Semua
bisnis, sedang berat. Ibarat tinju, pengusaha kini sedang terkena pukulan yang
bikin bonyok. Namun, bisnis kali ini pukulannya lebih berat dibandingkan
tinjunya Muhammad Ali atau Mike Tyson. Tak sedikit yang benar-benar melambaikan
tangan ke kamera, mengibarkan bendera putih, dan lempar handuk. Pendek kata,
dunia seolah gelap, kiamat benar-benar sudah di depan mata.
Separah
itu kah kondisinya? Nyatanya memang demikian. Ironisnya, di tengah kondisi yang
sulit bagi para pengusaha itu, masih ada saja buruh yang unjuk rasa menuntut
tambahan ini dan itu. Padahal, dalam kondisi saat ini, bisa tetap bertahan saja
sudah untung. Masih bisa bekerja saja harus bersyukur. Jangankan berharap
tambahan gaji, untuk bisa mempertahankan karyawan saja ibarat mencari jarum
dalam jerami.
Ketika
pengusaha sulit, sudah pasti kondisi buruh pasti lebih sulit. Namun, jika para
pekerja tidak membantu lepas dari kesulitan ini, bagaimana kondisi bisa
berubah? Tentu tulisan ini akan memantik pro dan kontra. Tidak apa-apa. Sebagai
sebuah gagasan, saya pun harus menyampaikan apa adanya.
Satu
hal yang umumnya dilupakan saat bekerja adalah, para pekerja selalu merasa
bahwa dirinya hanya sebatas buruk, hanya sebatas objek penderita, hanya sebatas
bekerja dan mendapat gaji. Padahal, yang tepat adalah, ketika bekerja, sadari
sepenuhnya bahwa bekerja itu adalah masuk dalam satu bagian atau sistem yang
tidak terlepas dari satu sama lain.
Seperti
halnya mobil, bayangkan kalau semua tidak menjalankan sistemnya. Andai kata
pentil ban yang harganya hanya beberapa itu tidak ada, yakinlah mobil semahal
apa pun, tidak akan bisa jalan. Nah, di sini, pentil menyadari bahwa dia juga
bagian penting di sebuah mobil. Maka dia pun bekerja maksimal sehingga mobil
tetap berjalan dengan baik.
Begitu
juga saat bekerja. Di mana pun posisi Anda, laksanakan tugas dan fungsi dengan
baik. Maka itulah bentuk dukungan yang tepat. Kalau sudah dilakukan, maka
yakinlah akan ada penambahan rezeki. Karena rezeki itu datang karena pekerjaan
yang sudah dilakukan, bukan atas permintaan. Bukankah di Alquran pun
disebutkan, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka
mengubah apa yang ada di dalam dirinya.” Artinya, ubahlah diri menjadi manusia
berkualitas. Sebagai pekerja, bekerja berkualitas. Sebagai apa pun peranannya,
lakukan dengan berkualitas.
Lalu
bagaimana jika Anda sudah bekerja sangat maksimal namun yang didapatkan tidak
sebanding? Silakan cek perasaan Anda. Kalau masih nyaman saja, tetap lakukan
yang terbaik, bahkan kalau bisa ditingkatkan. Kalau perasaan tidak nyaman,
silakan cari tempat bekerja lain yang lebih baik. Jika Anda sudah yakin
memiliki kemampuan yang mumpuni, jelas tidak akan takut kehilangan pekerjaan
dan akan mudah diterima di mana saja.
Saya
memang sangat beruntung, bekerja di Kaltim Post Group. Ada sosok Dahlan Iskan
plus Zainal Muttaqin yang menjadi atasan sekaligus guru dalam memberikan contoh
bagaimana bekerja dengan baik. Zainal Muttaqin, Chairman Kaltim Post Group
pernah menyampaikan, pekerja yang baik akan menghasilkan pemimpin yang baik. Artinya
apa? Jika Anda ingin dipimpin oleh atasan yang baik, maka mulailah bekerja
dengan baik dari diri sendiri. Dari sini, maka saya tetap yakin dengan prinsip,
“untuk bisa berubah, maka ubahlah diri sendiri. Setelah diri sendiri berubah,
maka lingkungan akan mengikuti.”
Lantas
bagaimana sikap karyawan menghadapi masa sulit ini? Pilihan yang biasanya
dilakukan pengusaha adalah efisiensi. Bentuk efisiensi itu salah satunya dengan
pengurangan karyawan. Nah, sudah jelas karyawan yang dipertahankan adalah yang
memiliki nilai (value) plus. Jika karyawan bekerja biasa-biasa saja, otomatis
mudah dilirik untuk diberikan ‘surat cerai’ dari perusahaan. Maka, pilihannya
jelas, kerja keras dan cerdas, harus dikombinasikan agar nilai yang dimiliki
semakin maksimal.
Jika
karyawan biasa-biasa saja menghadapi kondisi ini, maka boleh jadi pekerja benar-benar
tidak ingin masuk dalam sebuah sistem tadi. Ingin lepas tangan dan tidak mau tahu
dengan kondisi yang ada. Mari ubah kondisi ini, sekali lagi, dengan bekerja dua
kali lipat lebih maksimal. Kalau perlu, lebih lagi. Usahakan bekerja tanpa
kesalahan. Di tengah persaingan, sementara dihadapi dengan santai saja, wajar
kalau tergilas mesin perubahan.
Bahkan,
bos saya Zainal Muttaqin menyampaikan, jika suatu saat perusahaan mendapat
prestasi terbaik, harus dicek dulu bagaimana pesaingnya? Kalau pesaing kerjanya
biasa-biasa saja, maka tidak boleh bangga dulu. “Senang boleh, tapi jangan
bangga dulu,” katanya.
Bangga
baru bisa dilakukan, setelah terbukti pesaing ternyata juga melakukan berbagai
usaha yang maksimal. Artinya, keberhasilan itu didapatkan benar-benar dengan
kerja keras dan kerja cerdas. Bukan berhasil karena yang pesaing lainnya
malas-malasan.
Jika
seseorang sudah terlatih mengahadapi persaingan seperti ini, maka dipastikan
akan melahirkan kualitas individu yang sangat mumpuni. Berikutnya, maka
perusahaan akan semakin maksimal dalam meraih apa yang diharapkan.
Ini
pula yang perlu dilakukan dalam membangun sebuah kota. Samarinda misalnya, bisa
lebih baik jika warganya juga ikut bekerja keras dan bekerja cerdas mewujudkan
kota yang terbaik. Kalau hanya mengkritik dan menyumpahi wali kota, dijamin
kota ini ya tidak akan maksimal. Kenapa? Karena energi warga kota hanya habis
untuk mencela dan mencaci-maki. Bagaimana kalau energi itu dialihkan untuk
bergerak bersama menata kota, maka Samarinda akan benar-benar menjadi Kota
Tepian sesuai semboyannya.
Kerja
keras memang sulit dan capek. Namun, di tengah kondisi saat ini, mutlak
diperlukan. Satu lagi, semua ini juga harus diawali dengan impian. Maka, mulai
saat ini, set impian Anda. Apa saja yang ingin dicapai, dan bereskan semua
hambatan dari dalam diri. Jika ini sudah dilakukan, maka bekerja baik, bekerja
keras, sekaligus bekerja cerdas, akan mudah dilakukan. Jika semua penduduk di
Tanah Air sudah melakukan ini, mustahil rasanya Indonesia tidak lepas dari
badai krisis.
Bagaimana
menurut Anda?
Post a Comment