Pras hanya bisa diam. Dia
harus menerima keputusan dilepas dari jabatan direktur pada perusahaan yang dia
bidani. Padahal dia terlibat langsung dari sejak kehamilan, persalinan, hingga ikut
membesarkannya.
Perusahaan ini memang sempat
diasuh orang lain. Masalahnya, pengasuh lain inilah yang berpotensi membuat
perusahaan bisa kena penyakit. Tak tanggung-tanggung, jika lambat dideteksi,
perusahaan bisa kena serangan jantung, plus stroke dan kanker. Pokoknya kompleks.
Maka, pengasuh harus segera dicopot dari jabatannya. Pras juga kena imbas dari
keputusan itu. Tentu saja keputusan itu seolah bencana, walau tidak ada
apa-apanya dibanding tsunami di Aceh dan yang baru terjadi di Palu.
Apa yang dialami Pras, bisa
dialami siapa saja. Kejadian di atas tentu hanyalah ilustrasi. Seseorang yang
punya jasa besar terhadap sebuah perusahaan, organisasi, institusi atau lembaga,
apa pun itu, tak boleh merasa posisinya selalu aman. Sebab merasa aman dengan
kebesaran jasa itulah yang sangat berpotensi menjadi bumerang. Bangga atas
keberhasilan dan jasa di masa lalu, justru hanya akan meninabobokan potensi
yang sebenarnya masih bisa digali.
Pikiran bawah sadar akan
membuat program, tak perlu lagi berpikir lebih maju, sebab yang ada saat ini
sudah cukup dan membuat semuanya baik-baik saja. Padahal, kondisi itu justru
sangat membahayakan. Ibarat tubuh yang enggan bergerak, maka potensi penyakit
bisa datang kapan saja.
Lalu apa yang harus
dilakukan Pras? Tentu ada dua pilihan. Terus meratapi kondisi tersebut, hingga
semakin terpuruk. Atau justru menjadikan momen tersebut untuk bangkit alias
dijadikan titik balik.
Bijak mengatakan, ketika
satu pintu tertutup, maka akan terbuka pintu-pintu lainnya. Persoalannya,
umumnya pikiran bawah sadar justru diam terpaku, menyesali kenapa pintu itu
tertutup. Akibatnya yang timbul hanya penyesalan, dan menyalahkan diri sendiri
berlebihan. Paling parahnya bisa sampai bunuh diri karena merasa tak ada lagi
harapan.
Andai saja tidak terpaku
pada pintu yang tertutup, maka saat itulah kita bisa melihat pintu lain yang
sedang terbuka. Apalagi, sebagian besar pintu itu harus dibuka sendiri.
Hal tersebut sama halnya dengan
seseorang yang telah melakukan kesalahan hingga menyebabkan seluruh listrik di
rumah padam. Apakah kita harus terus-menerus menyesali kegelapan yang sudah
terjadi? Apakah penyesalan dan rasa keterpurukan itu bisa menghilangkan
kegelapan? Maka, lumrah yang dilakukan adalah segera mencari penerangan
pengganti, apa pun itu. Bisa korek api, lilin, atau lampu emergency.
Maka, bagi yang sedang
mengalami seperti Pras, saatnya segera bangkit. Lihatlah, ada banyak pintu yang
sedang menanti untuk dibuka, bahkan ada yang sudah terbuka. Jangan pula
mengutuk kegelapan, karena selalu ada lentera cadangan yang bisa menjadi
penerang.
Demikianlah kenyataannya. (*)
Post a Comment