Di sebuah desa, tinggal seseorang yang
kaya dan tentu rumahnya paling mewah di antara penduduk lainnya. Karena kesibukan
mengurus usaha yang dijalankan, menjadikan orang kaya ini jarang bergaul dengan
tetangganya. Namun demikian, pria ini tetap rajin pergi ke tempat ibadah, dan
perilakunya tidak ada yang aneh, biasa-biasa aja.
Kepada para tetangganya, dia tetap
ramah dan murah senyum. Namun tidak pernah banyak bicara. Baginya, bekerja jauh
lebih penting. Tak ingin waktu banyak terbuang, kecuali untuk menjalankan
usahanya dan beribadah kepada Sang Pencipta.
Akibat perilakunya yang jarang ‘ngerumpi’,
lama-kelamaan ada saja yang iri dan dengki dengan kesuksesan pria ini. Apalagi
pengusaha tersebut tak pernah berbagi kekayaan dengan lingkungan tetangga di
sekitarnya. Mulailah berembus kabar, bahwa pengusaha ini memang pelit dan
banyak tuduhan yang diarahkan atas bisnis yang dijalankan. Ada yang menuduh
kaya dari hasil korupsi, hingga bisnis ilegal.
Meski demikian, ada juga yang
tidak percaya dengan rumor tersebut. Faktanya pria ini tetap rajin pergi ke
tempat ibadah dan tak peduli dengan omongan orang. Tetap ramah dan murah
senyum.
Namun, gunjingan semakin membesar.
Dari mulut ke mulut, kebencian pada pengusaha ini semakin membesar, hingga sama
sekali tak ada lagi yang membalas senyumannya. Setiap kali pria ini senyum,
hanya dibalas dengan sinis dan buang muka oleh tetangganya.
Sikap ini berbeda jauh dengan
salah seorang anak muda yang hidupnya jauh lebih sederhana. Namun, anak muda
ini sangat dermawan. Hampir setiap akhir pekan, anak muda ini membagikan
sembako untuk para tetangganya. Anak muda ini pun seketika tersohor di kampung
sekaligus sangat dikagumi. Sikapnya diagung-agungkan oleh semua penduduk
kampung.
Namun anak muda ini tetap tidak
sombong. Dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan penduduk di kampung itu. Dia
tetap bekerja di kota seperti biasa. Meski penduduk di desa tersebut tidak tahu
apa pekerjaannya. Yang mereka tahu, setiap akhir pekan selalu pulang ke desa
membawa serta sembako yang dibagikan ke seluruh kepala keluarga.
Hingga suatu ketika, pria kaya di
desa itu meninggal dunia. Tak ada satu pun penduduk desa yang datang dan
mengucapkan bela sungkawa. Kecuali hanya anak muda yang dermawan tadi.
Kebencian penduduk desa terhadap pengusaha ini benar-benar tak mampu diluluhkan
dengan nyawa sekalipun. Iri dengki itu sudah merasuk hingga ke tulang sumsum.
Jadilah pria kaya itu dimakamkan
dengan dihadiri kerabatnya sendiri, tanpa ada penduduk desa yang mengantarkan
jenazah ke kuburan, kecuali anak muda yang baik hati tadi.
Sepeninggal pria kaya tadi, desa tersebut
terasa ‘aneh’. Tidak ada lagi rasa iri dan kebencian. Tetapi tidak ada juga
senyum dan sapaan ramah yang selama ini selalu ada. Begitu juga dengan anak
muda yang dermawan, jarang sekali pulang ke desa itu, dan tidak pernah lagi
membagikan sembako untuk penduduk desa.
Hingga suatu ketika, anak muda
dermawan itu pulang ke desa. Mendengar kabar kepulangan anak muda ini, sebagian
besar penduduk desa pun datang ke rumah anak muda tersebut.
“Hai anak muda. Engkau ke mana
saja? Kami semua merasa kehilangan. Kenapa engkau jarang pulang ke desa ini,”
tanya salah satu penduduk desa yang selama ini dikenal sebagai tokoh di desa
itu.
“Saya baik-baik saja, Pak. Saya
sibuk bekerja di kota, sehingga jarang pulang,” kata anak muda ini tersenyum.
“Lalu, kenapa engkau tidak pernah
lagi membagikan sembako untuk kami,” tanya sang tokoh desa itu.
“Oh, soal sembako itu? Begini
bapak dan ibu sekalian. Saya tidak mungkin lagi membagikan sembako itu setiap
Minggu seperti dulu. Sebab, yang menyuruh membagikan sembako itu sudah
meninggal. Saya bekerja di perusahaan beliau di kota. Selama ini saya memang
ditugaskan untuk membagikan sembako itu,” ucap anak muda ini.
