Setiap
kali bertemu dengan teman dan sahabat lama, pertanyaan yang meluncur dari bibir
pertama kali adalah, “kok bisa sampai belajar hipnoterapi?” Jujur, saya sendiri
terkadang bingung ketika ditanya soal ini. Sebab faktanya, saya memang tidak
pernah bercita-cita menjadi hipnoterapis. Jangankan bercita-cita, terbayang pun
tidak. Bahkan sama sekali tidak tahu jika ada profesi hipnoterapis.
Satu-satunya
cita-cita yang saya tuliskan sejak masih duduk di kelas 6 sekolah dasar adalah ‘wartawan’.
Ya, ketika teman saya yang lain menuliskan cita-cita sebagai dokter, guru,
pegawai negeri, polisi, tentara, bahkan presiden, hanya saya satu-satunya di
kelas yang menulis kata ‘wartawan’.
Impian
saya ketika itu hanya satu, ingin jalan-jalan keliling Indonesia yang katanya
sangat kaya akan sumber daya alam, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai
Pulau Rote. Bahkan kata Koes Plus, saking kayanya Indonesia sampai memiliki
kolam susu.
Menjadi
wartawan akhirnya benar-benar bisa diwujudkan. Bahkan sejak kelas 2 SMA, saya
sudah memegang kartu pers sebagai salah satu koresponden sebuah majalah bulanan
terbitan Cepu – Jawa Tengah, untuk wilayah Kalimantan Timur. Sayang kini
majalah itu hanya tinggal nama.
Hingga
akhirnya ketika berkuliah di Samarinda – Kaltim, saya memberanikan diri melamar
untuk bekerja di surat kabar harian Suara Kaltim. Harian ini pun tak bertahan
lama dan akhirnya benar-benar tidak terbit, sehingga kemudian saya hijrah ke
Kaltim Post sambil terus berkuliah.
Menjalani
profesi sebagai wartawan, praktis membuat waktu benar-benar tersita untuk
pekerjaan. Hampir 24 jam, harus berkutat dengan liputan dan membuat berita. Ketika
sudah berkeluarga dan memiliki anak, rutinitas ini pun tak banyak berkurang.
Waktu benar-benar banyak didedikasikan untuk pekerjaan jurnalistik. Apalagi
ketika mendapat amanah untuk mendirikan surat kabar Berau Post di Berau, saya
pun benar-benar harus total dan membuktikan mampu mewujudkan impian perusahaan
tersebut.
Puncaknya,
setelah menjadi wartawan selama 15 tahun, dihitung sejak SMA hingga pertengahan
2014, ternyata ada sesuatu yang kurang nyaman di hati. Apa itu? Interaksi
dengan keluarga ternyata sangat kurang. Alih-alih bekerja maksimal untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, yang terjadi malah terasa jauh dengan keluarga.
Beruntung,
kesadaran ini muncul. Saya pun rajin berselancar di dunia maya untuk membaca
artikel-artikel inspiratif dan memotivasi diri, sekaligus mencari solusi atas
perasaan yang muncul pada saat itu. Hingga akhirnya saya terdampar di situs www.adiwgunawan.com yang kini menjadi
guru saya. Banyak artikel menarik dari beliau, Adi W. Gunawan, hingga menggugah
kesadaran diri untuk berubah lebih baik.
Saya
pun sebenarnya tidak asing dengan pemilik situs ini. Sebab beberapa tahun
sebelumnya, ketika masih liputan di desk pendidikan, saya pernah mendapat tugas
meliput beliau yang memberikan pelatihan pada para guru PG/TK Budi Bakti
Samarinda. Saya pun mencoba mengikuti fanspage facebook Adi W. Gunawan. Dengan
cara itu, saya pun semakin mudah menyimak artikel-artikel baru yang ia tulis.
Merasa
kurang puas hanya dengan membaca tulisan, saya merasa tertarik dengan workshop
Quantum Life Transformation (QLT) yang dibuat Adi W. Gunawan untuk mengubah
diri sendiri menjadi lebih baik. Saya mengetahui workshop ini melalui lamannya
itu.
Cukup
lama saya bersusah payah menabung untuk bisa ikut workshop yang menurut saya
harganya cukup lumayan. Bahkan biaya workshopnya lebih mahal ketimbang gaji
yang saya terima setiap bulan sebagai wartawan.
