Perlahan
namun pasti, sebagai terapi komplementer, hipnoterapi semakin dikenal dan
semakin dibutuhkan oleh publik. Kalangan dokter dan psikolog klinis pun mulai
mengakui efektivitas hipnoterapi dalam membantu mengatasi masalah psikosomatis,
alias sakit yang disebabkan oleh pikiran.
Di
Samarinda misalnya, ada beberapa dokter yang sudah rutin mengalihkan pasiennya
untuk menjalani sesi hipnoterapi. Tentu pasien ini sebelumnya sudah menjalani
serangkaian pemeriksaan medis, termasuk cek laboratorium.
Setelah
semua kondisi dinyatakan aman dan klir secara medis, namun pasien tetap merasa
tidak nyaman atau merasa sakit di tubuh fisik tertentu, maka kemungkinan besar
pasien mengalami psikosomatis.
Ada
pula dokter yang tetap membantu menangani pasiennya secara medis, namun
sekaligus menyarankan menjalani hipnoterapi, agar pasien bisa menjalani semua
proses pengobatan lebih tenang dan nyaman.
Namun,
tahukah Anda bahwa ada empat hal yang harus dibayar oleh seseorang yang akan
menjalani sesi hipnoterapi. Apa saja empat hal itu?
Pertama, waktu. Untuk menjalani
sesi hipnoterapi, baik klien maupun terapis harus meluangkan waktu khusus.
Proses terapi dalam kondisi hipnosis memerlukan waktu yang umumnya tidak singkat.
Perlu waktu antara 1 sampai 2 jam, bahkan bisa lebih, saat proses terapi
dilakukan.
Beberapa
waktu lalu misalnya, saat membantu klien yang mengalami kendala dalam menaikkan
berat badannya, perlu waktu hingga 4 jam terapi. Begitu pula saat membantu klien
yang memiliki orientasi homoseksual dan ingin kembali normal, memerlukan waktu
hingga 5 jam.
Tentu,
lamanya waktu terapi bergantung dari tumpukan masalah yang dimiliki klien.
Sebab bisa saja, satu masalah, tapi akar penyebabnya banyak dan berlapis, seperti
lapisan kulit bawang. Namun, ada pula yang merasa masalahnya banyak dan
bertumpuk, namun penyebab masalahnya hanya satu saja. Jika penyebabnya hanya
satu, maka proses terapi biasanya lebih cepat.
Seperti
ketika membantu klien mengatasi masalah suka sesama, ternyata butuh waktu hanya
sekitar 1 jam. Akar masalah yang ditemukan sangat simpel, yakni ketika klien
usia 7 tahun, dikejar-kejar mamanya untuk potong rambut. Padahal, sebagai
perempuan, klien sangat suka dengan rambut panjangnya.
Kedua, upaya. Upaya, adalah apa
pun yang sudah dilakukan klien untuk bisa lepas dari masalahnya. Selalu ada
saja klien yang tidak langsung memutuskan menjalani hipnoterapi. Dia berupaya
mencari informasi dulu, menambah referensi dan wawasan, hingga akhirnya yakin
mendatangi hipnoterapis.
Bahkan
beberapa klien ada yang memutuskan menjalani hipnoterapi, setelah maju mundur
selama 1 tahun. Selama satu tahun itu, dia berupaya mencari pengobatan
alternatif. Namun tak juga ketemu. Setelah semuanya mentok dan buntu, biasanya
hipnoterapi menjadi alternatif ke sekian, bahkan bisa dianggap pilihan paling
buncit.
Seperti
beberapa waktu lalu, ada klien seorang wanita yang mengalami vaginismus. Sudah
sejak setahun sebelumnya ingin mencoba hipnoterapi, tapi takut dan khawatir.
Apalagi selama ini informasi tentang hipnoterapi lebih cenderung negatif akibat
tayangan di televisi.
Setelah
hampir 3 tahun mengalami vaginismus dan putus asa, apalagi suaminya sudah
mengancam berpisah jika tidak bisa berhubungan layaknya suami-istri, akhirnya
memberanikan diri menjalani terapi dalam kondisi hipnosis.
Hasilnya
memang diketahui ada beberapa penyebab atau akar masalah, yang membuat wanita
ini sangat ketakutan saat akan melayani suaminya.
Ketiga, materi. Materi alias ada
professional fee atau tarif yang harus dibayar. Menjadi hipnoterapis
profesional, tentu memerlukan investasi dan waktu belajar yang tidak sedikit.
Sama halnya dokter atau psikolog, yang harus menjalani pendidikan secara
khusus. Hipnoterapis juga demikian.
Di
Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, tempat saya belajar, kurikulumnya
disusun secara sistematis untuk menciptakan hipnoterapis yang cakap dan andal.
Melalui kelas 100 jam, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH),
kurikulum yang disusun itu sesuai dengan standar American Council of Hypnotist
Examiners (ACHE) Amerika Serikat. Bahkan kini, standarnya ditingkatkan lagi
menjadi 110 jam.
Saya
pun, meski sudah lulus pendidikan 100 jam, belum lama ini, kembali mengikuti
kelas re-seat alias mengikuti ulang semua materi untuk pengayaan dan
peningkatan pemahaman atas semua materi yang sudah dipelajari selama ini.
Hasilnya, proses terapi yang dilakukan bisa semakin efektif dan presisi dalam
menjangkau akar masalah untuk kemudian mencabutnya.
Untuk
itu, adalah wajar jika hipnoterapis menerima fee atas jasa terapi yang sudah
dilakukan. Soal mahal atau tidak fee yang diberlakukan, tentu ini relatif,
bergantung sudut pandang masing-masing orang.
Saat
klien berhasil dibantu mengatasi masalahnya, tentu berapa pun biaya yang sudah
dikeluarkan, menjadi tidak berarti. Namun bagi klien yang belum berhasil, meski
gratis sekalipun, tetap merasa rugi, yakni rugi membuang-buang waktu percuma.
Sekali lagi, semua bergantung dari sudut pandang masing-masing.
Terakhir
yang keempat, perasaan. Maksudnya adalah, perasaan apa pun yang muncul saat
proses terapi, sebaiknya dikeluarkan semuanya. Tak sedikit klien masih merasa
ragu dan malu saat proses terapi. Hal ini jelas membuat proses terapi menjadi
kurang lancar dan proses pencarian akar masalah sedikit terhambat. Karena itu,
pastikan pasrah dan ikhlas menjalani prosesnya, sehingga bisa benar-benar
dibantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
Demikianlah
kenyataannya. (*)
Simak
informasi lainnya seputar teknologi pikiran di www.endrosefendi.com
Post a Comment