HYPNO NEWS

Tuesday, January 29, 2019

Bagasi Berbayar dan Silaturahmi



Selama ini, bisnis usaha kecil menengah (UKM) selalu disanjung-sanjung bahkan dianggap sebagai penyelamat ekonomi di kala krisis moneter. Namun nyatanya, sektor ini pula yang kerap paling duluan dihantam badai kebijakan yang kurang menguntungkan. Dari mulai bunga pinjaman yang tidak kecil, sampai kebijakan lain yang ujung-ujungnya membuat pelaku usaha di sektor ini benar-benar lempar handuk.




Terbaru, kebijakan bagasi berbayar oleh maskapai Lion Air dan anaknya Wings Air, mau tidak mau, suka tidak suka, jelas juga menyerang sektor ini. Adalah benar jika maskapai tarif rendah di negara lain juga memberlakukan kebijakan yang sama.

Persoalannya, Lion Air adalah maskapai dengan rute terbanyak, dengan harga yang selama ini bersahabat. Kehadiran maskapai ini telah memberikan efek domino yang terus membesar bagai bola salju.

Lion Air telah menjadi penerbangan rakyat, yang pemerintah sendiri belum mampu memenuhinya. Garuda Indonesia sebagai milik negara memang memiliki penerbangan tarif rendah yakni Citilink. Namun nyatanya, harganya tidak bisa dianggap rendah. Maka di sektor ini, pemerintah melalui perusahaan negara belum mampu menyediakan penerbangan dengan tarif bersahabat.

Sebagai negara kepulauan terluas, pesawat terbang tentu menjadi moda transportasi andalan yang semestinya menjadi penopang utama pemersatu bangsa. Harus diingat pula, ketika negara ini mulai melirik sektor pariwisata, maka sudah pasti membutuhkan transportasi pesawat udara yang memadai.

Dengan kehadiran Lion Air, begitu banyak komunitas backpacker, komunitas traveling alias kelompok jalan-jalan dan mengeksplorasi kekayaan dan keindahan negara ini. Dengan naiknya harga tiket pesawat ditambah bagasi berbayar pula, pasti akan berimbas pada sektor pariwisata dan turunannya.

Nah, salah satu turunan sektor pariwisata ya industri usaha kecil menengah itu. Dengan adanya bagasi berbayar, mereka yang jalan-jalan ke Palembang, tentu akan berpikir lagi membawa oleh-oleh pempek. Beratnya satu dus lumayan. Kalau pun beli, pasti secukupnya.

Bedakan dengan sebelum bagasi berbayar. Orang sengaja membawa barang secukupnya, dengan harapan bisa membawa lebih banyak oleh-oleh, memanfaatkan kuota bagasi yang diberikan.

Tak hanya itu, beberapa orang bahkan memanfaatkan kuota bagasi itu untuk memberikan jasa layanan titipan. Maka bisa dibayangkan, betapa besar efek domino yang terjadi selama ini, ketika bagasi gratis 20 kg diberlakukan.

Sekadar hitungan perkiraan saja, saat ini Lion Air memiliki lebih dari 350 pesawat. Anggap saja benar-benar 350 pesawat. Jika setiap pesawat melayani 5 rute pulang pergi, maka masing-masing burung besi itu terbang 10 kali. Itu artinya, ada 3.500 penerbangan yang dilayani Lion Air setiap hari. Kalau setiap penerbangan ada 50 penumpang saja yang beli oleh-oleh saat bepergian, maka sudah ada 175 ribu orang yang berbelanja di sektor usaha kecil menengah.

Andai saja masing-masing membeli oleh-oleh seharga Rp 200 ribu saja, maka setiap hari uang yang berputar melalui penumpang pesawat Lion Air sudah mencapai Rp 35 miliar.

Betapa sebuah jumlah yang sangat tidak sedikit untuk pertumbuhan ekonomi di sektor ini. Padahal, hitungan tadi hanya hitungan kasar, bahkan dengan asumsi paling rendah.

Sementara saat ini, orang bepergian membawa barang secukupnya, ya karena menghindari terkena tarif tambahan bagasi tadi. Maka sudah semestinya, pemerintah harus mengkaji ulang izin bagasi berbayar yang sudah diberlakukan.

Kalau saja maskapai milik pemerintah sudah prorakyat, oke-oke saja. Sementara saat ini, tak sedikit rute yang mau tidak mau hanya dilayani oleh maskapai Lion Air Grup.
Harus ada pertimbangan pada sektor lain bahwa keberadaan bagasi itu tidak sekadar membatasi barang bawaan, tapi lihatlah ada perputaran ekonomi yang begitu tinggi dari sektor ini.

Yang lebih parah lagi, hubungan kekerabatan atau silaturahim ikut terancam. Loh kok bisa? Ya iyalah. Jika selama ini ada kerabat datang membawa oleh-oleh, kini tidak lagi. Bagaimana kalau kerabat ini kemudian baper, dan berpikiran yang kurang positif, dianggap pilih kasih dan sebagainya. Hanya gara-gara bagasi berbayar lho ini. He he he..

Coba bandingkan dengan sebelumnya. Oleh-oleh yang dibawa penumpang pesawat justru menjadi pemersatu dan membuat suasana kekeluargaan semakin hangat. Bisa berkumpul keluarga dengan menikmati bika Ambon, bakpia Jogja, hingga pempek Palembang, atau amplang dari Samarinda.

Belum lagi oleh-oleh berupa kaos, hiasan dinding, tempelan kulkas atau gantungan kunci. Selama ini itulah yang menjadi alat pemersatu kekerabatan dan kekeluargaan. Memang benar hadiah bukanlah segalanya. Tapi oleh-oleh itulah salah satu bentuk bahasa cinta.

Bagaimana menurut Anda?       

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2014 Hipnoterapi Endro S. Efendi, CHt, CT, CPS.. Designed by OddThemes