Minggu (9/10) tadi, saya mendapat undangan untuk
mengisi Seminar Pengembangan Diri Berbasis Teknologi Pikiran ‘Quantum Life
Transformation’, di Kota Tanjung, Kabupaten Tabalong – Kalimantan Selatan.
Awalnya, agak ragu menerima undangan ini, mengingat kota ini jaraknya terbilang
nanggung. Terlihat dekat, tapi nyatanya jarak tempuhnya sedikit sulit. Dianggap
jauh, faktanya masih satu pulau, sama-sama di Kalimantan.
Namun, melihat semangat kawan-kawan Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Tabalong, terutama penggagas seminar ini,
Lyanta Laras Putri yang kemudian menjadi ketua panitia, saya pun luluh.
Sempat agak ragu. Moda transportasi apa yang digunakan
untuk menjangkau kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Paser, Kaltim ini.
Ingin bawa mobil sendiri, nyatanya si roda empat yang selama ini setia
menemani, masih dalam perbaikan di bengkel karena mengalami insiden beberapa
waktu lalu. Ingin naik bus umum, dipastikan sampai di Tanjung tengah malam. Ini
berarti saya tak punya banyak waktu untuk istirahat atau sekadar mempersiapkan
diri. Pilihannya kemudian naik pesawat udara dari Balikpapan ke Banjarmasin
(Banjarbaru).
Sebenarnya naik pesawat ini pun tidaklah dekat. Dari
Samarinda, saya keluar rumah pukul 03.00 Wita dini hari menuju Bandara
Sepinggan Balikpapan menggunakan travel. Selanjutnya, ikut penerbangan paling
pertama ke Banjarmasin, pukul 07.15 Wita. Sampai di Banjarbaru, pukul 09.30.
Dari kota ini, saya harus menumpang kendaraan travel lagi ke Tanjung. Tepat pukul
11.30 mobil travel Avanza yang ditumpangi mulai bergerak ke Tanjung, yang
sebenarnya kembali ke arah Kaltim.
Beberapa kota dilalui dari mulai Martapura, Barabai,
Kandangan, Rantau, hingga Tanjung. Mobil yang saya tumpangi sempat singgah
sebentar di Warung Pinang dengan sajian Soto Banjar yang khas dan rasanya
ciamik. Tepat pukul 18.00 Wita, akhirnya saya tiba Hotel Aston Tanjung. Ini
satu-satunya hotel bintang tiga yang ada di kota ini. Itu berarti, dihitung
dari mulai keluar rumah, total 15 jam saya harus berada di perjalanan.
Istirahat sejenak, malam harinya saya diajak makan
malam bersama kawan-kawan panitia. Hujan tampaknya merata di seluruh
Kalimantan, termasuk Tanjung. Sebab sejak saya beranjak dari Samarinda juga
sepanjang perjalanan hujan terus mengguyur. Saya sempat diajak kawan-kawan
untuk keliling Kota Tanjung ini. Apa daya, keindahan kota di malam Minggu itu
terhalang guyuran hujan.
Café Pinochio menjadi tempat makan malam. Menunya beragam,
perpaduan masakan Asia dan Eropa. Untuk menghangatkan badan saya memilih
Kwetiau Ayam Lada Hitam. Begitu makanannya keluar, ternyata cara penyajiannya
unik sekali. Piringnya menggunakan sebuah wajan kecil.
Rasanya juga bikin
ketagihan. Suasana dingin itu pun menjadi cukup hangat dengan obrolan ringan
yang langsung akrab. Padahal, baru kali ini mengenal kawan-kawan panitia ini.
Sebelum beranjak untuk istirahat, sejenak meninjau
lokasi acara. Pendopo Tanjung Bersinar yang menjadi satu dengan komplek Rumah
Dinas Bupati Tabalong itu bangunannya khas dengan atap sangat tinggi. Bangunan
khas rumah adat Kalsel yang disebut Baanjung ini cukup luas, dan menjadi lokasi
utama acara-acara pemerintahan. Di depannya juga terdapat lapangan yang cukup
untuk peringatan atau upacara hari besar tertentu. Selebihnya, kawasan ini
sangat bersih dan nyaman dipandang.