Tekad
sudah bulat, keinginan sudah kuat. Medio Desember 2014, akhirnya saya
benar-benar mewujudkan impian mengikuti workshop ini. Workshop selama 4 hari 3 malam
yang digelar di Hotel Royal Senyiur, Tretes – Pasuruan – Jawa Timur ini benar-benar
mengubah hidup saya. Pola pikir saya benar-benar di-install ulang. Ibarat komputer, workshop itu seolah melakukan defragment pada pikiran bawah sadar saya
sehingga bisa dengan mudah membuang file-file yang tidak perlu dan mengganggu
proses kehidupan sehari-hari.
Sepulang
mengikuti workshop itu, saya pun selalu bercerita tentang perubahan yang saya
alami kepada siapa saja. Baik teman, sahabat, hingga keluarga besar. Ternyata,
keluarga besar memberikan dukungan yang luar biasa. Apalagi, teknik yang
diberikan selama workshop, ternyata juga bisa dibantu untuk mengatasi beberapa
persoalan yang dialami teman, sahabat, juga kerabat dan keluarga.
Inilah
yang kemudian membuat keluarga besar di Samarinda memberikan dorongan untuk
terus mendalami ilmu teknologi pikiran ini. Tak hanya istri, rekan dan sahabat
yang sebelumnya saya ajak diskusi pun memberikan dukungan maksimal.
Alhasil,
dorongan inilah yang memperkuat tekad saya untuk belajar lebih serius dengan
bergabung di kelas Scientific EEG &
Clinical Hypnotherapy (SECH) Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology.
Pendidikan selama 100 jam dengan durasi selama 3 bulan itu akhirnya benar-benar
berhasil saya tuntaskan.
Setelah
mendalami ilmu ini, ternyata ada kebahagiaan tersendiri ketika berhasil
membantu orang lain lepas dari berbagai persoalan terkait pikiran. Dari mulai
rasa takut, cemas, dan psikosomatis, hingga persoalan fobia bahkan penyimpangan
perilaku seks. Rasa bahagia ini hampir sama ketika saya jadi wartawan kemudian tulisan
yang saya buat diterbitkan sebagai headline halaman utama di Jawa Pos, induk
dari Kaltim Post.
Entah
sampai kapan saya akan menekuni profesi hipnjoterapis ini. Yang jelas, ada
kebahagiaan yang saya dapatkan saat bisa membantu orang lain. Perasaan bahagia
itu pula yang sampai sekarang saya rasakan ketika menulis dan masih berkutat di
dunia jurnalistik.
Ibarat
mendaki gunung, saya sudah berhasil mendaki gunung bernama ‘jurnalistik’ dan
sudah mencapai puncaknya. Menjadi direktur Berau Post, wakil pemimpin redaksi
Kaltim Post serta ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim, ibarat sudah
berada di puncak gunung jurnalistik itu.
Seperti
halnya para pendaki gunung, tentu tidak ada yang ingin berlama-lama berada di
puncak. Kenapa? Karena areal di puncak tentu terbatas dan lama-lama akan
terjebak dengan perasaan jenuh. Sebelum perasaan jenuh itu hadir, saya
memutuskan untuk segera turun, dan kini memilih gunung baru untuk didaki yakni
gunung hipnoterapi. Saya tidak tahu, seperti apa puncak gunung hipnoterapi itu.
Yang jelas, saya sedang mendakinya dengan tenang dan nyaman.
Pengalaman
ketika mendaki gunung jurnalistik, tentu sangat bermanfaat untuk mendaki gunung
ini. Tentunya, gunung jurnalistik masih bisa dinikmati dan dirasakan
kebahagiaannya sampai sekarang, sehingga ikut memudahkan proses pendakian
menuju puncak gunung hipnoterapi.
Tidak
ada yang namanya pendaki gunung ulung, jika hanya bisa menaklukkan satu gunung
saja. Keberhasilan menaklukkan setiap gunung itulah yang membuat seseorang
dianggap sebagai pendaki yang ulung.
Semoga
belantara gunung hipnoterapi ini bisa berhasil saya lalui dengan mudah dan
nyaman. Demikianlah kenyataannya. (*)
Post a Comment