Pilih kasih bisa
menyebabkan trauma. Sikap orang tua yang pilih kasih pada anak pada akhirnya memang
memberikan dampak sangat buruk bahkan hingga dewasa. Walaupun, pilih kasih yang
dilakukan orang tua sebenarnya tidak disengaja.
Benarkah tidak
sengaja? Dalam setiap kesempatan berbicara di sebuah forum seminar atau
pelatihan, saya seringkali melontarkan pertanyaan pada audiens yang umumnya terdiri
dari para orang tua.
“Pernahkah melakukan
pilih kasih ada anak-anak Anda?” Jawabannya pasti kompak. Mayoritas menjawab, “tidak
pernah!”
Selanjutnya, saya
sampaikan pertanyaan kedua. Sudahkah hal tersebut dikonfirmasi pada anak-anak
mereka? Sama dengan pertanyaan pertama, mayoritas menjawab serempak, “belum
pernah.”
Itu artinya,
umumnya orang tua merasa GR (gede rasa), alias sok pede. Orang tua yakin tidak
pernah pilih kasih hanya menurut versi mereka sendiri. Tapi benarkah anak-anak sudah
merasa hal yang sama, yakni mendapat kasih sayang tanpa pilih kasih?
Ini pernah terjadi
pada buah hati saya sendiri. Secara tidak sengaja, saya lebih sering
berkomunikasi atau bercanda dengan anak paling bungsu. Hingga suatu ketika,
anak saya lainnya pernah ‘mengadu’ ke ibunya. “Bapak itu lebih sayang sama adik
ya?” tanya sang kakak ini pada ibunya.
Beruntung, kami
punya foto dan video dokumentasi keluarga di masa kecil mereka. Dalam foto dan
video itu memperlihatkan bagaimana aktivitas saya dengan sang kakak ketika
masih kecil.
“Nah ini buktinya,
dulu juga bapak lebih banyak sama kamu. Tidak ada pilih kasih. Tapi kalau kakak
merasa diperlakukan seperti itu, bapak minta maaf ya. Bapak tidak sengaja.” Saya
sampaikan hal itu dengan tenang, nyaman, dan sungguh-sungguh. Setelahnya saya
peluk dia dengan erat dan tulus. Hasilnya, anak saya mengangguk, paham dan
menepis keraguan yang sempat dialaminya.
Setelah itu, saya
langsung mengubah cara mengekspresikan kasih sayang kepada anak-anak secara
merata. Misalnya ketika memeluk salah satu di antaranya, maka yang lain pun
bergantian juga dipeluk. Begitu seterusnya. Hasilnya, ikatan emosional pun
akhirnya semakin menguat dan meningkat. Rasa tidak nyaman pada anak akibat sikap
orang tua yang dianggap pilih kasih versi mereka, juga hilang.
Terkait pilih kasih
ini pula, saya beberapa kali menjumpai klien yang mengalami trauma akibat
perlakuan pilih kasih yang dilakukan orang tuanya di masa lalu.
Salah satu contoh,
sebut saja namanya Intan. Wanita berusia 48 tahun ini adalah anak pertama dari
empat bersaudara. Orang tua Intan merupakan sosok orang terpandang di kota
kelahirannya. Beberapa waktu lalu, tiba-tiba saja Intan mengirimkan pesan
pendek dan mengatur janji ingin jumpa sekaligus menjalani sesi hipnoterapi.
Lalu apa
masalahnya? “Saya susah tidur. Setiap kali ingat adik-adik saya, juga aset
peninggalan orang tua, saya langsung gelisah. Bawaannya ingin marah dan
uring-uringan,” sebutnya.
Dampaknya secara
fisik pun tidak bisa disembunyikan. Asam lambungnya berlebih, juga sering
mengalami haid kurang lancar. Di kepala bagian belakang pun kerap sesekali
mendapat serbuan rasa nyeri.
Saat proses terapi,
yang dilakukan tentu mencari akar masalah yang menyebabkan Intan mengalami
serangkaian persoalan tersebut. Di kedalaman pikiran bawah sadar yang tepat dan
presisi, ternyata Intan mendarat di usia 16 tahun, ketika dia diminta ibunya membersihkan
lantai ruang tamu. Ya saat itu adiknya paling bungsu sedang makan. Si adik
masih berusia 4 tahun, sehingga tentu saja meninggalkan jejak berantakan
setelah makan.
“Saya capek, apa
pun yang dilakukan adik, saya yang harus membereskan. Kalau tidak mau, saya
yang kena marah,” sebut Intan.
Kejadian tersebut
ternyata diperkuat lagi dengan peristiwa lain, misalnya Intan yang kurang mendapatkan
dukungan ketika sekolah. Sementara adiknya, mendapat perhatian ekstra. Dari mulai
les bahasa Inggris, matematika, bahkan kursus menggambar. Hal itu tidak pernah
dirasakan Intan sebelumnya.
“Mainannya juga bagus-bagus.
Waktu saya kecil, mainannya biasa saja,” sambung Intan.
Masalah pilih kasih
ini ibarat bom waktu. Puncaknya, Intan kecewa dan marah besar. Hotel yang
merupakan aset satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya, akan dijual ibunya
dan akan dibagi sebagai harta warisan. Padahal selama ini, Intan lah yang
mengurus dan mengelola hotel itu. Yang membuat Intan semakin meradang, usulan
menjual aset itu datang dari adiknya yang paling bungsu.
Dengan teknik
khusus, Intan dibimbing untuk menetralisir semua emosinya, terutama perasaan ‘dendam’
mendalam kepada adiknya. Proses ini pencabutan akar masalah ini tentu dilakukan
di kedalaman pikiran bawah sadar. Setelah kebencian kepada adiknya sudah
dihilangkan, perasaan Intan terhadap adiknya pun langsung netral. Selanjutnya,
rasa sayang terhadap adiknya pun diperkuat.
Begitu juga
perasaan Intan terhadap ibunya pun diperkuat, sehingga tidak merasakan kasih
sayang yang pilih kasih dari ibunya. Usai proses ini, Intan mengaku lega dan
plong. Saat dicek di kejadian masa kini, soal penjualan aset hotel, Intan pun
merasa tetap nyaman.
“Itu memang bukan
hak saya sendiri. Semua punya hak yang sama,” pungkas Intan.
Usai terapi, wajah
Intan tampak langsung berbeda. Senyum cerah tergambar jelas di wajahnya. Ia
ingin segera pulang dan meminta maaf kepada ibunya.
Tiga hari setelah
terapi, Intan juga memberi kabar bahwa semua keluhannya, termasuk soal susah
tidur dan asam lambung berlebih, lenyap begitu saja.
“Waktu pulang dari
terapi, malamnya jam 8 saya sudah langsung tidur sampai subuh,” katanya melalui
pesan pendek.
Selamat untuk
Intan. Semoga selalu mendapat serbuan kesuksesan dan keberkahan. Demikianlah
ketetapannya. (*)
Post a Comment