Bulan
lalu, seorang klien menyampaikan pernah mencoba
sesi hipnoterapi dengan salah satu hipnoterapis lulusan lembaga lain. Namun ibu
ini merasa gagal masuk ke kondisi kedalaman pikiran bawah sadar.
"Hampir
satu jam saya disuruh melakukan banyak hal. Dari mulai disuruh menghitung,
sampai dipaksa merem. Namanya ngga
bisa, ya saya tetap melek," ujar
ibu ini.
Berbekal
informasi yang bertebaran di belantara maya, ibu ini pun akhirnya ‘tersesat’ ke
website yang saya kelola, dan ingin mencoba kembali menjalani sesi hipnoterapi.
Sesuai
protokol dari Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI), menghadapi
klien seperti ini saya harus dua kali lipat lebih ekstra memberikan penjelasan.
Kenapa? Karena sebelumnya sudah pernah menjalani proses hipnoterapi, namun yang
bersangkutan merasa gagal.
Padahal,
‘gagal’ di sini belum jelas. Apakah gagal menurut klien, atau memang terapisnya
gagal melakukan induksi. Karena itu, saya pun menjelaskan apa saja yang akan
dilakukan selama sesi hipnoterapi, sesuai aturan yang mengikat di AWGI.
"Nah,
di tempat sebelumnya, saya tidak pernah mendapat penjelasan seperti ini,"
sambungnya. Setelah saya berikan edukasi lebih dari 30 menit.
Dijelaskan
pula kepada klien ini, bahwa metode yang digunakan untuk membimbing klien
memasuki pikiran bawah sadar juga sangat berbeda dengan ukuran lembaga lain.
Umumnya
hipnoterapis di Indonesia, kecuali lulusan AWGI, yang menjadi patokan adalah tubuh
rileks, santai, dan nyaman. Padahal saat proses hipnoterapi tak selamanya klien
dalam keadaan santai dan rileks.
Saat
klien sudah datang dalam kondisi menangis, itu sudah trance dan mudah dilakukan dilakukan terapi. Begitu juga jika klien
datang dengan marah dan mengamuk. Juga sejatinya sudah kondisi trance. Jelas
fisik tidak rileks dan sangat aktif. Namun pikiran bawah sadar sudah terbuka lebar.
Di
AWGI memang diajarkan teknik terkini untuk bisa menembus faktor kritis seseorang.
Hasilnya sangat presisi untuk mengukur kedalaman pikiran seseorang.
Tak
heran jika beberapa kali hipnoterapis dari lembaga lain, mengajak diskusi soal
teknik induksi. Namun terpaksa saya harus kibarkan bendera putih. Saya memohon
maaf karena tidak bisa sharing soal
teknik
induksi. Dengan segala hormat, kepada rekan ini saya sarankan untuk belajar
langsung ke AWGI. Sebab, saya hanya boleh menyampaikan materi hipnoterapi dalam
bentuk seminar, bukan workshop atau pelatihan.
Bersyukur
mereka pun sangat memahami hal ini, sehingga kami kemudian lebih banyak diskusi
soal lain, bukan soal teknik. Bukankah koki juga tidak mudah dimintai resep
masakan yang dia buat? Begitu pula dengan kami.
Ini
pula yang membuat kami dengan ketat melarang orang lain ikut serta masuk ke
dalam ruang terapi, kecuali klien itu sendiri. Ada kerahasiaan klien yang harus
saya jaga. Untuk klien anak-anak, terkadang ada saja orangtua yang memaksa agar
bisa melihat proses terapi. Maka dengan segala hormat, saya minta untuk
menunggu di luar ruangan terapi. Jika tidak, maka lebih baik proses terapi
dibatalkan.
Biasanya
saya kembali menegaskan kepada kerabat atau orangtua klien yang ikut serta,
bahwa hipnoterapi yang dilakukan tidak seperti yang ada di televisi selama ini.
Harap diingat bahwa acara di televisi hanya untuk keperluan hiburan.
Sementara
di ruang terapi, sejak awal sudah ada ‘kontrak politik’, sehingga hipnoterapis
tidak bisa melakukan terapi di luar kontrak tersebut. Semua berbasis klien itu
sendiri.
Hipnoterapi
yang dilakukan hanya menggali akar masalah terkait kasus yang sudah disepakati
untuk ditangani. Saya tidak diperkenankan mengorek informasi di luar masalah
yang dikeluhkan. Jika saya melakukan ini, maka saya termasuk kategori
malapraktik, dan dianggap sebagai pelanggaran berat. Sanksinya, saya bisa di-banned oleh lembaga, dan sertifikat
praktik saya bisa dicabut permanen.
Inilah
alasan, kenapa Komisi Pemberantasan Korupsi, Jaksa atau Polisi tidak meminta
bantuan hipnoterapis untuk mengorek kejujuran para pelaku korupsi. Sebab belum
tentu para pelaku itu bersedia dihipnoterapi.
Memang,
saat proses terapi berlangsung, banyak sekali informasi menarik yang terkadang
terungkap di ruang terapi. Dari mulai perselingkuhan, pencabulan, korupsi, hingga
perilaku menyimpang dari klien tersebut. Namun perlu diingat, sebagai terapis,
saya tetap harus menjaga rahasia ini rapat-rapat, sesuai ketentuan dan kode
etik.
Jika
kemudian ada kasus yang saya share di
media sosial atau website, sebelumnya pasti saya izin pada klien bersangkutan. Share juga hanya dilakukan tentang
kasusnya, bukan jati diri klien. Identitas klien tetap harus saya simpan dalam ‘brankas’
rapat-rapat. ‘Kuncinya’ pun langsung dibuang ke ‘laut’.
Itu
sebabnya, tak perlu takut menjalani sesi hipnoterapi. Yang penting masalah
terselesaikan dengan mudah dan nyaman. Soal rahasia klien, kami punya brankas
tak terbatas untuk menyimpannya dengan baik.
Demikianlah
kenyataannya. (*)
Post a Comment