“Memangnya siapa orang itu?” tanya
penduduk desa lainnya penasaran.
“Beliau adalah penduduk desa ini. Beliau
lah yang selama ini dikenal kaya, tapi ramah dan murah senyum. Beliau tidak mau
sedekahnya diketahui orang lain, sehingga saya lah yang ditugaskan membagikan
sembako itu,” kata anak muda ini sembari tersenyum.
Mendengar jawaban itu, seketika
penduduk desa terkejut, sekaligus menyesali kebencian yang sudah diarahkan pada
pria pengusaha itu. Semua sudah terlambat. Iri dan dengki serta hasutan sudah
membuat penduduk desa ini dibelenggu energi negatif.
Sahabat, iri dengki memang terkadang
menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Coba cek perasaan Anda, bagaimana
rasa di hati ketika melihat orang lain sukses, berlimpah harta dan hidup
bahagia?
Umumnya, ada tiga response yang
muncul. Pertama ikut merasa bahagia, kedua biasa saja alias netral, dan ketiga
ada perasaan yang mengganjal atau tidak nyaman. Ingat ya, yang diperlukan
adalah jawaban yang muncul dari hati yang paling dalam. Bukan jawaban dari
mulut yang terkadang menipu atau tidak sesuai dengan nurani. Terkadang, di
mulut mengatakan ikut bahagia melihat orang lain sukses. Namun jauh di dalam
hati, ada perasaan tidak nyaman yaitu iri dengki.
Menurut pakar teknologi pikiran
ternama di Indonesia, Adi W. Gunawan, perasaan iri dan
dengki inilah yang akan menjadi penghambat dalam meraih sukses. Kenapa? Disadari
atau tidak, iri dengki ini mengandung muatan emosi negatif. Selalu sadari
perasaan di dalam hati Anda. Begitu ada perasaan tidak nyaman muncul, ganti
dengan doa agar orang itu menjadi lebih sukses lagi.
Adi W. Gunawan menyampaikan, turut merasakan kebahagiaan
dan keberhasilan orang lain, akan mengubah energi negatif di dalam diri Anda menjadi
lebih positif. Apalagi salah satu faktor utama penghambat sukses adalah
perasaan iri dan dengki yang merupakan energi negatif sangat besar. Mereka yang
suka iri dan sulit sukses itu biasanya disebut SMS. Susah Melihat orang Senang,
Senang Melihat orang Susah.
Pendiri Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology
itu menjelaskan, secara pikiran sadar semua orang pasti ingin sukses. Namun di
sisi lain, saat melihat orang sukses melebihi Anda dan Anda merasa iri dengki,
berarti Anda tidak suka atau benci dengan sukses yang diraih orang itu.
Hal ini akan memunculkan kontradiksi dalam diri. Anda
ingin sukses seperti orang itu, namun Anda juga benci atau tidak suka. Konflik
diri ini akan sangat menguras energi. Akibatnya, sukses menjadi sangat sulit
diraih karena pikiran bawah sadar (PBS) menjalankan fungsi proteksi agar Anda tidak
mengalami penderitaan karena mencapai hal yang tidak Anda sukai, yaitu sukses.
Bukankah ketika Anda iri, itu sama saja memberikan informasi kepada PBS bahwa Anda
tidak suka dengan kesuksesan?
Perbandingan kekuatan pikiran sadar (PS) dengan PBS
adalah 1 berbanding 99. Dengan demikian bila PBS tidak setuju atau menghambat
maka PS tidak akan pernah bisa menang.
Itu sebabnya, bila melihat teman atau sahabat Anda
yang berhasil mencapai kesuksesan, tambahkan dengan doa agar lebih sukses lagi
dan Anda turut bahagia atas suksesnya.
Dengan mendoakan orang lain untuk bisa lebih sukses,
maka sejatinya Anda juga telah memberikan arahan dan bimbingan pada PBS Anda
bahwa Anda ingin seperti orang itu. Tekankan kepada pikiran bawah sadar bahwa
Anda suka dengan sukses yang diraih orang itu.
Penegasan itu tentu dengan mudah akan dicatat dan
diproses pikiran basah sadar. Dengan demikian, pikiran bawah sadar akan setuju,
menerima, dan mendukung sepenuhnya arahan dan bimbingan yang diberikan. Sebab
pikiran bawah sadar tahu sukses itu adalah hal yang menyenangkan bagi Anda.
Demikianlah kenyataannya. (*)
Post a Comment