Pagi harinya, hujan kembali mengguyur kota yang
penghidupan utamanya dari tambang batubara PKP2B yang dikuasai PT Adaro ini. “Pak,
pagi ini perasaan saya berbeda. Walaupun hujan, saya merasa biasa saja, ngga
khawatir. Tidak hujan pun, kalau orang ngga mau hadir, ya tidak akan hadir kan
pak?” pesan sang ketua panitia masuk ke ponsel saya. Rupanya diskusi saat makan
malam tentang pola pikir sudah merasuk ke pikiran bawah sadarnya.
Nyatanya benar. Meski hujan, peserta seminar tetap
datang dan antusias. Apalagi, menurut saya ini seminar yang sangat murah. Panitia
hanya mematok kontribusi peserta Rp 30 ribu. Itu sudah termasuk dua kali makanan
ringan, serta satu kali makan berat. Ditambah dengan seminar kit, plus balon
gas yang digunakan untuk melepas impian. Rupanya, panitia lebih banyak mendapat
dukungan dari sponsor. Itu terlihat dari banyaknya logo sponsor di backdrop
seminar yang terpasang di depan panggung.
Begitu slide presentasi mulai dipaparkan, antusiasme peserta
semakin terlihat. Apalagi, menurut pihak panitia, seminar berbasis terapi
seperti ini, memang belum pernah digelar di Tanjung. Tak heran jika peserta pun
datang dari daerah tetangga, seperti Amuntai yang jaraknya hampir 50 kilometer.
Tak hanya pelajar dan mahasiswa, pegawai negeri dan beberapa pekerja swasta
menjadi satu menyimak materi ini.
Beberapa teknik pun diberikan dan diajarkan agar bisa dipraktikkan
oleh peserta sendiri nantinya. Sebagai contoh, seorang ibu yang takut dengan
cicak, dibantu untuk mengatasi fobianya. Hasilnya, dengan sekali membaca skrip
yang diberikan, level ketakutannya langsung turun di angka nol. Dia pun merasa
berani dan badannya terasa hangat. “Biasanya badan saya langsung dingin dan
ketakutan mendengar kata cicak,” katanya. Begitu juga peserta yang takut dengan
kucing, juga dibantu dengan mudah untuk mengatasi rasa takut itu.
Makin penasaran dengan kekuatan pikiran, peserta pun
saya ajak untuk merasakan kekuatan sugesti. Dari mulai jari lengket, hingga
peserta yang namanya hilang dan tidak mampu lagi menyebutkan namanya sendiri.
Saya juga memperlihatkan fenomena seseorang yang sedang dalam kondisi hypnosis.
Seorang peserta, dengan induksi cepat, langsung saya bawa ke kedalaman pikiran
bawah sadar. Tangannya langsung kaku (katarsis). Tak hanya itu, dengan sugesti
pula, dia mampu melihat artis pujaannya Nike Ardilla. Saat buka mata, dengan
yakin dia menunjuk peserta lain di hadapannya sebagai Nike Ardilla.
Usai sesi istirahat, peserta juga diajak untuk
merasakan relaksasi pikiran. Meski hanya 17 menit, peserta mengaku merasa
nyaman dan segar, seperti baru bangun tidur yang cukup panjang. Saat relaksasi
inilah, peserta juga dipandu untuk membuang semua perasaan tidak nyaman, serta hal-hal
negatif dalam dirinya. Inilah yang membuat peserta merasa sangat lega dan
plong.
Usai relaksasi inilah, peserta kemudian dibimbing untuk
menuliskan impiannya yang personal dan bermakna, yang nantinya diterbangkan
dengan balon gas.
