Sebuah
nasihat penting saya dapatkan dari sang guru, Adi W. Gunawan, saat bertemu di
Balikpapan, Kamis (21/4) malam. Di hari bertepatan perayaan Hari Kartini tersebut,
pendiri Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology itu menyampaikan agar orang
tua “Jangan Mencintai dan Jangan Menyayangi Anak.”
Sontak,
apa yang disampaikan pakar teknologi pikiran terkemuka di Tanah Air ini membuat
siapa pun yang mendengarnya kaget. Suasana makan malam di sebuah restoran sea
food cukup ternama di Kota Beriman ini pun sempat hening sesaat. Malam itu
selain saya, ada beberapa warga Balikpapan yang menjamu kehadiran beliau. Lantas,
kok bisa, seorang penulis lebih dari 20 buku ini menyarankan agar orang tua
tidak mencintai dan menyayangi anaknya?
Tunggu
dulu. Tentu saja apa yang disampaikan beliau itu belum selesai, alias masih
koma. Orang tua memang dilarang mencintai dan menyayangi anak. Namun yang
paling tepat adalah, pastikan bahwa anak merasa dicintai, dan merasa disayangi.
Nah, sampai di sini apakah pesan yang disampaikan beliau sudah jelas?
Sahabat,
sering kali yang terjadi, orang tua sudah merasa sangat mencintai dan sangat
menyayangi anak-anaknya. Hal itu bisa dibuktikan dalam berbagai bentuk.
Misalnya memenuhi semua kebutuhannya, termasuk untuk urusan game atau gadget
yang paling mahal sekalipun. Pendek kata, apa pun maunya anak, akan dikabulkan.
Dengan demikian, orang tua sudah merasa sangat mencintai dan menyayangi
anaknya.
Pertanyaan
berikutnya, apakah anak-anak sudah merasa dicintai atau disayangi orang tuanya?
Nah ini yang kadang memerlukan jawaban tepat. Terkadang, orang tua tidak
memiliki cukup waktu melakukan konfirmasi pada anak, apakah anaknya sudah merasa
dicintai dan merasa disayangi?
Saya
beberapa kali mendapatkan fakta di ruang praktik, beberapa anak yang katanya
bermasalah dari sisi prestasi akademik hingga kecanduan bermain game, faktanya
diakibatkan oleh anak yang merasa tidak disayangi orang tuanya.
“Saya
ingin mama dan papa tidak usah kerja, di rumah aja sama adek….,” demikian ucap
anak usia 8 tahun yang beberapa waktu lalu menjalani sesi terapi karena nilai
belajarnya melorot saat mid semester.
“Aku
pengen punya kamar di kantor ayah, supaya bisa lihat ayah tiap hari,” ungkap
bocah usia 6 tahun, yang gagap saat berbicara. Ada lagi beberapa kasus lain
yang penyebabnya mungkin dianggap sepele oleh kedua orang tuanya.
Umumnya,
anak yang kecanduan game atau menonton televisi hingga ketergantungan gadget,
penyebabnya adalah kurangnya berinteraksi dengan keluarga. Ayah sibuk bekerja,
demikian juga ibunya. Kalau pun tidak bekerja, tak sedikit ibu-ibu yang juga
bersosialisasi hingga tak sadar membuang waktu penting bersama anak-anak.
Saat
anak merasa membutuhkan kasih sayang, sejatinya orang tua yang harus
mengisinya. Berhubung anak merasa sendiri karena orang tua sibuk bekerja, maka
game, televisi maupun gadget adalah pengganti pengisi rasa kasih sayang
tersebut. Yakinlah, ketika momen kebersamaan dengan keluarga benar-benar
maksimal, anak sudah tidak memerlukan gadget lagi.
Coba
perhatikan ketika sedang di pusat perbelanjaan. Berapa banyak keluarga yang
secara fisik seolah bersama, namun sejatinya hati dan perasaannya saling
berjauhan. Ketika makan bersama, suasana hening bukan karena sedang kusyuk
makan, melainkan sibuk dengan gadget masing-masing. Jika seperti ini, jangan
harapkan anak bisa lepas dari ketergantungan gadget.
Buat
aturan, ketika sedang bersama-sama di mobil, misalnya, tidak boleh ada yang
memegang handphone. Interaksi dengan sesama anggota keluarga itu akan
meningkatkan perasaan tenang dan nyaman, sekaligus akan mengisi baterai kasih
sayang. Begitu pula ketika makan bersama, sebaiknya handphone tidak boleh
keluar. Sebaiknya ‘haram’ hukumnya ketika makan sembari memegang handphone.
Guru
saya Adi W. Gunawan sempat memberikan tips khusus. Ketika sedang makan bersama keluarga,
teman kantor, teman lama, teman reuni, hingga komunitas arisan, sebaiknya
smartphone dikumpulkan di satu tempat.
“Nanti
buat aturan khusus. Siapa yang duluan mengambil dan mengangkat telepon, dia
yang membayar semua makanannya,” ucap Adi. Mengapa, ini untuk melatih kesabaran
dan meningkatkan kesadaran untuk menghargai momen penting yang berkualitas. Dengan
cara ini, maka setiap orang bisa saling menghargai satu sama lain, yang pada
akhirnya akan saling mengisi bahasa cinta masing-masing. Dengan cara ini, praktis tidak akan lagi individu
yang merasa kesepian.
Demikianlah
kenyataannya. (*)
Post a Comment