Sejak buku berjudul Guruku Kekasihku itu berada di tangan
saya, malam harinya saya mulai menyelami isi buku tersebut. Ada kebahagiaan
tersendiri saat membuka isi buku ini lembar demi lembar. Bagian diri saya yang
suka membaca langsung girang. Apalagi tema yang dibahas soal pendidikan. Dulu,
saya memang pernah bercita-cita jadi guru. Tapi apalah daya, keinginan menjadi
wartawan lebih mendominasi. Beruntung, hasrat menjadi guru itu bisa terpuaskan
setiap kali diminta mengisi seminar atau pelatihan di berbagai daerah di
Indonesia.
Kembali pada isi buku Guruku Kekasihku yang ditulis DR Ahmad
Bahruddin MPd. Buku bersampul cokelat dengan gambar cinta yang di dalamnya
berisi lukisan tanaman singkong itu benar-benar ibarat sebuah sajian di
restoran paling maknyus. Saya benar-benar tak ingin berhenti mengunyah setiap
judul yang disajikan.
Saya termasuk pembaca yang kurang terstruktur. Buku apa pun,
kecuali novel, kerap saya baca dengan cara melompat-lompat. Namun tak terasa,
semua judul akhirnya berhasil dilahap. Sampai akhirnya saya mendapat kesimpulan
penting, buku ini sangat wajib dibaca oleh siapa pun yang bersinggungan dengan
dunia pendidikan. Apakah Anda seorang guru, dosen, wali kelas, hingga wali
murid, ada baiknya menikmati sajian buku yang tebalnya lebih 400 halaman ini.
Salah satu semangat yang ingin disampaikan Mister Udin,
sapaan akrab bagi sang penulis, bahwa guru memang harus mendidik dengan cinta. Sudah
bukan zamannya lagi guru mendidik dengan hukuman dan ketakutan. Penulis lantas
membuka catatan di halaman awal dengan sebuah ilustrasi. Digambarkan ada seorang
guru yang mengumumkan waktu libur sekolah telah tiba. Betapa semua murid sangat
bergembira, apalagi selama libur itu guru tak memberikan pekerjaan rumah.
Betapa kegirangan anak itu seolah tahanan yang lepas dari penjara.
Ya, selama ini tak sedikit sekolah yang berubah menjadi
penjara bagi anak-anak. Guru dan siapa pun yang terlibat di dalamnya,
memberikan metode pengajaran dengan mengedepankan hukuman. Bukan dengan pendekatan
bahasa cinta. Padahal, guru sudah diberikan tambahan insentif berupa tunjangan
profesi. Harapannya, tentu tunjangan itu untuk peningkatan profesionalitas dan
kapasitas para guru. Namun, berapa banyak guru yang menggunakan dana
sertifikasi itu untuk kuliah lagi atau mengikuti pelatihan? Bukankah tak
sedikit yang lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif?
Melalui buku ini, pembaca juga diajak bagaimana proses
belajar dan mengajar di kelas doktoral yang sangat menyenangkan. Interaksi antara
para dosen dan mahasiswa tergambar begitu santai namun tetap berbobot. Bagi
kalangan pendidik, jelas akan ngiri dengan suasana tersebut. Secara tidak langsung,
melalui buku ini, saya ikut belajar di kelas doktor, bedanya tentu tak bisa
tanya jawab, apalagi berharap ijazah. Yang penting ilmunya benar-benar luar
biasa.
Mister Udin juga mengulik beberapa film lain yang bisa
dijadikan inspirasi bagi dunia pendidikan. Seperti 3 Idiot, Slumdog Millionaire, PK, hingga Dead Poets Society. Ada juga film Taare Zameen Par. Ini adalah film India yang dibintangi Aamir Khan,
yang dalam bahasa Inggris diberi judul Like
Stars on Earth. Entah sudah berapa kali saya menonton film yang
menceritakan anak yang mengalami disleksia bernama Ihsaan Nandkishore Awasti.
Diperankan oleh Darsheel Safary, Ihsaan merupakan seorang anak setingkat kelas
3 SD yang suka bermain. Ihsaan dianggap bodoh dan nakal. Tidak pernah
mengerjakan PR, nilai ulangannya selalu di bawah rata-rata selain itu, juga kesulitan
membaca dan menangkap perintah maupun kata-kata orang lain, setiap kata-kata
dan tulisan yang dilihatnya seolah-olah seperti menari.
Dengan gambaran film ini, penulis ingin menyampaikan bahwa setiap
anak istimewa dan sangat berharga. Hanya terkadang tidak semua guru atau orang
tua memahaminya. Sesekali saya juga pernah memberikan film ini kepada beberapa orang
tua siswa di sekolah yang saya dampingi di SD Islam Al Hikmah Samarinda
Seberang.
Sahabat saya di media sosial, Suci Hendras Kuswarini,
termasuk salah satu orang tua yang rajin kampanye terkait disleksia ini. Sebab
putranya Jalu, juga hampir sama seperti Ihsaan. Namun, semangat belajar Bu
Suci, begitu biasa disapa, sangat luar biasa. Saya pun jadi makin banyak tahu
soal disleksia.
Dalam bukunya, Mister Udin memang mengajak para guru atau
orang tua mengubah pola pendidik dari menghukum menjadi lebih menghargai. Beliau
kemudian mengutip pendapat pakar pendidikan Prof Rhenald Kasali. Digambarkan,
ketika guru sedang ada kegiatan di luar, biasanya ada satu siswa diminta untuk
mencatat siapa saja murid yang suka ribut, membuat onar, dan sejenisnya. Bagaimana
jika dibalik, siswa diminta mencatat temannya yang menyelesaikan tugas terlebih
dahulu, dan siapa yang bersikap baik. Tentu motivasinya akan berbeda. Menurut
beliau, sekolah yang baik adalah sekolah yang membuat nyaman dan membuat
siswanya merasa dihargai diperhatikan, bukan yang merasa terkekang atau selalu
diawasi hingga membuat murid selalu merasa ketakutan.
Masih banyak lagi bagian tulisan menarik lainnya, yang
tentunya tidak bisa dituliskan semuanya. Kalau ditulis semua, lah nanti para
sahabat tidak lagi membaca bukunya. Lagi pula, catatan ini akan menjadi
terlalu panjang, dan bisa berubah menjadi sebuah buku.
Namun yang pasti, apa yang disampaikan Mister Udin memang tidak
hanya sekadar tulisan. Beliau sudah melakukannya sendiri. Ketika saya pernah
menjadi mahasiswa beliau, dosen satu ini memang sangat komunikatif dan sangat
menghargai pendapat yang muncul di kelas. Tak heran pula jika beliau pernah
diganjar sebagai guru berprestasi tingkat nasional, dan menjadi wakil provinsi
Kalimantan Timur di ajang tersebut. Walakin, tak semua orang juga suka dengan
gaya seperti itu, dan tetap mempertahankan dogma lama.
Bagaimana menurut Sahabat?
Post a Comment