“Boleh jelaskan lebih teknis, mesin yang rusak itu bagian apa?” tanya Dahlan
Iskan serius. Beliau memang sangat tertarik menulis kisah hidup Haji Nasir, pria pemilik usaha
perikanan dengan bendera Piposs yang cukup tersohor di Berau, Kaltim.
Bertempat di restoran Hotel Palmy, Dahlan mencatat setiap
informasi yang keluar dari mulut Haji Nasir menggunakan kertas HVS, yang diminta dari petugas hotel.
“Crankshaft,” jawab Haji Nasir. “Tulisannya
seperti apa? Bisa diejakan,” timpal Dahlan.
Tak hanya urusan teknis, pertanyaan terkait ‘asmara’ juga
tak luput sebagai hal menarik
yang selalu ditanyakan Dahlan Iskan. “Ketemu istri dulu di mana? Seperti apa
ceritanya? Kenapa memilih dia?” itulah rentetan pertanyaan yang ditanyakan
terkait kisah kehidupan rumah tangga nara sumber yang ada di depannya itu.
Saya
melihat sendiri, betapa sosok Dahlan Iskan yang saya panggil ‘Abah’ itu begitu
teliti dan detail. Pantas jika dulu beliau selalu mengingatkan, kalau menulis
tidak teliti, sebaiknya jualan tomat saja. Itu pula yang menjadi penyebab, kenapa
tulisan Dahlan Iskan selalu gurih, ringan, namun tetap berbobot.
Di tangannya, hal-hal yang rumit bisa disederhanakan
dalam penulisannya.
Kisah Haji Nasir boleh
jadi sudah pernah dimuat di media lainnya. Namun, di tangan Dahlan Iskan,
perjalanan hidup Haji Nasir
tak sekadar ditulis sebagai kisah
belaka. Tersirat banyak pesan yang menginspirasi para pembaca.
Akhir November
2018 itu menjadi momen paling istimewa dan membahagiakan bagi saya. Sebetulnya,
saya sudah lama berkirim pesan pendek ke Abah. Mengundang beliau untuk sekadar
berkunjung ke Berau. Setelah beberapa pekan, barulah pesan itu dibalas. Saya
langsung diborong rentetan pertanyaan yang harus saya jawab dengan detail.
Kalau tidak tahu, mending sampaikan belum tahu. Sebab dengan mudah beliau pasti
tahu kalau saya tidak memberikan jawaban yang tepat.
Tepat 29
November 2018, saya benar-benar menjemput beliau di Tanjung Selor, ibu kota
kabupaten Bulungan di Kalimantan Utara, dan menyusuri jalan darat menuju
Tanjung Redeb, Berau di Kalimantan Timur. Sempat istirahat semalam di Berau,
keesokan harinya, sejak pukul 05.00 Wita, langsung menemani Abah untuk
menyusuri kawasan di pesisir Berau.
Selama menemani Abah, saya harus siap menjawab rentetan pertanyaan sepanjang
perjalanan. Secara tidak langsung saya harus selalu berpikir. Sekali lagi, ketika tidak tahu jawaban
atas pertanyaan beliau, lebih
baik tegas menjawab, “tidak tahu”. Ketimbang semakin dikejar dengan
pertanyaan lain, dan akan menunjukkan ketidaktahuan atas masalah yang
ditanyakan.
Boleh jadi, itu yang menyebabkan saya sama sekali tidak
mengantuk, meski harus menyetir mobil dari Tanjung Selor ke Tanjung Redeb,
termasuk hingga ke pesisir selatan Berau, pulang pergi.
Pelajaran lain yang saya dapatkan adalah, tepat waktu.
Janji menuju pesisir Selatan Berau adalah pukul 05.00 Wita pagi, selepas subuh.
Tiga puluh menit sebelumnya saya pun sudah siap di lobi hotel. Dan benar, tepat
pukul 5 itu pula Abah
sudah turun dari kamar dan
berada di lobi, kemudian langsung bertolak menyusuri kawasan pesisir.
“Sarapan di mana bah?” tanya saya. “Nanti saja. Kalau ada
penjual pisang, beli ya,” pesannya. Nyatanya mata Abah lebih awas. Beliau yang lebih dulu
menunjukkan ada warung di sebelah kanan jalan, yang berjualan pisang. Dalam
sekejap, beberapa sisir pisang pun langsung berpindah ke mobil yang kami
tumpangi.
Menyusuri jalanan berkabut tebal, membuat laju kendaraan
terhambat. Saya harus pelan-pelan karena tidak mampu melihat ruas jalan dengan
jelas. Masih samar-samar. Belum lagi kondisi jalanan memang payah. Andai saja di dalam mobil juga ada
orang hamil, bisa-bisa
langsung kontraksi atau bahkan melahirkan di tengah jalan. Namun, Abah sama sekali tidak
mengeluh dan tidak komentar. Beliau tetap santai, sesekali memperhatikan
telepon genggamnya.
