Belum
lama ini, saya bertemu salah satu sahabat yang juga seorang jurnalis. Namun,
bukan satu perusahaan dengan saya. Karena lama tak pernah jumpa, apalagi saya
sempat cukup lama berada di daerah yang berbeda, obrolan pun akhirnya berlanjut
ke urusan anak.
“Anakku
kok susah ya dikasih tahu. Setiap
kali dikasih tahu, bukannya menurut, yang ada malah melawan,” ucap sahabat saya
ini. “Bisa ngga anakku diterapi?” tanyanya lagi, ketika belakangan dia tahu
bahwa saya juga mendalami tentang teknologi pikiran.
Saya
pun mencoba mencari informasi tentang pola asuh yang diterapkan pada anaknya. Sebagai
jurnalis, seperti yang juga pernah saya alami, sahabat saya ini saya simpulkan
kurang dalam menjalankan perannya mengisi baterai kasih sayang pada anak.
Kewajiban
seorang ayah juga harus mengisi baterai kasih sayang, tak ubahnya handphone
yang juga harus selalu diisi tenaganya ketika sudah kosong. Anak juga harus
selalu diisi kasih sayangnya tidak hanya oleh ibunya, tapi juga oleh ayahnya. Konsep
mengisi baterai kasih sayang dengan lima bahasa kasih pun saya jelaskan. Masing-masing
memberi pujian, waktu yang berkualitas, sentuhan, hadiah, dan pelayanan.
Anak
dari sahabat saya ini baru kelas 4 SD. Namun, di usia seperti ini, sudah harus
menjalani rutinitas yang padat. Selain pagi hari harus mengikuti pendidikan formal,
sore hari juga ada beberapa les yang diikuti meski dengan hari berbeda-beda.
Ada les bahasa Inggris, les menghitung cepat dengan metode tertentu, juga les menggambar.
Praktis,
anak ini kurang waktu bermain dan bersosialisasi. Meski untuk urusan antar
jemput sekolah dan les juga kerap dilakukan sahabat saya tadi, namun interaksi
selama di perjalanan juga kurang. “Ya paling-paling di mobil dia tidur,” ucap
sahabat tadi.
Saya
pun meminta sahabat saya kembali ke konsep mengisi baterai kasih sayang tadi. Anak
kekurangan kasih sayang, karena waktunya habis untuk sekolah dan les. Begitu pulang,
anak sudah kelelahan sehingga tidak ada lagi energi untuk berinteraksi dengan
keluarga dan lingkungannya.
Sikap
anak yang suka membantah dan susah diatur, hanya ‘sinyal’ bahwa anak merasa
kurang nyaman, namun tidak berani menyampaikan rasa tidak nyamannya itu. Apalagi
sahabat saya ini memang tergolong memiliki karakter yang keras pada anaknya.
Kepada
sahabat saya ini, saya menyarankan untuk melakukan beberapa hal. Pertama,
meminta maaf atas apa yang sudah pernah diperbuat kepada anaknya. Cara meminta
maaf, seperti yang selalu saya tulis, bukan seperti ketika Lebaran. Kali ini
minta maafnya harus dengan tulus, dari hati yang paling dalam, dan disampaikan
dalam suasana yang nyaman.
Setelah
meminta maaf, saya sarankan untuk menghentikan dulu semua les yang ada. “Lah,
sayang. Itu yang les menghitung sudah level tinggi,” kata dia. Semua tentu saya
kembalikan lagi kepada sahabat saya tadi. “Sayang les menghitungnya, atau
sayang masa depannya?” tanya saya kemudian.
Sebab,
tak sedikit orang tua yang terjebak dalam kamuflase pendidikan. Alih-alih ingin
anaknya berprestasi, nyatanya yang dilakukan hanya untuk mengejar prestise
orang tunya. Sementara anak kadang tertekan dan stres akibat beban yang diemban
tak sesuai dengan kapasitas usianya.
Terakhir,
saya kemudian meminta dia mengisi baterai kasih anak dengan lima bahasa kasih
tadi, plus dilakukan dengan tatapan mata yang tulus. Satu minggu berselang,
sahabat saya tadi pun menghubungi saya. Dia merasakan perubahan drastis yang
dialami anaknya.
“Iya,
ternyata selama ini anak saya stres, terlalu banyak beban. Padahal selama ini
saya tidak memaksakan, hanya menawarkan mau ikut les ini dan itu. Rupanya itu
dianggap sebagai perintah. Padahal saya tidak memaksakan,” beber sahabat saya
itu.
Dari
ujung telepon, terdengar sedikit suara tangisan karena terharu yang dirasakan
sahabat saya. “Sekarang saya jadi lebih dekat dengan anak-anak. Sesuatu yang
selama ini tidak pernah saya rasakan,” ungkapnya lagi.
Tak
terasa, mata saya pun sempat berkaca-kaca mendengar apa yang sudah dicapai
sahabat saya ini. Betapa tidak, hal yang sama, juga pernah saya rasakan. Beruntung
saya juga cepat menyadari dan memperbaiki pola asuh terhadap anak-anak.
Sahabat
semua, masa anak-anak hanya sebentar saja. Jangan sia-siakan waktu yang hanya
sebentar itu, untuk mengisi baterai kasih sayangnya dengan maksimal. Nanti ketika
anak sudah dewasa, jangan sedih jika dia tidak lagi membutuhkan Anda. Mumpung
masih kecil dan dia membutuhkan Anda, isi baterai kasih dengan sepenuh hati. Sehingga
ketika dewasa, meski anak secara fisik tidak lagi dekat dengan Anda, namun jauh
di pikiran bawah sadarnya, masih ada sosok orang tua ideal yang selalu tertanam
kuat.
Bagaimana
menurut Anda?
Post a Comment