Belum
lama ini, salah seorang orangtua murid mengadu kepada saya. “Mas, saya mulai
gelisah nih. Anak saya mendapat informasi yang kurang pas dari gurunya. Gurunya
bilang, hidup tidak boleh berlebihan. Cukup seadanya saja, karena pada akhirnya
nanti harta tidak ada yang dibawa mati. Kalau mati yang dibawa hanya selembar
kain kafan,” ujar ibu tersebut sekaligus menirukan penjelasan guru, seperti
yang disampaikan anaknya.
Loh,
rasa-rasanya, tidak ada yang salah kok dari penjelasan guru itu. Lalu apa
masalahnya?
“Masalahnya,
anak saya cara menerimanya beda. Anak-anak kan semestinya dimotivasi, agar punya
mimpi dan bisa meraih masa depannya. Lah gara-gara gurunya ngomong begitu,
sekarang kalau diajak belajar dia protes. Katanya, untuk apa belajar, toh nanti
juga mati. Kata guru ngga usah hidup kaya raya, jadi ya begini aja bu, apa
adanya,” ujarnya lagi menirukan penjelasan anaknya.
Nah,
mendengar penjelasan ini, rasa-rasanya wajar kalau orangtua kemudian gelisah. Mau
protes ke gurunya, dia khawatir akan berdampak kembali kepada anaknya ketika di
sekolah. Jadilah dia harus memberikan penjelasan ulang lebih detail.
Sahabat,
izinkan saya meninjau kisah di atas dari sisi teknologi pikiran. Saya tidak
akan mengupas terlalu jauh dulu dari sisi agama, karena memang saya bukan ulama.
Begini,
guru adalah figur otoritas bagi anak-anak. Maka, apa pun yang disampaikan guru,
akan diterima oleh anak-anak, tanpa penolakan sama sekali. Kenapa? Karena
pikiran bawah sadar anak-anak memang masih sangat mudah ditembus. Benteng pertahanan
alias critical factor-nya sangat mudah dibobol oleh figur otoritas yang ia
kagumi.
Persoalannya
adalah, usia anak-anak belum mampu mencerna sebuah pesan atau informasi secara
gamblang. Dia hanya mencerna apa yang disampaikan guru apa adanya, tanpa ada
pemikiran mendalam lagi.
Untuk
itu, akan lebih bijak jika penjelasan mengenal hal-hal seperti contoh di atas,
disampaikan lebih tepat untuk usianya. Bahwa semua orang di dunia pasti mati,
itu sudah jelas, tidak terbantahkan. Namun, bahwa anak-anak adalah usia yang
membutuhkan motivasi untuk tumbuh kembangnya, juga jangan pula diabaikan begitu
saja.
Tentu,
apa yang saya sampaikan ini juga masih bisa diperdebatkan. Bisa diterima, bisa
juga tidak. Lagi-lagi, saya hanya melihat dari perspektif teknologi pikiran.
Sebab, apa jadinya generasi anak-anak sekarang, jika tidak memiliki mimpi di
masa depannya?
Bukankah
dalam panggilan azan saja Sang Maha Pencipta sudah memberikan sinyal kepada
umatnya. “Marilah Sholat”, diikuti dengan “Marilah Menuju Kebahagiaan”, yang
bisa diterjemahkan menjadi “Marilah Menuju Kejayaan atau Kesuksesan”. Artinya, meraih sukses juga dibenarkan dan
disarankan.
Begitu
pula di Alquran di setiap ayat yang berbunyi “Dirikan Sholat”, umumnya diikuti
dengan lanjutannya “Bayarlah Zakat”. Nah, untuk bisa membayar zakat, tentu
adalah mereka yang mampu secara materi, secara finansial.
Ini
sekaligus menjadi konfirmasi, Sang Maha Pengasih memang mengajak umatnya untuk
bisa berusaha meraih keberhasilan di dunia, lebih-lebih nanti di akhirat. Tentu
tidak berlebihan jika contoh kasus di atas bisa dijadikan bahan renungan dan
bisa diambil hikmahnya.
Apa
pun hikmah yang diambil, baik positif maupun negatif, sangat bergantung pada
sudut pandang masing-masing. Saya tidak ada hak untuk membenarkan atau
menyalahkan. Sebab setiap orang, tentu memiliki penilaian masing-masing. Boleh
jadi, apa yang saya sampaikan ini pun, salah menurut orang lain.
Demikianlah
kenyataannya. (*)
Post a Comment