Pilkada
telah berlalu. Namun itu hanya dari sisi waktu. Faktanya di dalam pikiran para pelaku
politik, upacara demokrasi itu masih membekas. Sebagai trainer teknologi
pikiran, saya mencoba memahami proses pilkada ini dari sisi berbeda.
Berbeda
bagaimana maksudnya? Ya, bagi mereka yang terlibat politik, tidak ada yang
namanya masa lalu atau masa depan. Yang ada adalah masa sekarang. Itulah sifat
pikiran bawah sadar. Sehingga sejatinya, orang yang selalu menggunakan pikiran
bawah sadar salah satunya adalah orang politik.
Kenapa?
Karena bagi mereka yang ada hanya masa sekarang. Tidak ada istilah move on dari masa lalu, atau memikirkan
masa depan. Yang ada hanyalah sekarang. Karena keinginan tidak terpenuhi, maka
ketika kalah, tetap akan terus menuntut dan menuntut. Seandainya ada jalur bisa
menuntut ke Tuhan pun akan dilakukan.
Karena
itu tidak membawa mereka yang suka di jalur ini menuju ke arah masa depan yang
dianggap baik menurut orang umum kebanyakan. Sebagai contoh, meski pemilihan
presiden sudah selesai, nyatanya masih saja ada yang saling hujat sana - sini. Kalau
hanya sekadar mengkritik pemerintah, tentu tidak masalah. Namun yang terjadi
adalah, masih tidak rela jagoannya kalah.
Sementara
Prabowo sudah legowo dan tak lagi mempersoalkan kekalahannya, namun ini tak serta
merta diikuti pendukungnya. Akibatnya, hawa kampanye pun tetap terasa hingga
saat ini.
Itu
pula yang terjadi saat pilkada serentak beberapa waktu lalu. Bagi daerah yang
persaingannya ketat dan sengit, pikiran bawah sadar pelaku politiknya sulit dibawa
ke masa depan. Yang terjadi hanya masa sekarang dan sekarang. Karena itu, tak peduli
siapa yang dapat suara terbanyak dan sudah dipastikan menang, bagi yang pilihannya
tak sesuai keinginannya, semua dianggap salah.
Pembaca
yang budiman, dalam setiap diri manusia umumnya ada bagian diri yang suka
kompetisi dan suka menang sendiri. Jika bagian diri ini aktif, saat kalah dalam
pilkada, maka bagian diri ini masih penasaran dan tidak rela menghadapi kekalahan
itu.
Padahal
di balik perasaan ingin menang sendiri itu, saya yakin pasti ada bagian diri
yang bijaksana dan bagian ini sudah sering memberi nasihat.
Di
saat seseorang mengalami masalah, misalnya menghadapi sebuah kegagalan, sang
bijaksana akan selalu hadir memberikan nasihat dan solusi. Coba Anda duduk
tenang dan dengarkan isi hati dari sang bijaksana, pasti ada jawaban yang
menyejukkan diri.
Lantas
kenapa sang bijaksana kadang tidak muncul? Ini terjadi karena sang ego memberikan
perlawanan atas kehadiran sang bijaksana. Sehingga apa pun yang disampaikan
sang bijaksana, sama sekali tak terdengar lagi dalam nurani.
Bagi
mereka yang mampu mendengar nasihat sang bijaksana, mereka pun tenang dan berusaha
menghibur diri. Mereka mampu melihat kenyataan karena hidup harus terus berjalan.
Sementara urusan politik hanya bagian kecil yang tidak harus diberi porsi besar
dan menguras energi.
Sedangkan
bagi mereka yang tidak peduli dengan sang bijaksana, maka emosi tidak nyaman ini
akan tetap ada bahkan tersimpan hingga lima tahun yang akan datang, saat
pilkada digelar kembali.
Lantas,
kenapa saya jadi menulis soal ini. Awalnya saya memang tidak ada niat menulis
soal pilkada. Apalagi saya memang bukan pelaku dan penikmat politik. Namun tiga
hari lalu, saya kedatangan klien yang benar benar merasa terganggu dengan persoalan
pilkada ini.
Ya,
klien ini mengaku kalah taruhan sejumlah uang. Jagonya dalam pilkada di salah
satu daerah di Kaltim, tumbang. Padahal, dia sangat yakin bakal bisa menang.
Perasaan yang tidak bisa menerima kenyataan inilah yang sangat mengganggu.
Klien
ini menjadi susah tidur dan uring-uringan. Sudah lima hari terakhir klien tidak
bisa tidur nyenyak. Meski dia sebelumnya doyan taruhan untuk urusan lain,
seperti bola atau judi kartu di media maya, namun perasaan kali ini sangat
berbeda.
"Mungkin
karena saya sudah terlalu yakin menang, makanya sangat terganggu,"
imbuhnya.
Politik
memang sangat rentan mengganggu pikiran bawah sadar. Bahkan politik adalah
salah satu sumber kebocoran energi yang paling besar. Coba Anda rasakan, ketika
berbicara soal politik, apalagi jika ada saling hujat dan saling menjelekkan serta
menyalahkan, badan terasa lebih cepat lelah dan bisa stres dengan sendirinya.
Yang
parah lagi, momen untuk memikirkan keluarga pun berkurang. Padahal justru orang
terdekat inilah yang perlu pasokan energi kasih sayang setiap hari dengan tulus.
Selama pilkada, tak sedikit keluarga yang kehilangan kasih sayang itu.
Apalagi
mereka yang sangat aktif dalam proses kenduri demokrasi itu, coba diingat kembali,
berapa banyak waktu untuk keluarga yang tersita. Anak anak umumnya menjadi korban hajatan politik ini.
Tak
sedikit anak yang takut mendekati ayah atau ibunya yang aktif di politik,
karena takut jadi sasaran pelampiasan. Akibatnya mereka benar-benar menjadi korban,
dan tangki kasih sayang anak, tidak terisi dengan baik.
Bagi
yang pandai dan bijaksana, tentu bisa dengan tegas memilih serta membagi waktu.
Mereka bisa dengan cepat mengaktifkan bagian diri sebagai ayah atau ibu, saat
berada di rumah. Selama di rumah, bagian diri yang suka politik sebaiknya dinonaktifkan
sementara. Sebab kalau bagian diri yang suka politik ini selalu aktif 24 jam, kasihan
keluarga dan lingkungan sekitar yang jadi korban.
Selepas
menulis ini pun, saya merasa cukup lelah karena lebih banyak memerlukan energi,
ketimbang menulis artikel lainnya. Beruntung, sebelum menulis artikel ini, saya
sudah memohon izin pada sang bijaksana agar bisa ikut menuntun menyelesaikan tulisan
ini dengan cepat dan tepat. Bahkan sang bijaksana juga membantu merumuskan
isinya. Sang bijaksana beberapa kali mengingatkan jangan sampai tulisan ini membuat
tidak nyaman sebagian orang.
Apa
yang disampaikan sang bijaksana dalam diri saya ini hanya untuk masukan dan perenungan.
Kalau kemudian ada yang masih dianggap kurang pas, maka di sinilah saat yang
tepat untuk membimbing sang bijaksana agar terus belajar dan kembali belajar.
Agar sang bijaksana dalam diri saya, benar-benar semakin bijaksana.
Bagaimana
menurut Anda?
Post a Comment