Satu minggu
yang lalu, saya jumpa sahabat lama. Tak sengaja, saya melihatnya berjalan kaki
melintasi kantor sekretariat organisasi yang saya pimpin. Sempat takut salah
orang, namun tetap saya tegur. Ternyata benar, dia adalah teman satu angkatan ketika
kuliah. Sempat lama tak terdengar kabarnya karena katanya merantau ke luar
Kaltim dan menjalankan sebuah bisnis.
“Usahaku
hancur. Aku harus mulai dari nol lagi. Ini pun rasanya berat sekali. Setiap
kali mau usaha, rasanya malas. Ada yang mengganjal,” kata wanita berhijab ini.
Mau tidak mau, dia memang harus mencari nafkah. Selain dirinya, ada satu buah
hatinya yang harus diurusi. Sudah lebih 5 tahun dia berpisah dari suaminya,
sehingga mau tidak mau harus berusaha untuk menyambung hidupnya.
Lantas apa
yang membuatnya mengganjal? “Rasanya masih kesal dengan mantan suami. Setiap mendengar
namanya, badan rasanya langsung gemetaran. Nafsu makan hilang. Pokoknya ngga enak sama sekali,” bebernya. Bahkan,
ketemu dengan orang lain yang namanya sama dengan mantan suaminya pun, perasaan
tidak nyaman itu seketika muncul. Usahanya pun harus gulung tikar gara-gara
menjalin kemitraan dengan seseorang yang namanya juga sama dengan nama mantan suaminya.
Apakah
tidak ikhlas dengan perpisahan dengan mantan suaminya? Atau ada perlakuan tidak
nyaman yang sebelumnya ia dapat dari suaminya? Wanita ini mengaku sudah ikhlas.
Apalagi memang dirinya sendiri yang mengajukan perceraian itu. Tapi soal
perlakuan suaminya, dia enggan membebernya.
“Cukup aku aja yang tahu. Itu aib buatku,” tuturnya. Terlihat raut wajahnya seketika
berubah. Ada sesuatu yang sepertinya ia pendam, dan tak ingin diungkapkan.
“Tolong
bantu aku, bagaimana mengatasi perasaan ngga
enak ini. Aku betul-betul ngga bisa
merintis usaha lagi kalau begini,” pintanya. Selama ini, ia mengaku sering
mengikuti tulisan atau postingan saya
di media sosial. Namuan hanya sebagai silent
rider. Sama sekali tidak meninggalkan jejak.
“Mau minta
tolong, malu. Mumpung ketemu, bisa kah bantu aku?” pintanya.
Tentu saja tidak
memungkinkan bagi saya untuk melakukan terapi dengan prosedur lengkap. Apalagi
posisinya sedang di ruang terbuka, di kantor sekretariat organisasi yang juga
ada orang lalu lalang di tempat tersebut. Meski begitu, saya tetap membantunya
dengan teknik lain. Teknik sederhana namun sangat efektif untuk menghilangkan
perasaan tidak nyaman yang dirasakannya itu.
Segera saya
ambil beberapa lembar kertas putih polos dari ruang kerja. Kemudian saya minta
wanita ini menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan. Jawaban itu harus ia
tuliskan di kertas tersebut. Setelah beberapa pertanyaan kunci, terlihat ada
bulir-bulir air mata yang keluar dari sudut matanya. Bahkan sempat tetesan air
mata itu sedikit lebih deras, hingga sempat menimpa tulisannya sendiri.
Tahap demi
tahap, saya bimbing sahabat ini menjawab semua pertanyaan sampai selesai.
Perlahan, raut wajahnya mulai berubah. Tak ada lagi tetesan air mata. Padahal
sebelumnya entah sudah berapa lembar tisu yang digunakan untuk menyeka air
matanya itu.
Perlahan,
terlihat sudah mulai ada senyum yang tersungging di bibirnya, sembari terus
menuliskan jawaban atas pertanyaan saya. Akhirnya dia selesai menjawab, dan
menyerahkan kertas itu ke saya. Kemudian, segera saya bimbing untuk menarik
nafas panjang dari hidung, dan mengembuskannya melalui mulut. Setelah tiga kali
menarik nafas dan mengembuskannya, saya minta memejamkan mata. Kemudian diminta
membayangkan dan merasakan kembali kehadiran orang yang membuatnya kesal.
“Sudah ngga papa.
Biasa aja. Sudah lega, nyaman. Plong
rasanya,” tuturnya sembari mengembangkan senyumnya lebar-lebar. Sorot matanya
pun tampak lebih bercahaya dan terlihat lebih bersemangat. “Terima kasih ya,”
ujarnya.
Total ada
tiga lembar kertas yang ia gunakan untuk menjawab pertanyaan. Saya tidak
membaca apa yang ia tuliskan. Biarlah itu menjadi rahasianya. Yang penting
masalahnya selesai. Segera saya lipat kertas yang ia serahkan itu dengan rapi. Kemudian,
saya minta dirinya sendiri yang membakar kertas itu sampai habis, di teras
kantor. Merasa sudah tidak ada beban lagi, ia pun pamit undur diri.
Kemarin, menjelang
maghrib, tiba-tiba dia mengirimkan pesan melalui Whatsapp bahwa dia semakin semangat menjalankan usahanya kembali. “Aku
kembali ke fokus utama, bisnis. Memang sudah seharusnya aku melakukan ini,”
sebutnya.
Tak lupa,
saya juga mengingatkan agar selalu mengharap keridaan dari Allah. Agar usaha
yang dijalankan mendapat berkah dan bisa menjadi bekal kelak di kehidupan
selanjutnya. Tugas manusia hanya ikhtiar dan berusaha. Selebihnya biarlah
menjadi urusan Allah, Sang Maha Pemberi Rezeki.
Demikianlah
kenyataannya. (*)
Untuk informasi layanan hipnoterapi bisa kontak di sini.
Post a Comment