Selama
ini, bisnis usaha kecil menengah (UKM) selalu disanjung-sanjung bahkan dianggap
sebagai penyelamat ekonomi di kala krisis moneter. Namun nyatanya, sektor ini
pula yang kerap paling duluan dihantam badai kebijakan yang kurang
menguntungkan. Dari mulai bunga pinjaman yang tidak kecil, sampai kebijakan
lain yang ujung-ujungnya membuat pelaku usaha di sektor ini benar-benar lempar
handuk.
Terbaru,
kebijakan bagasi berbayar oleh maskapai Lion Air dan anaknya Wings Air, mau
tidak mau, suka tidak suka, jelas juga menyerang sektor ini. Adalah benar jika
maskapai tarif rendah di negara lain juga memberlakukan kebijakan yang sama.
Persoalannya,
Lion Air adalah maskapai dengan rute terbanyak, dengan harga yang selama ini
bersahabat. Kehadiran maskapai ini telah memberikan efek domino yang terus membesar
bagai bola salju.
Lion
Air telah menjadi penerbangan rakyat, yang pemerintah sendiri belum mampu
memenuhinya. Garuda Indonesia sebagai milik negara memang memiliki penerbangan
tarif rendah yakni Citilink. Namun nyatanya, harganya tidak bisa dianggap
rendah. Maka di sektor ini, pemerintah melalui perusahaan negara belum mampu
menyediakan penerbangan dengan tarif bersahabat.
Sebagai
negara kepulauan terluas, pesawat terbang tentu menjadi moda transportasi
andalan yang semestinya menjadi penopang utama pemersatu bangsa. Harus diingat
pula, ketika negara ini mulai melirik sektor pariwisata, maka sudah pasti
membutuhkan transportasi pesawat udara yang memadai.
Dengan
kehadiran Lion Air, begitu banyak komunitas backpacker,
komunitas traveling alias kelompok jalan-jalan dan mengeksplorasi kekayaan dan
keindahan negara ini. Dengan naiknya harga tiket pesawat ditambah bagasi
berbayar pula, pasti akan berimbas pada sektor pariwisata dan turunannya.
Nah,
salah satu turunan sektor pariwisata ya industri usaha kecil menengah itu.
Dengan adanya bagasi berbayar, mereka yang jalan-jalan ke Palembang, tentu akan
berpikir lagi membawa oleh-oleh pempek. Beratnya satu dus lumayan. Kalau pun
beli, pasti secukupnya.
Bedakan
dengan sebelum bagasi berbayar. Orang sengaja membawa barang secukupnya, dengan
harapan bisa membawa lebih banyak oleh-oleh, memanfaatkan kuota bagasi yang
diberikan.
Tak
hanya itu, beberapa orang bahkan memanfaatkan kuota bagasi itu untuk memberikan
jasa layanan titipan. Maka bisa dibayangkan, betapa besar efek domino yang terjadi
selama ini, ketika bagasi gratis 20 kg diberlakukan.
Sekadar
hitungan perkiraan saja, saat ini Lion Air memiliki lebih dari 350 pesawat.
Anggap saja benar-benar 350 pesawat. Jika setiap pesawat melayani 5 rute pulang
pergi, maka masing-masing burung besi itu terbang 10 kali. Itu artinya, ada 3.500
penerbangan yang dilayani Lion Air setiap hari. Kalau setiap penerbangan ada 50
penumpang saja yang beli oleh-oleh saat bepergian, maka sudah ada 175 ribu
orang yang berbelanja di sektor usaha kecil menengah.
Andai
saja masing-masing membeli oleh-oleh seharga Rp 200 ribu saja, maka setiap hari
uang yang berputar melalui penumpang pesawat Lion Air sudah mencapai Rp 35
miliar.
Betapa
sebuah jumlah yang sangat tidak sedikit untuk pertumbuhan ekonomi di sektor
ini. Padahal, hitungan tadi hanya hitungan kasar, bahkan dengan asumsi paling
rendah.
Sementara
saat ini, orang bepergian membawa barang secukupnya, ya karena menghindari
terkena tarif tambahan bagasi tadi. Maka sudah semestinya, pemerintah harus
mengkaji ulang izin bagasi berbayar yang sudah diberlakukan.
Kalau
saja maskapai milik pemerintah sudah prorakyat, oke-oke saja. Sementara saat
ini, tak sedikit rute yang mau tidak mau hanya dilayani oleh maskapai Lion Air
Grup.
Harus
ada pertimbangan pada sektor lain bahwa keberadaan bagasi itu tidak sekadar
membatasi barang bawaan, tapi lihatlah ada perputaran ekonomi yang begitu
tinggi dari sektor ini.
Yang
lebih parah lagi, hubungan kekerabatan atau silaturahim ikut terancam. Loh kok
bisa? Ya iyalah. Jika selama ini ada kerabat datang membawa oleh-oleh, kini
tidak lagi. Bagaimana kalau kerabat ini kemudian baper, dan berpikiran yang
kurang positif, dianggap pilih kasih dan sebagainya. Hanya gara-gara bagasi
berbayar lho ini. He he he..
Coba
bandingkan dengan sebelumnya. Oleh-oleh yang dibawa penumpang pesawat justru
menjadi pemersatu dan membuat suasana kekeluargaan semakin hangat. Bisa
berkumpul keluarga dengan menikmati bika Ambon, bakpia Jogja, hingga pempek
Palembang, atau amplang dari Samarinda.
Belum
lagi oleh-oleh berupa kaos, hiasan dinding, tempelan kulkas atau gantungan kunci.
Selama ini itulah yang menjadi alat pemersatu kekerabatan dan kekeluargaan.
Memang benar hadiah bukanlah segalanya. Tapi oleh-oleh itulah salah satu bentuk
bahasa cinta.
Bagaimana
menurut Anda?
Post a Comment