Jika saya sudah kelewat dalam menginjak pedal gas, hanya
memberikan isyarat lambaian tangan untuk mengurangi kecepatan, atau sebagai isyarat lebih
hati-hati karena jalanan berlubang. Selama perjalanan, jangan coba-coba bertanya soal politik. Jawabannya
selalu tegas, “tidak tahu!” Maka, lebih nyaman menimba ilmu motivasi hingga
bisnis yang memang sudah dikuasai Abah.
Abah
malah lebih semangat ketika bicara soal tambak udang. Ya, usaha ‘emas bungkuk’ itu
sudah dijalankan di Lombok Timur. Saya sempat ditanya soal pendidikan, segera
saya buat ‘pengakuan dosa’ karena pernah sampai semester 5 kuliah di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Samarinda. Namun, harus
terhenti karena lebih memilih menjadi jurnalis. Abah pun hanya manggut-manggut
saja mendengar penjelasan saya.
Abah pun
makin semangat memberikan informasi bagaimana tambak udang bisa menjadi salah
satu usaha yang bisa digalakkan. Namun, Abah menyampaikan, usaha yang dilakukan
harus dengan teknologi tinggi. “Kalau yang biasa, biarkan itu milik masyarakat.
Jangan sampai mengganggu usaha rakyat,” pesannya.
Sesekali
Abah memberikan penjelasan soal pengelolaan tambak, namun juga bertanya, apakah
saya paham atau tidak. “Anda pasti belum tahu. Anda kan kuliah hanya
sampai semester 5. Ini pelajaran semester 17,” gurau Abah. Kami pun tertawa lepas, sejenak melupakan
jalanan rusak yang kami lalui.
Dalam
perjalanan pulang dari pesisir Berau itu, kami sempat mampir ke lokasi pabrik
PT Kiani Kertas yang sampai kini berhenti beroperasi. Salah satu yang ingin
diketahui adalah pembangkit listrik di lokasi perusahaan tersebut.
Tentu
saja sekuriti yang berjaga di perusahaan tersebut terkejut, mendapati seseorang
turun dari mobil yang kami tumpangi, dan wajahnya sangat familiar. “Wah pak
Menteri, kami tidak tahu ada kunjungan,” kata sekuriti.
“Saya
mampir saja, mau lihat-lihat,” kata Abah. Dia pun meminta agar ada staf di
lokasi tersebut yang boleh mengizinkan melihat pembangkit listrik tersebut.
Hanya berselang 15 menit, seorang pria yang bertanggung jawab di lokasi itu datang
dan menemani Abah melihat pembangkit tersebut.
Usai
melihat pembangkit itu, dalam perjalanan pulang ke Tanjung Redeb, wajah Abah
terlihat serius. “Sayang sekali. Andai saya dulu tahu, ketika masih direktur
PLN, pasti pembangkit ini bisa dioperasikan. Saya tidak tahu kalau ada
pembangkit besar di sini,” sesalnya. Ya itulah Abah, masih memikirkan beberapa
hal, yang sejatinya bisa diperbaiki, tanpa birokrasi yang berbelit.
Saat
hendak pulang ke Surabaya, di Bandara Kalimarau Berau, Abah beberapa kali
memasang wajah takjub. “Bandara ini bagus sekali. Bersih. Sangat bersih dan
bagus. Di Tawau Malaysia saja kalah bersih,” katanya. Maklum, sebelum ke Berau,
Abah memang berkunjung ke Kota Kinabalu dan Tawau. Maka tak heran jika pujian
tulus itu berkali-kali diberikan untuk bandara di utara Kaltim ini.
Saat
saya tawarkan untuk foto di salah satu dinding bandara, dengan senang hati Abah
bersedia. Foto itu pula yang kemudian dipasang di Instagram beliau
@dahlaniskan19. Pun saat beberapa petugas bandara minta foto bersama, Abah
dengan senyum selalu bersedia melayani.
Banyak
lagi kesan mendalam sepanjang saya bersama Abah. Namun biarlah itu menjadi
kenangan terbesar dalam hidup saya. Semoga nanti bisa saya tuliskan kembali.
Demikianlah seharusnya. (*)
Salut sama kegigihan dua pria yang melakukan perjalanan panjang,bersama pisang dan obrolan yang tidak hanya di angan. Barakallah..semoga keduanya selalu diberi nikmat sehat sehingga terus bisa menebar manfaat.
ReplyDeleteSenangnya bisa belajar langsung dengan pak Dahlan Iskan. Sehat dan sukses selalu buat Mas Endro dan pak Dahlan Iskan. Selalu menginspirasi.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteDua-duanya keren dan sangat menginspirasi dan "menghiponitis" tapi saya nggak mau jadi penjual tomat, ah... artinya? Tebak sendiri....
ReplyDeleteMasyaallah... Saya pun masih bermimpi bisa bertemu pak DI yg sangat menginspirasi
ReplyDeleteMasya allah...banyak ilmunya Dahlan Iskan lewat karyanya. Begitu pula mas Endro sangat menginspirasi
ReplyDelete