikan, anak ini tumbuh dari
pola asuh orang tua yang selalu melarang anaknya melakukan segala sesuatu.
Bahkan tak sedikit larangan itu disertai dengan amarah. Selain itu, anak yang
kurang percaya diri, penakut, dan pemalu, biasanya juga kerap mendapatkan amarah
saat apa yang dilakukannya dianggap salah.
Wahai Ayah Bunda yang bijaksana, mari
bertanya pada diri sendiri. Haruskah selalu memarahi anak? Benarkah membentuk
karakter disiplin harus dengan amarah atau emosi berlebihan? Apakah Ayah dan
Bunda ingin anak mengikuti orang tuanya karena takut? Bukankah lebih baik anak
hormat dan patuh pada orang tuanya, karena si anak merasa bahwa kedua orang
tuanya memang patut diteladani? Hanya Anda yang mampu menjawab pertanyaan
tersebut.
Untuk menetralisir itu semua, cobalah mulai
mendidik anak tanpa amarah, ancaman dan larangan. Pahamilah bahasa cinta anak,
sehingga anak benar-benar merasa dicintai dan disayangi. Silakan cari artikel
tentang 5 bahasa cinta untuk memahaminya. Perbaiki semua dengan meminta maaf
pada anak. Tentu meminta maaf dengan cara yang tulus, personal, dan muncul dari
lubuk hati paling dalam.
Tak usah malu atau gengsi meminta maaf pada
anak. Bahkan ketika anak Anda sudah dewasa sekali pun, termasuk ketika anak Anda
sudah berkeluarga. Anak tetaplah anak, sampai kapan pun. Meminta maaf pada
anak, akan membuat hati dan perasaan semakin nyaman. Dan anak akan merasa bahwa
dirinya benar-benar dicintai dan disayangi.
Jadi mulai sekarang, janganlah mencintai dan
menyayangi anak-anak Anda. Tapi pastikan mereka merasa dicintai dan disayangi.
Itu yang paling penting.
Bagaimana menurut sahabat?
Post a Comment