Saat orang tua konsultasi
tentang perilaku anaknya, terkadang orang tua tersebut justru agak kesel. Kenapa?
Karena saya justru lebih banyak ‘interogasi’ tentang orang tua tersebut.
“Yang bermasalah ini anak
saya mas, kok malah saya banyak ditanya,” ujarnya protes. Untung protesnya tidak
sampai ke tahap unjuk rasa, he he.
Inilah umumnya orang tua, enggan
mengakui kesalahannya sendiri. Lebih mudah menyalahkan dan menimpakan persoalan
kepada anak. Anak jelas tidak tahu jika dia disalahkan. Namun setiap kali para
orang tua ngobrol dan diskusi, maka yang lumrah adalah menceritakan perilaku
buruk anaknya masing-masing.
Pepatah mengatakan, menepuk
air didulang, terpercik muka sendiri. Menyalahkan anak, sejatinya ya
menyalahkan diri sendiri.
“Tapi memang mendidik anak
zaman sekarang itu susah. Ngga sama dengan zaman dulu,” ujar salah satu orang
tua.
Saya tentu sependapat dan
setuju dengan kalimat itu. Dengan begitu, kalau sudah sepakat dan sependapat
dengan argument tersebut, otomatis sebagai orang tua harus berbuat lebih ekstra
di zaman sekarang, agar anak tetap terdidik dengan baik.
Itu pula yang saya alami.
Meski sudah menguasai hypnotherapy for
children secara teori dan praktik, tetap harus ekstra sabar dan ekstra
ketat, ketika harus menerapkannya kepada anak-anak di rumah. Namun poinnya
adalah perlu kerja sama yang kompak antara kedua orang tua, serta siapa saja
yang terlibat dalam pengasuhan anak tersebut.
Lantas kenapa ketika anak bermasalah,
saya justru lebih banyak bertanya soal orang tuanya? Ini ada kaitannya dengan
sinyal atau energi yang menjadi penghubung antara anak dan orang tua.
Hipnoterapis sekaligus penemu metode diet Quantum Slimming, Kristin Liu CCH pernah
membuktikan, ketika orang tua tenang, maka anak ikut tenang. Sebaliknya ketika orang
tua cemas, anak pun juga cemas.
Hal itu terjadi ketika
Kristin melakukan terapi pada anak yang dianggap punya kecemasan sangat tinggi.
Sebelum anak dilakukan terapi, kedua orang tuanya menjalani sesi konsultasi. Terungkap
bahwa kedua orang tuanya justru yang bermasalah dan memiliki kecemasan tinggi. Ruang
terapi Kristin terdapat kaca satu arah, yang bisa melihat ke arah ruang tunggu.
Namun orang di ruang tunggu tidak bisa
melihat ke dalam.
Kedua orang tua ini pun dibimbing
untuk bersikap tenang. Hasilnya, anak yang di ruang tunggu juga berperilaku
tenang. Namun ketika kedua orang tua di dalam ruang terapi mulai cemas dan saling
tegang karena adu argumen, maka anak yang menunggu di luar pun kembali terlihat
cemas.
Sahabat, energi orang tua akan
diserap langsung oleh anak. Ketika orang tua merasakan kecemasan dan
kekhawatiran luar biasa, maka anak pun akan merasakan hal yang sama. Itulah kenapa
keluarga yang rukun dan damai, penghuninya juga jauh merasa lebih tenang dan
bahagia. Sebaliknya, jika rumah tangga selalu ribut dan suka berselisih, maka
anak pun akan merasa ‘panas’ dan tidak nyaman tinggal di rumah tersebut. Aura di
dalam rumah yang negatif, tentu akan membuat penghuninya juga negatif.
Lebih jelas, dalam fisika
quantum, partikel-partikel yang entangle alias terkorelasi, akan memiliki
hubungan yang kuat antara satu partikel dengan partikel lainnya. Riset terbaru,
orang sudah bisa membuat 3 ribu partikel terkorelasi. Hasilnya, ketika sifat
satu partikel diubah, maka 2.999 partikel lain secara serentak SEKETIKA juga berubah
sifatnya.
Inilah penjelasan ilmiah,
kenapa ketika orang tua yang sabar dan tulus menyayangi anaknya, maka anak juga
berperilaku lebih baik. Sebaliknya, ketika orang tua mendidik dengan cara yang
sangat tegas tanpa toleransi, maka juga akan terbentuk anak yang keras pula
karakternya.
Penelitian ilmiah ini
sekaligus menjelaskan, betapa jalinan kasih antara orang tua dan anak sejatinya
tidak bisa dibatasi ruang dan waktu. Saat orang tua rindu dengan anaknya yang
sedang di perantauan, seketika anak juga akan merasakan hal yang sama. Padahal keduanya
terpaut jarak cukup jauh.
Penjelasan ini setidaknya
bisa menjadi tumpuan penting. Ketika ingin mengubah perilaku anak agar lebih
baik, maka sebagai orang tua, ada baiknya lebih dulu berbuat lebih baik. Bukankah
keteladanan jauh lebih utama ketimbang perintah dan arahan. Jangan harap anak
bisa tenang dan sabar, ketika orang tuanya di kehidupan sehari-hari mudah marah
dan emosi.
Bagaimana mungkin anak disuruh
rajin belajar, sementara orang tuanya tidak pernah memperlihatkan aktivitas
membaca buku atau sekadar membaca koran atau majalah. Pendek kata, utamakan
keteladanan. Dengan keteladanan, tumbuh kembang anak jelas akan lebih maksimal
dan sangat berguna untuk masa depan. Bagaimana menurut Anda?
Post a Comment