Wajah-wajah yang semangat dan antusias terlihat ketika
proses pelepasan balon. Tak ketinggalan, saya pun menulis beberapa impian
jangka pendek yang ikut saya terbangkan.
Cuaca yang sudah cerah sore itu, sangat mendukung
dengan dengan cepat, balon gas yang dilepas puluhan peserta seminar itu terbang
tinggi, setinggi harapan dan impian semua peserta.
Lelah selama perjalanan, tak lagi terasa melihat
wajah-wajah peserta seminar yang memiliki pola pikir berbeda dari sebelumnya. Semoga
saja antusiasme itu terus terjaga dan semua impian yang sudah diterbangkan bisa
terealisasi, tentunya dengan izin Sang Maha Pencipta.
Ya, perjalanan panjang kembali ke Samarinda harus
dilalui lagi. Namun, sebelum itu, saya diajak santap kuliner khas Tabalong
yakni Paliat di Rumah Makan Paliat, tak jauh dari terminal kota ini. Paliat ini
berasal dari kata ‘kelapa’ dan ‘liat’ alias lekat atau kental. Bisa
dibayangkan, masakan ini kuahnya berupa santan yang sangat kental. Namun,
diyakini mengandung kolesterol rendah karena proses masaknya dipadukan dengan
limau kuit alias jeruk protol. Selain itu, ada juga unsur kunyit yang cukup terasa.
“Belum ke Tabalong sebelum makan paliat,” ucap
Reynaldi, ketua KNPI Tabalong yang menjamu saya. Ternyata benar, sebuah udang
galah yang cukup besar, rasanya benar-benar nendang dengan kuah paliat dan
sambalnya yang sedikit asam.
Usai makan malam, menunggu waktu sebelum dijemput
kendaraan travel, saya dibawa ke lokasi Masjid Islamic Centre. Masjid seharga
Rp 51 miliar yang pembangunannya murni bantuan perusahaan tambang setempat PT
Adaro ini bangunannya unik dan futuristic. Bangunan dengan atap kubah terbalik,
sekilas menyerupai stasiun luar angka di film Star Trek.
Minggu (9/10) malam saya akhirnya benar-benar
meninggalkan Tanjung menuju Bandara Sjamsudin Noor Banjarbaru. Tepat pukul
23.00 Wita, mobil travel menjemput. Sebuah keluarga baru, kawan-kawan pemuda
Tanjung melepas dengan lambaian tangan seiring bergeraknya mobil Toyota Hiace
yang saya tumpangi.
Jalanan yang lurus dan mulus, membuat mobil ini melaju
rata-rata 100 km per jam. Sempat istirahat sejenak di Kandangan untuk makan, mobil
travel ini akhirnya tiba di Banjarbaru pukul 04.00 Wita dini hari. Meski baru
pukul 04.00 Wita dini hari, kesibukan di bandara ini sudah sangat terasa.
Banyak penerbangan mulai pukul 06.00 Wita, termasuk Wings Air yang saya
tumpangi ke Balikpapan. Tepat pukul 06.15 Wita pesawat bertolak ke Balikpapan
dan sudah sampai di Balikpapan 07.30.
Perjalanan pun berlanjut pulang ke Samarinda, dan
sampai rumah pukul 11.00 Wita. Praktis 12 jam waktu diperlukan dari Tanjung
menuju Samarinda. Total 27 jam yang diperlukan untuk ke Tanjung dan kembali ke
Samarinda. Sangat lelah, namun sungguh kelelahan itu tak lagi terasa, berganti
perasaan yang membahagiakan karena semangat panitia dan semua peserta seminar.
Semoga materi yang diberikan bisa diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari dan mampu membawa perubahan ke arah lebih baik. Sebab,
sukses bukanlah tujuan. Sukses adalah perjalanan, dan nikmati saja
perjalanannya dengan nyaman dan menyenangkan.
Demikianlah kenyataannya. (*)
Post a Comment